Malam yang gelap gulita itu mendadak diwarnai seleret cahaya sebuah bintang yang jatuh dari langit. Semua kepala mendongak ke atas. Â Mata mereka menyaksikan cahaya bintang yang menukik ke bawah membentuk garis lurus memotong gelap malam dalam sekejab.Â
Hanya Ki Ardi dan Singa Lodhaya yang masih terpaku mengawasi gerak-gerik lawan. Sama sekali tak peduli terhadap apapun yang terjadi di sekitarnya. Juga terhadap bintang yang meluncur menembus segumpal awan. Masing-masing sibuk mencari celah kesempatan untuk melancarkan serangan ke bagian tubuh lawan.
Keduanya masih lincah gesit dan kuat. Meski hampir sehari penuh perut mereka tak terisi makanan, setetespun kerongkongan tak terbasahi minuman, namun tenaga mereka seolah tidak pernah susut.
Semangat mereka masih menggelora untuk menundukkan musuh. Singa Lodhaya dengan cakar baja di sepuluh jari tangannya, Ki Ardi dengan tongkat kayu di tangan kanannya. Senjata-senjata itu belum mampu dipergunakan untuk menundukkan lawan agar mau menyerah.
Sebenarnya mudah bagi Ki Ardi untuk menghentikan pertempuran. Dengan aji Tapak Naga Angkasa yang dimilikinya, singa galak dari hutan Lodhaya itu bisa dibunuhnya. Namun bukan itu sikap bathinnya, lebih baik memeras tenaga dan keringat untuk berjuang menangkap Singa Lodhaya hidup-hidup, daripada mencabut nyawanya.
Kini lingkaran pengawal dan prajurit yang mengitari arena mereka bertempur semakin padat. Â Jumlah pengawal dan prajurit yang semula terbagi-bagi di beberapa lingkaran pertempuran, sekarang semua 'tumplek bleg' memadati arena di mana keduanya berlaga.
"Sudahlah Maruta, menyerahlah !!. Jangan bernafsu menguras tenagamu untuk sebuah mimpi yang tak akan tergapai. Sadarilah kenyataan, tidak semua keinginan bisa diwujudkan." Kata Ki Ardi.
Lawannya terkejut mendengar sebuah nama yang kakek tua itu sebutkan. Dengan terus menyerang ia bertanya.
"Apa katamu ? Kau panggil aku Maruta ? Maruta sudah mati. Kini di hadapanmu adalah Singa Lodhaya. Pendekar besar yang sebentar lagi menggulung jagad." Jawab Singa Lodhaya.
"Hahaha. Kau ternyata sudah melupakan jatidirimu Maruta. Tertutup oleh mimpi-mimpi besar namun semu, hingga melupakan asal-usulmu sendiri.Â
Bukankah Maruta itu nama kecilmu ? Nama pemberian ayah bundamu ? Nama yang indah pemberian bapak ibumu, artinya angin. Itu doa mereka agar kelak kau mewarisi watak angin yang sejuk, watak udara yang memberi nafas kehidupan.
Namun karena piciknya nalarmu, tertutup rasa bangga karena tingginya ilmu kanuraganmu, di jagad persilatan kau tambah namamu dengan kata singa, Singa Maruta. Bahkan kini telah berubah lagi jadi Singa Lodhaya."
Singa Lodhaya menghentikan serangannya. Ia tambah terkejut lawannya mengetahui sedikit riwayat masa lalunya. Riwayat hidup yang terasa getir untuk diingat kembali, dan layak dikubur agar tidak dikenang dan menjadi sampah dalam ingatan.
"Siapakah kau, yang tahu nama asliku ? Juga sedikit riwayat hidupku ?" Tanya Singa Lodhaya.
"Aku Bawana, sahabat kecilmu kala di desa. Kita sama-sama dari Adiluwih, desa kecil di pinggir kali Brantas. Anak tukang satang yang biasa menyebrangkan orang-orang yang ingin melintasi bengawan itu." Jawab Ki Ardi.
"Bukankah kau anak Demang Sarkara yang kaya raya itu ?" Lanjut Ki Ardi yang saat kecil bernama Bawana.
"Jangan kau sebut lagi nama itu, nama orang tua yang keblinger karena perempuan cantik penari ledek di desa kita. Dialah yang menyebabkan kami hidup menderita, aku dan ibuku. Karena wanita jalang itu, kami diusir agar meninggalkan rumah.
