CAHAYA MISTIS DI PANGKAL PAHA KEN DEDES
oleh Wahyudi Nugroho
Di tengah malam, saat langit gelap gulita, setelah air hujan tumpah ke bumi disertai badai angin yang memporak porandakan pepohonan, segerombolan pemuda melangkahkan kakinya memasuki halaman rumah pandai besi di desa Lulumbang, Mpu Gandring.
Tak terdengar kata-kata keluar dari mulut mereka. Semua diam. Hanya langkah kaki mereka yang menyibak sunyi. Menuju pintu pabrik senjata milik pandai besi yang terkenal itu.
Sekali dua kali angin masih bersiur menerpa wajah mereka, membawa sisa titik-titik air hujan menerjang mereka. Namun rombongan itu sudah tak menggubrisnya. Seluruh badan dan cawat yang mereka kenakan telah basah, terguyur hujan selama dalam perjalanan.
Ketika telah di depan pintu pabrik, yang sekaligus jadi tempat tinggal pemiliknya, seorang pemuda yang menjadi pimpinan rombongan itu mengangkat tangan. Dengan jari-jari ia mengetok pintu. Meski lelaki itu dengan sabar mengulang-ulang ketukannya, namun sekalipun tak terdengar jawaban.
"Mpu, mpu. Buka pintu !!!" Pemuda pendek di sisinya tak sabar berteriak.
"Sudah liatkah kulitmu Mpu, tak menggubris kehadiran kami ? Aku dobrak pintu pabrikmu, jika hitungan sampai lima tak kau buka !! Satu, dua...." teriak yang lain.
Terdengar gonggongan anjing dari dalam pabrik. Juga kelesat kaki yang melangkah mendekati pintu. Sebentar kemudian muncul seorang lelaki kekar berotot besar membuka pintu.
"Kenapa kalian berteriak-teriak seperti orang tak tahu adab. Ini sudah tengah malam, layakkah kalian menggedor pintu orang untuk bertamu ?" Kata lelaki itu.
"Siapakah kamu ?" Tanya pemimpin rombongan pemuda itu tetap tenang.
"Aku pekerja di sini. Sekaligus penjaga keselamatan Mpu, juragan kami." Kata lelaki berotot itu.
"Panggilkan Mpu Gandring untuk menemuiku. Aku tamunya. Telah kutempuh jarak yang jauh, menerobos hujan dan badai, agar bisa bertemu juraganmu. Malam ini juga. Cepat !!" Kata pemuda bermata tajam dan berrambut tergelung di atas kepala itu.
"Mpu sedang istirahat. Mungkin beliau sudah tidur. Besok saja kalian datang kesini lagi." Jawab pekerja itu, sambil undur diri hendak menutup pintu.
Namun usahanya tertahan, tangan kiri pemuda yang berdiri dihadapannya itu menahan daun pintu agar tidak ditutup. Terjadi adu kekuatan tarik dorong daun pintu yang terbuat dari papan kayu jati itu.
Tiba-tiba pemuda pendek di samping pemimpin rombongan itu menerobos masuk, mendorong lelaki kekar penjaga pabrik itu, kemudian menendang perutnya. Penjaga itu roboh ketanah sambil berteriak kesakitan.
"Aduh !!! Kenapa kau menendangku ?!!"
"Persetan. Panggilkan Mpu Gandring !! Jika tidak aku gorok lehermu." Jawab pemuda pendek anggota rombongan itu.
Tiba-tiba terdengar gonggong anjing berulang-ulang. Sesaat kemudian terdengar langkah lari binatang itu menuju kerumunan orang di depan pintu. Beberapa tombak dari pintu ia berhenti, dan menyalak terus dengan beringasnya.
"Komang !!! Sssttt sut sut. Terkam ! Gigit mereka.!!!"
Pemuda pendek itu meloncat mundur saat anjing hitam besar itu melompat hendak menerkamnya. Ia lolos pedang dari sarungnya, dengan sigap ia tebas leher anjing itu saat masih melayang di udara.Â
"Craaakkk..."
