"Tidakkah kau menyadari dirimu sekarang ? Sahabat-sahabat yang menemanimu mereguk kenikmatan dunia kini telah tiada. Nyawa mereka melayang entah ke mana. Â Tentu mereka tidak masuk ke nirwana. Untuk menikmati hidup baru yang bahagia dan kekal di alam baka."
"Cih, embelgedes, tahi kucing. Semua yang kau ucapkan itu adalah tipuan. Racun kata-kata. Cara orang-orang yang sok suci, yang tak mau memeras tenaga dan keringat untuk bekerja. Dengan bibirnya ia menyebar cerita yang indah, dengan mulut manis ia mengajarkan kebajikan. Tapi semua kedok belaka untuk menghisap harta kekayaan dari kawula." Bantah Maruta.
"Meski sebagian ucapanmu benar, tidak semua guru suci tulus hatinya, tidak  benar-benar bersih pikirannya, dan dituntun oleh ajaran kebenaran semata.  Meskipun demikian setidak-tidaknya itu lebih baik dari mereka yang mengumpulkan harta dengan cara merampok dan membegal. Apalagi dengan menyakiti bahkan membunuh pemiliknya."
"Lebih baik cara hidupku. Jelas. Siapa yang kuat dialah yang berhak untuk berjaya. Sedangkan yang lemah layak musnah."
"Nalarmu memang sudah jauh keblinger Maruta. Otakmu sudah sarat ajaran sesat. Kau memang layak untuk ditangkap. Agar tidak meracuni pikiran sesama."
"Bukankah memang itu niatmu sejak dulu ? Kenapa tidak kau tangkap aku sejak kau tahu sikapku ? Kenapa baru sekarang kau nyatakan ? Semuanya sudah terlambat. Korbanku sudah banyak, anak buahku juga tidak sedikit." Jawab Maruta.
"Nah jika kau mampu, tangkap sekarang aku. Jangan seperti sikap perempuan cengeng yang takut darah tercecer di tanah." Lanjutnya.
Ki Ardi diam, tak lagi dapat berkata-kata. Singa Lodhaya sudah tak dapat lagi diajak bicara. Hatinya sudah gelap, karena lama tenggelam dalam kehidupan yang sesat.
Segera keduanya bersiap untuk bertempur kembali. Singa Lodhaya alias Maruta mengaum dahsyat dan menggetarkan tubuhnya. Ki Ardi atau Bawana memutar tongkat kayunya dengan cepat. Ketika Maruta melompat menerkam dengan kuku-kuku baja tajamnya, Bawana melompat menghindar sambil memukulkan tongkatnya ke arah tengkuk lawan.
"Buuukkk" terdengar benturan antara tongkat kayu dengan tengkuk Maruta.
Lelaki dari desa Adiluwih itu menekuk tubuhnya dan jatuh ke tanah pada tengkuknya, lantas menggelinding dengan cepat kemudian melompat berdiri. Bawana mendiamkan Maruta yang berkacak pinggang beberapa depa di depannya. Matanya merah memandang dengan tajam lawannya.