Tak kuat menahan sakit hati dan derita hidup ibukupun meninggal. Aku hidup sebatang kara dengan dendam membara di dada. Untuk membalas sakit hatiku aku berguru kepada tokoh sakti di gunung Lawu, Ki Cakar Sima.Â
Sepuluh tahun kemudian aku kembali ke desa, Adiluwih. Aku lenyapkan seluruh keluarga baru ayahku. Lelaki itu, isteri dan anak-anaknya aku robek-robek tubuhnya. Desa Adililuwih aku bumi hanguskan. Semua kenangan masa kecilku aku lenyapkan." Kata Singa Lodhaya yang saat kecil bernama Maruta.
"Sudah cukup kau lampiaskan dendam kesumat di hatimu, Maruta. Kembalilah kemasa mudamu seperti dulu saat di desa. Sebelum ayahmu kasmaran dengan janda cantik itu. Sebagai pemuda yang ramah sopan dan menghargai sesama."
"Jangan kau sesorah tentang kebajikan di depanku sekarang. Aku muak mendengarnya. Ayahku sendiri yang dulu sering sesorah di depan warga desa tentang kebajikan, dengan mudahnya mengingkari ucapannya sendiri."
"Tidakkah kau menyadari dirimu sekarang ? Sahabat-sahabat yang menemanimu mereguk kenikmatan dunia kini telah tiada. Nyawa mereka melayang entah ke mana. Â Tentu mereka tidak masuk ke nirwana. Untuk menikmati hidup baru yang bahagia dan kekal di alam baka."
"Cih, embelgedes, tahi kucing. Semua yang kau ucapkan itu adalah tipuan. Racun kata-kata. Cara orang-orang yang sok suci, yang tak mau memeras tenaga dan keringat untuk bekerja. Dengan bibirnya ia menyebar cerita yang indah, dengan mulut manis ia mengajarkan kebajikan. Tapi semua kedok belaka untuk menghisap harta kekayaan dari kawula." Bantah Maruta.
"Meski sebagian ucapanmu benar, tidak semua guru suci tulus hatinya, tidak  benar-benar bersih pikirannya, dan dituntun oleh ajaran kebenaran semata.  Meskipun demikian setidak-tidaknya itu lebih baik dari mereka yang mengumpulkan harta dengan cara merampok dan membegal. Apalagi dengan menyakiti bahkan membunuh pemiliknya."
"Lebih baik cara hidupku. Jelas. Siapa yang kuat dialah yang berhak untuk berjaya. Sedangkan yang lemah layak musnah."
"Nalarmu memang sudah jauh keblinger Maruta. Otakmu sudah sarat ajaran sesat. Kau memang layak untuk ditangkap. Agar tidak meracuni pikiran sesama."
"Bukankah memang itu niatmu sejak dulu ? Kenapa tidak kau tangkap aku sejak kau tahu sikapku ? Kenapa baru sekarang kau nyatakan ? Semuanya sudah terlambat. Korbanku sudah banyak, anak buahku juga tidak sedikit." Jawab Maruta.
"Nah jika kau mampu, tangkap sekarang aku. Jangan seperti sikap perempuan cengeng yang takut darah tercecer di tanah." Lanjutnya.
Ki Ardi diam, tak lagi dapat berkata-kata. Singa Lodhaya sudah tak dapat lagi diajak bicara. Hatinya sudah gelap, karena lama tenggelam dalam kehidupan yang sesat.
Segera keduanya bersiap untuk bertempur kembali. Singa Lodhaya alias Maruta mengaum dahsyat dan menggetarkan tubuhnya. Ki Ardi atau Bawana memutar tongkat kayunya dengan cepat. Ketika Maruta melompat menerkam dengan kuku-kuku baja tajamnya, Bawana melompat menghindar sambil memukulkan tongkatnya ke arah tengkuk lawan.
"Buuukkk" terdengar benturan antara tongkat kayu dengan tengkuk Maruta.
Lelaki dari desa Adiluwih itu menekuk tubuhnya dan jatuh ke tanah pada tengkuknya, lantas menggelinding dengan cepat kemudian melompat berdiri. Bawana mendiamkan Maruta yang berkacak pinggang beberapa depa di depannya. Matanya merah memandang dengan tajam lawannya.
"Kenapa nggak segera dibunuh saja Singa jelek itu ?" Gumam Nyai Rukmini yang berdiri di pinggir arena.
"Ki Ardi  barangkali ingin menangkap hidup-hidup Nyai " bisik Sembada yang ternyata berdiri di samping wanita itu.