"Kaing kaing kaing....." anjing itu jatuh dilantai pabrik, dan kejang-kejang meregang nyawa.
"Bajingan kalian. Kau bunuh anjing juraganku...komang !!!.. komang !!!"
"Apakah kau ingin menyusul dia ? Terpenggal lehermu seperti anjing itu ? Sekarang panggil juraganmu agar jongkok di depanku. Cepat !!"
Lelaki kekar pekerja pabrik senjata itu meriut nyalinya. Melihat anjing besar milik juragannya tewas hanya dengan sekali tebas. Apalagi dia sendirian, sedang rombongan tamu itu sekitar tujuh orang. Pasti ia tak akan mampu mengatasinya.
******
Sejenak kemudian datanglah lelaki kurus setengah tua tergopoh-gopoh datang mendekati keributan itu. Matanya menatap anjingnya yang sudah terkapar dilantai. Leher binatang itu terluka mengangga, darah masih terus menyembur keluar memerahi lantai.
"Apa maksud tuan, datang malam-malam kepabrikku bikin keributan."Â
"Jika sejak tadi kau keluar menemuiku, keributan ini tidak terjadi. Jangan salahkan kami jika anjingmu jadi korban."kata pemuda bermata tajam itu.
"Baiklah, katakan apa tujuan tuan." Kata Mpu Gandring.
"Aku mau pesan senjata. Seribu pedang dan dua ribu tombak lempar." Jawab pemuda itu.Â
"Gak bisa. Aku sibuk melayani pesanan. Empat ribu pedang dan empat ribu tombak dari pimpinan prajurit tamtama pakuwon Tumapel."
"Bisa kataku. Jika kau menolak pedangku yang berkata."
"Aku tak punya persediaan besi. Besi sekarang sulit dicari. Di mana-mana dibutuhkan orang. Banyak kejahatan yang harus ditumpas."Â
"Jangan banyak bicara. Besi akan aku kirim kesini. Berapa kau butuhkan untuk seribu pedang dan dua ribu tombak lempar ? " tanya pemuda itu.
"Lima pedati. Kami harus memurnikannya dulu, karena banyak sekali campuran logam lain besi sekarang." Kata Mpu Gandring.
"Buaya kamu. Â Serakah sekali kau gandring. Buat apa kau menumpuk kekayaan dengan membohongi calon pelangganmu ?"
"Kalau nggak mau pergi saja."
"Baik. Lusa teman-temanku akan mengirim besi lima pedati ke pabrikmu."
"Besi dari mana kau dapatkan ? Hasil merampok ?"
"Tak usah cerewet kau. Aku sobek mulutmu menuduh kami perampok. Kau tinggal menunggu saja. Empat bulan harus sudah jadi, terhitung sejak malam ini."
"Tidak bisa. Pesanan banyak."
"Berapa harga yang harus aku bayar ?"
"Aku harus merekrut tenaga kerja lagi. Harganya jadi dua kali lipat. Lima puluh keping emas."
"Jadi kau bisa empat bulan jadi, kalau ada uang lima puluh keping emas. Dasar benar-benar buaya kau, Gandring. Baik ini aku bayar langsung, lima puluh keping emas. Jika hasil kerjamu bagus dan tepat waktu, akan aku tambah kelak saat ambil senjata."
Pemuda itu melemparkan kampil sutra di lantai tempat Mpu Gandring berdiri. Logam di dalamnya menyebabkan suara gemerincing terdengar, saat kampil sutra itu menyentuh tanah. Mpu Gandring membungkuk mengambilnya, matanya berbinar memandang pantulan cahaya kuning obor yang gilang-gemilang.
"Matamu berbinar melihat setumpuk emas. Dasar buaya." Kata pemuda itu.
Pemuda itu bergegas keluar dari pabrik senjata milik Mpu Gandring. Diikuti oleh pemuda pendek yang baru memasukkan pedangnya kembali ke dalam sarungnya yang menggantung di pinggang kiri. Rombongan tujuh pemuda itu bergegas keluar dari halaman pabrik senjata, di desa Lulumbang dekat candi Penataran itu.
