Bukankah Maruta itu nama kecilmu ? Nama pemberian ayah bundamu ? Nama yang indah pemberian bapak ibumu, artinya angin. Itu doa mereka agar kelak kau mewarisi watak angin yang sejuk, watak udara yang memberi nafas kehidupan.
Namun karena piciknya nalarmu, tertutup rasa bangga karena tingginya ilmu kanuraganmu, di jagad persilatan kau tambah namamu dengan kata singa, Singa Maruta. Bahkan kini telah berubah lagi jadi Singa Lodhaya."
Singa Lodhaya menghentikan serangannya. Ia tambah terkejut lawannya mengetahui sedikit riwayat masa lalunya. Riwayat hidup yang terasa getir untuk diingat kembali, dan layak dikubur agar tidak dikenang dan menjadi sampah dalam ingatan.
"Siapakah kau, yang tahu nama asliku ? Juga sedikit riwayat hidupku ?" Tanya Singa Lodhaya.
"Aku Bawana, sahabat kecilmu kala di desa. Kita sama-sama dari Adiluwih, desa kecil di pinggir kali Brantas. Anak tukang satang yang biasa menyebrangkan orang-orang yang ingin melintasi bengawan itu." Jawab Ki Ardi.
"Bukankah kau anak Demang Sarkara yang kaya raya itu ?" Lanjut Ki Ardi yang saat kecil bernama Bawana.
"Jangan kau sebut lagi nama itu, nama orang tua yang keblinger karena perempuan cantik penari ledek di desa kita. Dialah yang menyebabkan kami hidup menderita, aku dan ibuku. Karena wanita jalang itu, kami diusir agar meninggalkan rumah.
Tak kuat menahan sakit hati dan derita hidup ibukupun meninggal. Aku hidup sebatang kara dengan dendam membara di dada. Untuk membalas sakit hatiku aku berguru kepada tokoh sakti di gunung Lawu, Ki Cakar Sima.Â
Sepuluh tahun kemudian aku kembali ke desa, Adiluwih. Aku lenyapkan seluruh keluarga baru ayahku. Lelaki itu, isteri dan anak-anaknya aku robek-robek tubuhnya. Desa Adililuwih aku bumi hanguskan. Semua kenangan masa kecilku aku lenyapkan." Kata Singa Lodhaya yang saat kecil bernama Maruta.
"Sudah cukup kau lampiaskan dendam kesumat di hatimu, Maruta. Kembalilah kemasa mudamu seperti dulu saat di desa. Sebelum ayahmu kasmaran dengan janda cantik itu. Sebagai pemuda yang ramah sopan dan menghargai sesama."
"Jangan kau sesorah tentang kebajikan di depanku sekarang. Aku muak mendengarnya. Ayahku sendiri yang dulu sering sesorah di depan warga desa tentang kebajikan, dengan mudahnya mengingkari ucapannya sendiri."