"Mau saja mempersulit diri. Jika kita kendor mengawasi justru membahayakan orang lain."
Sembada diam. Meski ia setuju dengan keinginan Ki Ardi, ia tidak mau menyangkal pendapat Nyai Rukmini. Guru Sekar Arum itu juga sangat dihormati oleh Sembada. Kedudukannya sama dengan Ki Ardi alias Kidang Gumelar dan Menjangan Gumringsing, guru-gurunya.
Ki Ardi terus merangsek Singa Lodhaya dengan pukulan-pukulan tongkatnya, tidak saja dengan tenaga dalam, tapi juga dengan sedikit Aji Tapak Naga Angkasa. Maruta alias Singa Lodhaya merasakan pengaruhnya. Tongkat kayu itu terasa lebih keras dan panas. Ia menyadari jika kakek tua itu menyalurkan ajinya sampai tuntas, tidak hanya tulang belakangnya yang akan patah, tapi tubuhnya akan hancur.
Tak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Tapi ia juga tak mau untuk ditangkap hidup-hidup. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tapi menderita malu.Â
Ia membayangkan jika ia tertangkap, mungkin akan diarak dengan pedati dalam kerangkeng terbuka mengeliling desa Maja Dhuwur. Kemudian dibawa entah kemana menghadap Pangeran Erlangga yang kabarnya masih hidup. Pangeran itulah yang memutuskan hukuman, barangkali ia akan digantung di alun-alun.
"Tidak !!! Lebih baik aku tewas di sini." Bisik hati Maruta sambil geleng-geleng kepala.
Singa Lodhaya mengaum keras sekali, seolah tengah mengeluarkan segala isi hatinya yang pepat oleh segala perasaan yang berkait kelindan. Rasa jengkel, kesal dan marah atas semua kegagalan usahanya menggempur kademangan Maja Dhuwur. Juga karena  tak mampu merobohkan lawannya yang tua itu.
Sejenak ia menggetarkan tubuhnya, membangkitkan aji Macan Liwung yang ia warisi dari gurunya, Ki Cakar Sima, dari gunung Lawu. Kemudian ia merundukkan badan, kedua tangannya menyentuh tanah, siap melompat dan menerkam musuhnya dengan dahsyat.
Jika musuhnya dapat diterkamnya dan jatuh ke tanah, acapkali ia lantas merobek-robek dada dan mukanya dengan cakar baja yang runcing dan tajam di sepuluh jari-jari tangannya. Pengalaman berpuluh-puluh kali bertempur, lawannya mesthi tewas dan tidak dikenali jatidirinya lagi. Hancur.
Ki Ardi bersiap menunggu singa galak itu menerkamnya, tongkatnya telah ia angkat tinggi-tinggi, siap menggebug punggung singa galak itu. Getaran aji Tapak Naga Angkasa juga sudah ia alirkan ke tongkat itu hingga sampai ujungnya.
Seperti mendengar petir menggelegar di siang bolong saat langit tak ada awan, kakek tua yang saat muda bernama Bawana itu terkejut setengah mati, yang ditunggu meloncat untuk menerkamnya tak kunjung datang. Sebaliknya yang ia lihat singa galak itu membalikkan tubuhnya dan berlari kencang menuju kerumunan prajurit dan pengawal yang berdiri di pinggir arena pertempuran.
"Awasss !!!!" Teriak Ki Ardi mengingatkan.
Namun teriakan peringatan kakek tua itu tidak berpengaruh terhadap nasib para pengawal dan prajurit yang tengah berdiri rapat seperti pagar betis di pinggir arena pertempuran dua tokoh sakti itu.Â
Sebentar saja terdengar jeritan menyayat bersautan dari mulut-mulut pengawal dan prajurit yang diterjang oleh serangan Singa Lodhaya. Disusul oleh beberapa tubuh berjatuhan bermandi darah. Mereka yang lolos dari terkaman berlarian ke sana kemari menjauhi arena untuk menyelamatkan nyawa mereka dari dewa maut.
Singa Lodhaya terus bergerak dengan ganasnya. Ia mengamuk menyerang siapa saja yang berada di dekatnya. Korban berjatuhan tak lagi terbilang jumlahnya. Siapapun yang diterkamnya pasti meregang nyawa.
