"Yah. Mpu adalah panggilan kehormatan baginya. Sukurlah ia berkenan datang ke sini tanpa kita undang. Beliau memang pendeta suci yang sekaligus ahli di bidang pengobatan. Aku sering bertemu beliau di pesanggrahan Pangeran Erlangga. Beliau adalah guru pangeran itu."
"Guru pangeran Erlangga ?" Tanya ki demang.
"Yah. Benar. Guru suci yang beliau hormati." Jawab Senopati.
"Jika demikian mari kita sambut bersama kedatangannya. Adalah sebuah karunia bagiku, kademangan ini dihadiri oleh Mpu Barada guru suci Pangeran Erlangga." Kata ki demang.
Beberapa orang di ruang tengah rumah ki demang itu segera berdiri, dan tergopoh-gopoh menyambut Maharesi Mpu Barada, yang namanya sudah banyak dikenal di kalangan bangsawan sejak Medang Kamulan masih berdiri.
Handaka, Sekarsari, Sambaya dan Kartika tertarik mengikuti senopati Wira Manggala Pati dan ki Demang Sentika, serta pemimpin prajurit yang lain berjalan keluar ruang tengah rumah ki demang itu. Bergegas mereka berjalan melewati pendapa yang penuh sesak orang-orang terluka bagian tubuhnya karena terkena senjata lawan.
Setelah melewati tangga batu balai kademangan itu mereka menunduk-nunduk jalannya, menghampiri empat orang berpakaian pendeta yang berdiri di halaman kademangan.
"Rahayu Maharesi. Berkah bagi kami Maharesi Mpu Barada berkenan datang ke kademangan ini." Kata ki demang Sentika sambil menyalami dan mencium tangan Mpu Barada. Semua orang di belakang ki demang dan senopati mengikuti cara ki demang.
"Rahayu Tuan Senopati dan Ki demang. Kebetulan saja ki demang kami lewat sini. Karena diminta seorang pengawal untuk membantu mengobati orang-orang yang terluka akibat senjata, kamipun memutuskan untuk mampir. Kabarnya baru saja terjadi perang di sini."
"Benar Mpu, pasukan gabungan golongan hitam baru saja menyerbu kami. Sukurlah kami bisa bertahan."
"Sukurlah. Kami ikut gembira kademangan Maja Dhuwur tidak dapat direbut para penyerbu itu."