*******
Ketika tujuh pemuda itu langkahnya hendak memasuki hutan Karautan, tiba-tiba mereka mendengar teriakan panggilan seseorang. Ken Arok menghentikan langkahnya, dan berbalik ke arah suara orang yang memanggilnya.
"Pemimpinku. Arok. Berhentilah." Seorang pemuda sebaya dengannya berteriak memanggil, sembari bergegas mengayun langkah menghampiri rombongan itu.
"Kau Bana. Kenapa kelayapan sampai kesini ? Bukankah telah aku perintahkan, untuk melayani guru selama aku tidak ada di padepokan ?" Tanya Ken Arah setengah berang.
"Karena guru pula aku mencarimu. Beliau memerintahkan hari ini pula kau menemuinya. Andai tak juga bertemu di sini, aku susul kalian ke Lulumbang." Jawab Bana sahabatnya.
Ken Arok menarik nafas dalam. Meredakan sedikit amarahnya karena Bana meninggalkan padepokan. Ingkar atas tugas menggantikan dirinya melayani Dahyang Loh Gawe, guru mereka.
"Apakah ada pesan penting dari beliau ?" Tanya Ken Arok.
"Hanya itu pesannya. Segera pulang ke padepokan, temui aku sekarang. Begitu." Jawab Bana.
Ken Arok menatap wajah teman-temannya. Dengan isyarat matanya seolah minta pertimbangan, tidak akan ikut rencana operasi pencegatan prajurit Tumapel yang akan pergi ke Kediri, membawa upeti untuk Prabu Kertajaya.Â
"Tinggalkan saja Arok. Temui gurumu, barangkali sangat penting. Lusa kami akan mencegat pembawa upeti itu di hutan Sanggariti. Meski terasa kurang asyik tanpa kau bersama kami, tapi percayalah kami sanggup tunaikan tugas." Kata pemuda pendek itu.
"Baiklah Hayam. Aku titipkan teman-teman dalam pimpinanmu. Jika selesai simpan hasilnya di tempat yang sudah kita sepakati. Kelak harta itu akan berguna bagi kita. Aku ingin menemui Mahaguru Loh Gawe."
Di depan pintu hutan Karautan itu mereka berpisah. Hayam bersama lima orang temannya segera masuk hutan yang menjadi sarang mereka sejak mereka jadi buron prajurit Tumapel. Sementara Ken Arok segera mengayun langkah ke kapedokan Dahyang Loh Gawe.
******
"Saya datang guru. Ada tugas yang akan engkau berikan padaku ? . Mohon sampaikan saja" kata Arok.
"Dari mana saja kamu. Hampir saja aku putus asa menunggu kedatanganmu. Janjiku kepada Akuwu Tunggul Ametung hampir habis waktunya, besok pasti ia akan datang menagihnya. Untuk mencarikan ksatria yang mampu memadamkan kerusuhan di negeri ini. Jika ingkar leherku akan dipenggalnya." Kata gurunya.
"Kenapa guru mencariku ? Bukankah tinggal guru katakan, jika Akuwu mampu mengendalikan prajuritnya untuk tidak menindas rakyat, maka para perusuh yang menyatroni pembawa upetinya akan berhenti dengan sendirinya." Â Kata Arok.
"Hahaha Arok, Arok. Ternyata darahmu masih terlalu panas, sehingga otakmu tidak mampu berpikir karena hatimu gampang terbakar.
Ini kesempatan bagimu, Garudaku. Untuk mengubah seluruh keadaan, agar cakrawarti Mahadewa Syiwa kembali berkibar. Akan aku kirim dirimu ke pusat pergolakan negeri ini, agar kau bisa memadamkan sumber masalah di negeri ini. Anakku."
"Maksud guru ?"
"Tidakkah kau dengar warta ? Akuwu Tunggul Ametung baru saja dipanggil untuk menghadap Prabu Kertajaya. Ia dituduh telah memancing keributan dengan para pendeta Buda Mahayana, karena menculik putri Mpu Purwa, bernama Dedes. Selama penghadapan ia tak mempersembahkan dalam pelaporan. Keberadaan Ken Dedes di Tumapel disembunyikannya. Mungkin takut akan direbut Baginda. Â Itulah sebabnya ia didenda tiga kali lipat upeti setiap tahunnya, oleh putra mahkota." Kata Dahyang Loh Gawe.