Sembada tak mau tinggal diam. Dengan cambuk Nagageni di tangannya ia segera berlari mendekati medan yang kacau balau itu. Demikian juga Nyai Rukmini, iapun berlari kencang dengan tongkat penjalin di tangan, siap digebugkan ke tubuh singa yang menggila itu. Disusul Sekar Arum yang melayang terbang lewat kepala-kepala prajurit dan pengawal yang panik berlarian. Kedua pedang di tangannya berputar teraliri aji Garuda Sakti sampai puncak.
Sembada melihat Singa Lodhaya dengan ganas dan kejam menyerang pengawal dan prajurit dengan cakar baja tajamnya. Siapapun yang terkena cakarnya pasti terjungkal bermandi darah. Ia bergerak kesana kemari seolah tengah memamerkan tarian maut dewa Yama yang bertugas mencabut nyawa orang.
Segera saja Sembada menukik turun sembari menghantamkan ujung cambuknya ke punggung lawan. Namun Singa Lodhaya dengan gesit dan lincah menghindar. Namun Sembada tidak mau berhenti berusaha menghadang amok singa galak itu. Ujung cambuknya bergerak cepat, benda lentur itu kini dapat membelit leher gembong hutan Lodhaya.
Dengan cepat pula Sembada menarik cambuk dengan seluruh tenaga yang dimilikinya. Bersama dengan gerak tarikan cambuk itu, sebuah bayangan menukik dari udara seperti burung camar yang bermain di samudra, tongkat penjalin di tangan bayangan itu bergerak cepat dan kuat, menghantam dada Singa Lodhaya.
"Heeekkk" terdengar nafas Singa itu terhambat sesaat oleh hantaman tongkat penjalin bayangan orang yang ternyata Nyai Rukmini itu.
Namun belum lagi mata berkedip menyaksikan semua peristiwa yang terjadi, datang lagi orang ketiga yang meluncur dengan cepatnya. Seperti burung garuda bersayap pedang yang menukik dan menyambar mangsanya, pedang di sayap kanannya dengan cepat menghujam tepat di dada, dan terbenam sangat dalam membelah jantung mangsanya.
Dengan kedua tangannya yang juga teraliri getaran Aji Tapak Naga Angkasa, Sembada terus menarik tubuh Singa Lodhaya dengan cambuknya yang ujungnya telah membelit leher lawannya, dan melemparkan tubuh itu ke tengah-tengah arena lagi. Tubuh Singa Lodhaya itu nampak melayang di udara sesaat, kemudian jatuh di tanah tepat di depan Ki Ardi berdiri.
"Bruuuggg" terdengar benda berat jatuh di tanah.Â
Semua mata memandangi benda itu, nampak ia tak dapat bergerak lagi. Pengawal dan prajurit yang melihat  itu seluruhnya menghirup nafas panjang dan menghembuskannya dengan lega. Lawan terakhir mereka sudah tercabut nyawanya. Tidak mungkin membuat bencana lagi. Ia telah mati bersama datangnya fajar yang menyingsing di timur menjelang pagi.
Ki Ardi tidak mau melihat mayat bekas musuhnya berperang tanding itu. Ia balik badan dan ngeloyor pergi. Rupanya ia menyesali sikapnya sendiri, tidak segera membunuh lelaki yang berasal dari Adiluwih, desa di pinggir bengawan Brantas yang juga tempat kelahirannya itu. Sehingga menimbulkan bencana bagi prajurit dan pengawal yang diamuk oleh Singa Lodhaya.
Ketika kepanikan sesaat itu telah hilang, keadaan kembali tenang, Senopati Wira Manggala Pati menjatuhkan perintah agar prajurit dan pengawal segera pergi meninggalkan bekas medan pertempuran itu.Â
Selanjutnya lewat prajurit penghubung ia memerintahkan petugas yang mengurus para korban perang untuk bekerja. Agar daerah persawahan itu segera bersih dari mayat yang bergelimpangan di sana-sini.
Dengan langkah gontai karena letih dan lelah, prajurit dan pengawal melangkahkan kaki mereka pulang ke kademangan Maja Dhuwur. Meski mereka memenangkan perang, namun tak ada yang menampakkan raut muka yang ceria. Tiada senyum di bibir mereka. Semua nampak murung dan menundukkan kepala. Semua tahu korban berjatuhan pula di antara mereka.
Ada yang kehilangan saudara, sahabat dan tetangga. Mereka meninggal di medan peperangan, yang tak akan dapat mereka jumpai lagi kelak di masa datang. Ikut menjadi tawur bagi kademangan Maja Dhuwur, desa subur loh jinawi, tempat lahir mereka yang tercinta.
