"Kenapa nggak segera dibunuh saja Singa jelek itu ?" Gumam Nyai Rukmini yang berdiri di pinggir arena.
"Ki Ardi  barangkali ingin menangkap hidup-hidup Nyai " bisik Sembada yang ternyata berdiri di samping wanita itu.
"Mau saja mempersulit diri. Jika kita kendor mengawasi justru membahayakan orang lain."
Sembada diam. Meski ia setuju dengan keinginan Ki Ardi, ia tidak mau menyangkal pendapat Nyai Rukmini. Guru Sekar Arum itu juga sangat dihormati oleh Sembada. Kedudukannya sama dengan Ki Ardi alias Kidang Gumelar dan Menjangan Gumringsing, guru-gurunya.
Ki Ardi terus merangsek Singa Lodhaya dengan pukulan-pukulan tongkatnya, tidak saja dengan tenaga dalam, tapi juga dengan sedikit Aji Tapak Naga Angkasa. Maruta alias Singa Lodhaya merasakan pengaruhnya. Tongkat kayu itu terasa lebih keras dan panas. Ia menyadari jika kakek tua itu menyalurkan ajinya sampai tuntas, tidak hanya tulang belakangnya yang akan patah, tapi tubuhnya akan hancur.
Tak ada kesempatan lagi untuk menghindar. Tapi ia juga tak mau untuk ditangkap hidup-hidup. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup tapi menderita malu.Â
Ia membayangkan jika ia tertangkap, mungkin akan diarak dengan pedati dalam kerangkeng terbuka mengeliling desa Maja Dhuwur. Kemudian dibawa entah kemana menghadap Pangeran Erlangga yang kabarnya masih hidup. Pangeran itulah yang memutuskan hukuman, barangkali ia akan digantung di alun-alun.
"Tidak !!! Lebih baik aku tewas di sini." Bisik hati Maruta sambil geleng-geleng kepala.
Singa Lodhaya mengaum keras sekali, seolah tengah mengeluarkan segala isi hatinya yang pepat oleh segala perasaan yang berkait kelindan. Rasa jengkel, kesal dan marah atas semua kegagalan usahanya menggempur kademangan Maja Dhuwur. Juga karena  tak mampu merobohkan lawannya yang tua itu.
Sejenak ia menggetarkan tubuhnya, membangkitkan aji Macan Liwung yang ia warisi dari gurunya, Ki Cakar Sima, dari gunung Lawu. Kemudian ia merundukkan badan, kedua tangannya menyentuh tanah, siap melompat dan menerkam musuhnya dengan dahsyat.
Jika musuhnya dapat diterkamnya dan jatuh ke tanah, acapkali ia lantas merobek-robek dada dan mukanya dengan cakar baja yang runcing dan tajam di sepuluh jari-jari tangannya. Pengalaman berpuluh-puluh kali bertempur, lawannya mesthi tewas dan tidak dikenali jatidirinya lagi. Hancur.