"Ohhh bisa jadi itu sumber penyebab kehebohan yang aku dengar akhir-akhir ini guru.
Di desa-desa sepanjang jalan dari kediri ke Tumapel, banyak sekali rumah saudagar-saudagar kaya yang dirampok. Harta kekayaan mereka dikuras, terutama emas yang mereka simpan. Rumah-rumah suci, kuil-kuil atau padepokan-padepokan tak luput dari penjarahan. Banyak cantrik tewas. Patung-emas yang mereka keramatkan di rampas." Kata Arok.
"Dari mana kau dengar berita itu ?" Tanya Dahyang Loh Gawe.
"Berita kawan-kawanku guru. Mereka dari berbagai aliran kepercayaan negeri ini. Ada pemuja Shiwa, Wisnu, Durga, bahkan penganut Kalacakra dan Buda." Jawab Arok.
"Heeem. Berarti saatnya telah tiba garudaku. Kau harus berada di pusat pergolakan negeri ini. Jadilah anak bajang penggiring angin yang didambakan kehadirannya oleh para kawula. Ternyata Tunggul Ametung telah terlalu jauh langkahnya, ia telah menebar angin di mana-mana. Kini tiba saatnya menuai badai. Perilakunya telah banyak melukai hati kawula, ia menggali kuburnya sendiri. Otakmu yang cerdas, secerah matahari pagi di musim kemarau, tentu kau mengerti ucapanku ini." Kata Loh Gawe sembari menepuk pundak Ken Arok.
"Istirahatlah. Besok ikut aku ke Tumapel, menemui lawan tandingmu itu." Kata brahmana itu sembari melangkah meninggalkan kamar murid kesayangannya.
Sebelum keluar pintu kamar ia menoleh lagi.
"Apa katamu dulu jika berhasil bertemu dengan Tunggul Ametung, katakan sekali lagi garudaku." Minta Loh Gawe.
"Hahaha. Akan gedik kepalanya guru, sampai pecah. Manusia laknat keparat penindas rakyat jiwanya bejat tak layak hidup. Ia akan merusak keseimbangan hidup jagat pramudita. Hendak mengangkangi jagat ini untuk diri sendiri." Jawab Arok.
"Yah aku suka jawabanmu. Namun jangan kotori tanganmu dengan darah manusia bejat semacam itu. Garudaku. Carilah jalan yang lebih cerdik. Mahadewa melindungimu. Meditasilah sampai pagi. Selamat malam.
****
Hari itu Ken Arok telah menjadi bagian dari prajurit pengawal di pakuwon Tumapel. Ia masih ingat saat pertama kali ia bertemu dengan Akuwu Tunggul Ametung. Nampak wajah lelaki yang dianggapnya candala itu terlihat masam. Senyum kecut seolah mengejek brahmana mulia mahagurunya.
"Itukah jagoanmu yang kau percaya akan mampu memadamkan kerusuhan di negeri ini Hyang Mulia ?" Tanyanya.
"Benar Akuwu. Ia garudaku yang aku percaya menyelesaikan tugas itu. Sekarang aku serahkan dia bukan kepada Akuwu, namun kepada Gusti Permaisuri Ken Dedes, wanita mulia permata kiriman para dewa yang dicintai kawula." Kata Loh Gawe.
"Hahaha ya ya. Tapi usianya terlalu muda, aku sangsi ia mampu bekerja." Jawab Akuwu.
"Semuanya harus diuji dulu Akuwu. Menduga-duga saja bisa salah melakukan penilaian." Kata Loh Gawe.
"Baik. Jika kau percayakan kepada permaisuri Ken Dedes, sebaiknya ia aku tempatkan sebagai prajurit penjaga keamanan puri. Hartaku yang kuanggap berharga hanya puri dan isinya." Kata Akuwu.