********
Mentari merangkak terus pada garis edarnya di langit. Kini telah melewati puncaknya. Namun cahayanya masih terasa panas memanggang kulit. Angin sepoi yang berhembus dari selatan, sedikit mengurangi sengatan sinar mentari di kulit.
Para petugas yang mengurus korban perang hampir selesai melaksanakan kerjanya. Sebagian telah mengubur mayat-mayat musuh dalam satu lubang. Entah gembong atau bawahan tak mereka pedulikan, semuanya dimasukkan dalam lubang besar yang mereka gali di tengah sawah dan segera ditimbun tanah. Tak ada tanda secuwilpun mereka sertakan di kuburan, agar mereka hilang dalam kenangan.Â
Petugas lain mengangkat pengawal dan prajurit yang terluka parah yang tertinggal di medan. Â Mereka yang terluka ringan dan dapat berjalan lebih dulu pulang dituntun teman-temannya. Mereka yang parah dikumpulkan di balai kademangan agar bisa diupayakan pengobatannya.
Dengan keranda bambu yang meninggal diletakkan di balai-balai rumah-rumah penduduk yang telah dipersiapkan. Jasad mayat korban perang semacam itu tak pernah dimandikan, darma mereka bagi sesama telah menyucikan segala dosa yang pernah mereka lakukan, demikian keyakinan adat yang berlaku.Â
Kulit mereka akan langsung dibalur reramuan agar tidak cepat rusak dan berbau. Tiga hari kemudian baru diperabukan, jasad mereka dibakar dan abunya dilarung di sungai. Agar semuanya kembali ke alam abadi dari mana jiwa dan raga mereka berasal.
Ketika para petugas sebagian masih sibuk bekerja mengurus para korban perang itu, di regol masuk kademangan Maja Dhuwur para pengawal yang bertugas berjaga di gardu regol menghentikan langkah kaki empat orang yang hendak masuk ke kademangan.
Empat orang itu semua berjubah kuning dengan rambut tersanggul di atas kepala. Dari pakaian yang mereka kenakan tentu mereka bukan dari golongan musuh yang baru saja menyerbu kademangan itu. Namun mereka itu para pendeta guru agama suci yang sangat mereka hormati.Â
"Maaf bapa, akan pergi kemanakah bapa memasuki regol kademangan ini ?" Tanya pengawal kepada orang tertua rombongan itu.
"Maaf tuan. Kami sekedar mau lewat di jalan ini untuk pulang di padepokan kami. Kami tinggal di padepokan Tunggarana tuan. Padepokan kami di lereng bukit itu." Jawab lelaki yang dipundaknya tercangklong sebuah tas dari anyaman akar tanaman.
"Nampaknya rombongan bapa baru saja menempuh perjalanan jauh. Boleh kami tahu dari mana bapa pergi ?"
"Kami baru pulang dari pesisir selatan, untuk mencari kerang hijau sebagai bahan pelengkap reramuan obat luka karena senjata tuan."
"Apakah bapa berhasil menemukan kerang-kerang hijau itu di pesisir laut selatan itu, bapa ?"
"Sukurlah, atas karunia Hyang Widhi kami berhasil mengumpul kan kerang-kerang hijau itu banyak sekali. Cukup untuk obat luka puluhan bahkan ratusan orang."
"Kalau begitu, maukah bapa menolong kami ?. Baru saja teman-teman kami terluka oleh senjata. Karena perang yang baru selesai pagi tadi." Tanya pengawal itu.Â
"Tentu. Kami dengan senang hati akan membantu. Di manakah teman-temanmu yang terluka itu ?" Jawab lelaki itu.
"Mereka dikumpulkan di balai kademangan, bapa. Jika bapa bersedia akan kami antar bapa bersama teman-teman bapa ke balai kademangan. Sekaligus akan aku laporkan kepada pimpinan kami. Maaf, siapakah nama bapa ?"
"Saya Barada tuan. Pemimpin padepokan Tunggarana. Anak-anak muda ini adalah murid-muridku."
"Baiklah. Mari ikut kami bapa. Kami antar kalian Ke balai kademangan agar bapa bisa segera mengobati luka teman-teman kami."
Pendeta suci itu menganggukkan kepala. Mereka segera berjalan menuju balai kademangan Maja Dhuwur. Â Ketika sampai segera prajurit bergegas mendahului masuk balai kademangan, mencari senopati untuk melaporkan kedatangan pendeta suci bernama Barada yang memiliki keahlian tentang obat-obatan.
