Namun belum lagi mata berkedip menyaksikan semua peristiwa yang terjadi, datang lagi orang ketiga yang meluncur dengan cepatnya. Seperti burung garuda bersayap pedang yang menukik dan menyambar mangsanya, pedang di sayap kanannya dengan cepat menghujam tepat di dada, dan terbenam sangat dalam membelah jantung mangsanya.
Dengan kedua tangannya yang juga teraliri getaran Aji Tapak Naga Angkasa, Sembada terus menarik tubuh Singa Lodhaya dengan cambuknya yang ujungnya telah membelit leher lawannya, dan melemparkan tubuh itu ke tengah-tengah arena lagi. Tubuh Singa Lodhaya itu nampak melayang di udara sesaat, kemudian jatuh di tanah tepat di depan Ki Ardi berdiri.
"Bruuuggg" terdengar benda berat jatuh di tanah.Â
Semua mata memandangi benda itu, nampak ia tak dapat bergerak lagi. Pengawal dan prajurit yang melihat  itu seluruhnya menghirup nafas panjang dan menghembuskannya dengan lega. Lawan terakhir mereka sudah tercabut nyawanya. Tidak mungkin membuat bencana lagi. Ia telah mati bersama datangnya fajar yang menyingsing di timur menjelang pagi.
Ki Ardi tidak mau melihat mayat bekas musuhnya berperang tanding itu. Ia balik badan dan ngeloyor pergi. Rupanya ia menyesali sikapnya sendiri, tidak segera membunuh lelaki yang berasal dari Adiluwih, desa di pinggir bengawan Brantas yang juga tempat kelahirannya itu. Sehingga menimbulkan bencana bagi prajurit dan pengawal yang diamuk oleh Singa Lodhaya.
Ketika kepanikan sesaat itu telah hilang, keadaan kembali tenang, Senopati Wira Manggala Pati menjatuhkan perintah agar prajurit dan pengawal segera pergi meninggalkan bekas medan pertempuran itu.Â
Selanjutnya lewat prajurit penghubung ia memerintahkan petugas yang mengurus para korban perang untuk bekerja. Agar daerah persawahan itu segera bersih dari mayat yang bergelimpangan di sana-sini.
Dengan langkah gontai karena letih dan lelah, prajurit dan pengawal melangkahkan kaki mereka pulang ke kademangan Maja Dhuwur. Meski mereka memenangkan perang, namun tak ada yang menampakkan raut muka yang ceria. Tiada senyum di bibir mereka. Semua nampak murung dan menundukkan kepala. Semua tahu korban berjatuhan pula di antara mereka.
Ada yang kehilangan saudara, sahabat dan tetangga. Mereka meninggal di medan peperangan, yang tak akan dapat mereka jumpai lagi kelak di masa datang. Ikut menjadi tawur bagi kademangan Maja Dhuwur, desa subur loh jinawi, tempat lahir mereka yang tercinta.
********
Mentari merangkak terus pada garis edarnya di langit. Kini telah melewati puncaknya. Namun cahayanya masih terasa panas memanggang kulit. Angin sepoi yang berhembus dari selatan, sedikit mengurangi sengatan sinar mentari di kulit.