"Lantas kapan ia dipercaya memadamkan kerusuhan negeri ini Akuwu ? Jika setiap hari ia terkungkung menjalankan tugas  dalam puri ini, kerusuhan tak akan pernah padam "
" Terus terang usianya yang muda menurunkan kepercayaanku untuk melakukan kerja besar dan berat, memadamkan kerusuhan yang sering terjadi di berbagai sudut negeri ini. Biarlah tugas itu aku panggul sendiri, Tunggul Ametung belum terlalu tua untuk bisa menumpas para perusuh itu." Kata Akuwu sambil tersenyum simpul.
"Baiklah akuwu. Yang penting aku telah memenuhi kesanggupanku, mencari kesatria sebagai jago negeri ini." Kata Tunggul Ametung pasrah, ia tak mampu menandingi Tunggul Ametung untuk bersilat kata.
"Bolehkah hamba mengajukan permohonan tuan Akuwu ?" Kata Arok memohon.
"Boleh, kenapa tidak. Tapi jangan meminta upah dulu sebelum bekerja. Keluar keringat. Tak ada sarapan pagi bagi mereka yang tak mau kerja, kerja dan kerja." Jawabnya sambil tersenyum.
"Puri istana Tumapel sangat luas tuan, tidak bisa hamba bekerja sendirian. Jika harus menjaga isi puri pula, betapa besar tanggung jawab yang harus dipikul. Sementara kerja harus segera dilakukan, siapa tahu para perusuh itu menolehkan pandangannya kesini besok atau lusa. Betapa lebih berat lagi beban yang harus dipikul. Hamba belum kenal dengan prajurit yang mulia, akan kikuk rasanya saya orang baru harus memimpin mereka. Bolehkah saya membawa lima puluh orang sahabat-sahabat saya untuk membantu hamba ?" Kata Arok.
Tunggul Ametung diam, pikirannya bekerja menimbang-nimbang. Menerima satu orang yang bukan kepercayaannya sendiri terasa berat, apalagi harus menerima lima puluh orang. Namun mengingat pemuda di depannya terlihat seperti orang desa biasa, tentu tak berbeda dengan lima puluh orang sahabatnya. Sementara prajurit pengawalnya banyak, dan tersebar di mana-mana. Andai jagoan Loh Gawe membuat rusuh, lama memijat buah ceplukan untuk menumpasnya.
"Baiklah. Bawa teman-temanmu itu. Aku percayakan keamanan puri dan isinya ini kepada kalian."Â
Pertemuan dengan Tunggul Ametung itu berakhir setelah ia dan gurunya diusir keluar, karena ada prajurit Tumapel yang masuk istana hendak melaporkan kejadian kerusuhan yang baru saja berlangsung di daerahnya.
"Ternyata setan itu punya otak juga. Dikurungnya kalian nanti di puri ini agar tak bisa memadamkan kerusuhan di negeri ini." Kata Loh Gawe sambil berbisik di dekat telinga Ken Arok saat perjalanan pulang.
"Jangan kawatir guru. Kelak alam akan memberi jalan. Yang penting aku kini sudah ada di tengah sumber kerusuhan. Janjiku kepada guru, Â akulah yang menjadi anak bajang itu, yang menggiring angin untuk menjadi badai, agar bisa menggulung manusia jahanam dan keparat itu." Kata Arok penuh percaya diri.
"Yah, pangestuku untukmu, garudaku."
***
Sore itu Ken Arok dan lima anak buahnya mendapat giliran 'tungguk kemit' di istana. Tugas rutin setiap beberapa saat mereka harus melakukan patroli berkeliling melihat keadaan. Seluruh lorong di istana sudah diketahuinya, tempat-tempat penting juga sudah dikenalnya.
Saat itu ketika matahari sebentar lagi tenggelam, ia serombongan berjalan di lorong sisi luar tembok tamansari keputren. Tembok itu cukup tinggi, semua orang yang lewat jalan itu tak dapat melihat apa isi tamansari itu. Siapapun tak berani melihat meskipun sekedar ingin tahu. Hukumannya terlalu berat bagi siapa saja yang berani mengintip.