Senopati Wira Manggala Pati dan demang Sentika bersama para pimpinan prajurit dan Pengawal Maja Dhuwur baru selesai makan siang. Mereka duduk di ruang tengah rumah ki demang. Prajurit itu segera menghampirinya.
"Ampun tuan senopati. Kami melaporkan kedatangan empat orang tamu para pendeta suci dari padepokan Tunggarana. Mereka punya keahlian mengobati luka akibat senjata tajam."
"Dari padepokan Tunggarana ? Apakah namanya Mpu Barada ?" Tanya Senopati.
"Beliau hanya menyebut namanya Barada saja tuan. Tidak memakai embel-embel kata Mpu." Jawab pengawal itu.
"Yah. Mpu adalah panggilan kehormatan baginya. Sukurlah ia berkenan datang ke sini tanpa kita undang. Beliau memang pendeta suci yang sekaligus ahli di bidang pengobatan. Aku sering bertemu beliau di pesanggrahan Pangeran Erlangga. Beliau adalah guru pangeran itu."
"Guru pangeran Erlangga ?" Tanya ki demang.
"Yah. Benar. Guru suci yang beliau hormati." Jawab Senopati.
"Jika demikian mari kita sambut bersama kedatangannya. Adalah sebuah karunia bagiku, kademangan ini dihadiri oleh Mpu Barada guru suci Pangeran Erlangga." Kata ki demang.
Beberapa orang di ruang tengah rumah ki demang itu segera berdiri, dan tergopoh-gopoh menyambut Maharesi Mpu Barada, yang namanya sudah banyak dikenal di kalangan bangsawan sejak Medang Kamulan masih berdiri.
Handaka, Sekarsari, Sambaya dan Kartika tertarik mengikuti senopati Wira Manggala Pati dan ki Demang Sentika, serta pemimpin prajurit yang lain berjalan keluar ruang tengah rumah ki demang itu. Bergegas mereka berjalan melewati pendapa yang penuh sesak orang-orang terluka bagian tubuhnya karena terkena senjata lawan.
Setelah melewati tangga batu balai kademangan itu mereka menunduk-nunduk jalannya, menghampiri empat orang berpakaian pendeta yang berdiri di halaman kademangan.
"Rahayu Maharesi. Berkah bagi kami Maharesi Mpu Barada berkenan datang ke kademangan ini." Kata ki demang Sentika sambil menyalami dan mencium tangan Mpu Barada. Semua orang di belakang ki demang dan senopati mengikuti cara ki demang.
"Rahayu Tuan Senopati dan Ki demang. Kebetulan saja ki demang kami lewat sini. Karena diminta seorang pengawal untuk membantu mengobati orang-orang yang terluka akibat senjata, kamipun memutuskan untuk mampir. Kabarnya baru saja terjadi perang di sini."
"Benar Mpu, pasukan gabungan golongan hitam baru saja menyerbu kami. Sukurlah kami bisa bertahan."
"Sukurlah. Kami ikut gembira kademangan Maja Dhuwur tidak dapat direbut para penyerbu itu."
"Baru pulang dari manakah Mpu ?"
"Saya bersama anak-anak muridku baru pulang dari pesisir selatan. Mencari kerang hijau untuk campuran ramuan obat luka senjata."
"Sangat besar rasa terima kasih kami Mpu Barada berkenan membantu. Kedatangan maharesi di kademangan kami saja sudah kami anggap karunia besar bagi kami. Semoga kedatangan Mpu Barada menjadi berkah bagi seluruh kawula kademangan Maja Dhuwur."
"Aahh janganlah berlebihan menyambutku. Akupun manusia biasa seperti kalian. Berkenalan dengan tuan-tuan, bagiku juga sebuah karunia. Kata orang pandai, kita akan bertambah umur jika punya banyak kenalan."
"Hahaha yayaya. Baiklah. Mari masuk balai kademangan kami Empu." Ki demang mempersilahkan dengan tangannya pula.
Empat orang itupun melangkah bersama dengan ki demang dan senopati menuju balai kademangan Maja Dhuwur. Sementara Sekar Sari memisahkan diri tidak ikut naik tangga batu untuk masuk pintu balai kademangan itu. Ia berbelok ke kiri menuju pintu dapur untuk mempersiapkan hidangan buat tamu-tamunya yang baru saja datang.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H