"Hahaha Arok, Arok. Ternyata darahmu masih terlalu panas, sehingga otakmu tidak mampu berpikir karena hatimu gampang terbakar.
Ini kesempatan bagimu, Garudaku. Untuk mengubah seluruh keadaan, agar cakrawarti Mahadewa Syiwa kembali berkibar. Akan aku kirim dirimu ke pusat pergolakan negeri ini, agar kau bisa memadamkan sumber masalah di negeri ini. Anakku."
"Maksud guru ?"
"Tidakkah kau dengar warta ? Akuwu Tunggul Ametung baru saja dipanggil untuk menghadap Prabu Kertajaya. Ia dituduh telah memancing keributan dengan para pendeta Buda Mahayana, karena menculik putri Mpu Purwa, bernama Dedes. Selama penghadapan ia tak mempersembahkan dalam pelaporan. Keberadaan Ken Dedes di Tumapel disembunyikannya. Mungkin takut akan direbut Baginda. Â Itulah sebabnya ia didenda tiga kali lipat upeti setiap tahunnya, oleh putra mahkota." Kata Dahyang Loh Gawe.
"Ohhh bisa jadi itu sumber penyebab kehebohan yang aku dengar akhir-akhir ini guru.
Di desa-desa sepanjang jalan dari kediri ke Tumapel, banyak sekali rumah saudagar-saudagar kaya yang dirampok. Harta kekayaan mereka dikuras, terutama emas yang mereka simpan. Rumah-rumah suci, kuil-kuil atau padepokan-padepokan tak luput dari penjarahan. Banyak cantrik tewas. Patung-emas yang mereka keramatkan di rampas." Kata Arok.
"Dari mana kau dengar berita itu ?" Tanya Dahyang Loh Gawe.
"Berita kawan-kawanku guru. Mereka dari berbagai aliran kepercayaan negeri ini. Ada pemuja Shiwa, Wisnu, Durga, bahkan penganut Kalacakra dan Buda." Jawab Arok.
"Heeem. Berarti saatnya telah tiba garudaku. Kau harus berada di pusat pergolakan negeri ini. Jadilah anak bajang penggiring angin yang didambakan kehadirannya oleh para kawula. Ternyata Tunggul Ametung telah terlalu jauh langkahnya, ia telah menebar angin di mana-mana. Kini tiba saatnya menuai badai. Perilakunya telah banyak melukai hati kawula, ia menggali kuburnya sendiri. Otakmu yang cerdas, secerah matahari pagi di musim kemarau, tentu kau mengerti ucapanku ini." Kata Loh Gawe sembari menepuk pundak Ken Arok.
"Istirahatlah. Besok ikut aku ke Tumapel, menemui lawan tandingmu itu." Kata brahmana itu sembari melangkah meninggalkan kamar murid kesayangannya.
Sebelum keluar pintu kamar ia menoleh lagi.