Tiba-tiba langkah mereka berpapasan dengan prajurit pengawal yang baru pulang mengiringi Gusti Putri Permaisuri Tumapel pulang dari tetirah di taman larangan, taman indah hadiah khusus dari Akuwu untuk Ken Dedes.
Terpaksa Ken Arok dan kawan-kawannya menghentikan langkah, dan berdiri diam dengan takjim menunggu Permaisuri keluar dari tandu dan melangkahkan kaki masuk pintu butulan taman sari keputren.
Daun pintu butulan telah terbuka, dua emban menunggu di samping daun pintu itu, jika permaisuri sudah masuk demikian pula emban pengiringnya, dua emban penjaga pintu akan segera menutupnya.
Syahdan saat Ken Dedes keluar dari tandu, dan pintu butulan telah terbuka, tiba-tiba datanglah angin yang bertiup kencang. Hembusan angin yang banyak membawa debu itu menerpa setiap orang yang berdiri di situ. Dengan spontan semua orang menoleh menghindari debu yang berterbangan agar tidak memasuki mata. Bahkan hampir semua orang memejamkan mata. Kecuali Arok seorang.
Ken Dedes sudah terlanjur keluar dari tandu, iapun memejamkan mata pula. Namun angin kencang itu tak peduli apapun yang diterjangnya. Tiba-tiba kain sutra penutup tubuh bagian bawah Ken Dedes tersingkap. Ken Arok terpana sejenak melihat kejadian itu. Namun sebentar kemudian ia terkejut, dari balik cawat yang dikenakan Ken Dedes memancar sinar terang benderang yang menyilaukan.
Arok mampu bertahan menatap sinar itu. Getaran energi kundalininya bekerja, merambat dengan cepat menuju kedua bola matanya. Mata itupun lantas bersinar seperti mata kucing candramawa.
Ken Dedes yang menyadari kain sutra penutup tubuhnya tersingkap hingga memperlihatkan bagian tubuh yang dirahasiakan, bergegas membenahi pakaiannya. Setelah itu matanya jelalatan memandang setiap orang di sana. Hampir semua ia yakini tak melihat keadaannya barusan. Kecuali seorang pemuda yang dengan berani membuka mata menatapnya.
Dengan marah ia menatap balik mata pemuda itu. Namun sebentar saja ia tak mampu melanjutkan tatapannya. Mata pemuda yang tak dikenal yang kini berdiri di depannya itu sangatlah tajamnya. Â
Dari bola hitam itu memancar energi yang sangat dahsyat, yang dapat meluluhkan kemarahan yang sempat hendak bangkit dari hatinya. Darinya ia rasakan sebuah perbawa yang besar yang tak dapat dilawan.
Dengan spontan Ken Dedes menganggukkan kepala, memberi hormat kepada pemuda itu. Setelah tahu prajurit baru itu menganggukkan kepala juga, Ken Dedes bergegas melangkah masuk pintu butulan itu menuju tamansari keputren.
Tubuh putri Mpu Parwa dari Desa Panawijen itu masih bergetar, mengalami peristiwa mistis yang sudah dikenalnya lewat kitab-kitab yang pernah dibacanya. Lelaki dengan pancaran cahaya eka grata itu pertanda ia telah mencapai puncak samadi. Energi kundalininya telah mampu menggerakkan tujuh cakra utama dalam dirinya. Bahkan mungkin cakra mahkotanyapun telah terbuka. Jika telah mencapai tahap demikian berarti cahaya jiwanya telah menyatu dengan cahaya langit.
"Jagatdewa ya jagat pramudita. Ia berarti brahmana muda. Usianya takkan jauh dariku, tapi tingkat kemampuan samadinya telah setarap maha guru. Jagat dewa bathara."
Berulang kali Ken Dedes mengulang-ulang ucapannya itu. Para emban pengiringnya saling berpandangan, mereka heran menyaksikan kelakuan aneh permaisuri, junjungannya yang cantik dan jelita itu.Â
(TAMAT)
Lereng Kelud, Kediri
Jumat, 18 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H