Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 44. Pasukan Berkuda (Cersil STN)

7 Agustus 2024   19:04 Diperbarui: 7 Agustus 2024   20:29 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar dokpri

Matahari musim kemarau itu terus merangkak naik. Cahayanya terang benderang menyapa seluruh penghuni bumi. Panasnya telah menyengat kulit.

Mereka yang sedang bertempur terus mengadu tenaga dan siasat, okol dan akal, bagaimana bisa menjatuhkan lawan. Panas mentari juga membakar kulit mereka. Keringatpun deras membasahi badan. Semangat mereka tak pernah surut sebelum nyawa melayang.

Terdengar suitan panjang dua kali dari mulut senopati. Ia memanggil prajurit penghubung untuk menghadap. Sebentar kemudian nampak seseorang yang berusaha membuka jalan di tengah rapatnya orang-orang yang tengah bertempur.

Lelaki berperawakan kecil itu mendekati senopati, dan mengangguk hormat kepada orang yang dianggap pemimpinnya itu.

"Saya Bajra tuan, dari pasukan sandi, bertugas sebagai penghubung dalam pertempuran ini." Katanya.

"Sampaikan pesanku kepada danyang penunggu hutan, Bajra. Segera perintahkan burung-burung pipit terbang ke lahan petani. Tiba saatnya burung-burung itu mencari makan." Kata senopati.

"Baik tuan."

"Pakai kudamu agar lekas sampai. Matahari telah tinggi." Lanjut senopati.

"Siap senopati. Jalankan perintah sekarang." Kata Bajra.

Lelaki kecil dari kesatuan prajurit sandi bernama Bajra, yang bertugas menjadi penghubung antar pimpinan kelompok pasukan itu segera balik badan. Dengan tergesa-gesa ia berjalan menerobos sela-sela orang-orang yang sedang mengadu nyawa.

Nampak seseorang sambil merunduk mengikutinya, ia melihat lelaki kecil itu baru menghadap pemimpinnya. Meski ia dengar pesan yang diterimanya, namun sama sekali ia tak tahu maknanya. Tapi ia menganggap pesan itu sangat penting bagi kelangsungan perang ini bagi musuhnya. Oleh karena itu ia wajib menggagalkannya.

Namun ketika orang itu mengangkat pedangnya hendak menebas punggung lelaki kecil itu, sebuah tombak lebih dulu melayang dan menghujam di punggungnya sendiri.

Perunduk itu menjerit kesakitan dan roboh di tanah tepat di belakang prajurit penghubung itu. Bajra kaget dan segera menoleh ke belakang serta mencabut kerisnya untuk bersiaga dari segala kemungkinan.

"Segera lanjutkan tugasmu. Tombakku telah menghentikan tingkah lakunya yang mencurigakan. Ia merunduk mengikutimu, maka tak aku biarkan ia mencelakaimu." Kata seorang prajurit.

"Terima kasih Bondan. Kau telah menyelamatkan nyawaku."ucap Bajra.

"Segera berangkat, barangkali pesan itu sangat penting." Kata Bondan sambil mencabut tombaknya yang menancap di punggung orang yang tengkurap di tanah itu.

"Baiklah, sekali lagi terima kasih."  Kata Bajra.

Prajurit itu bergegas keluar dari kancah perang. Berulang kali ia menengok ke belakang takut ada orang yang merunduknya lagi. Namun sebentar kemudian ia berlari ke arah kudanya yang ia tambatkan di sebuah pohon.

Dengan kencangnya Bajra memacu kudanya menuju hutan di pinggir dusun Kedung Cangkring. Ia sudah hafal jalan yang harus ditempuh menuju pesanggrahan sebagian pasukan Bala Putra Raja yang diperbantukan dalam perang di kademangan Maja Dhuwur.

Dengan bendera putih kecil yang berkibar di atas kepala kudanya, semua prajurit yang menjaga gardu pintu masuk pesanggrahan membiarkannya memacu kudanya untuk lewat. Ia menuju barak pimpinan di pesanggrahan itu. 

Ia segera menarik kekang kudanya dan meloncat dari punggung kuda saat melihat lelaki tinggi besar berpakaian perwira prajurit berdiri di pintu barak pimpinan itu. Iapun segera mendekat dan membungkuk hormat.

"Adakah kau membawa pesan dari senopati, Bajra ? " tanya lelaki itu.

"Benar tuan. Pesan untuk Danyang penunggu hutan Kedung Cangkring ini. Kata senopati agar segera melepas burung-burung pipit terbang ke lahan petani. Tiba saatnya mereka mencari makan. Matahari sudah semakin tinggi." Jawab Bajra.

"Baik. Kembalilah ke pasukan induk. Perintah senopati segera aku jalankan." Kata lelaki pimpinan prajurit yang berada di pesanggrahan hutan dekat dusun Kedung Cangkring.

Bajra membungkuk memberi hormat kemudian balik badan dan bergegas berjalan ke kudanya lagi. Ia kembali ke tempat tugasnya di dekat pasukan induk yang tengah bertempur, untuk menunggu perintah lagi dari senopati.

Pimpinan pasukan prajurit di pesanggrahan hutan Kedung Cangkring itu segera memanggil anak buahnya. Dengan memukul kentongan kecil terbuat dari pangkal batang bambu, sebentar saja pasukannya telah berdatangan.

"Siapkan kuda kalian. Sekarang kita berangkat ke dusun Sambirame, pesanggrahan pasukan musuh. Kita gagalkan pasokan makan ke pasukan mereka yang tengah bertempur." Kata lelaki tinggi besar itu.

"Siap Tuan." Hampir berbareng seratus prajurit itu menjawab perintah pimpinannya. Segera mereka berlari ke kandang kuda, dan mengambil hewan itu untuk dibawa ke halaman barak pimpinan.

Sementara lelaki itu segera ke belakang baraknya, mengambil kuda putihnya yang tertambat dalam kandang pribadinya di belakang barak .

Sebentar kemudian seratus ekor kuda berderap keluar dari pesanggrahan di hutan Kedung Cangkring itu. Mereka pacu kuda mereka ke arah selatan menerobos hutan perdu. Setelah menyeberang sungai Harinjing mereka memotong jalan lewat persawahan petani. Barulah mereka masuk ke desa Sambirame.

Sengaja mereka pelankan lari kuda mereka, agar derapnya tak terdengar telinga orang-orang yang hendak mereka sergap. Saat telah dekat sebuah balai pedesaan, yang berubah jadi dapur umum para perusuh kademangan Maja Dhuwur, segera mereka turun dan tambatkan kuda.

Dengan mengendap-endap di balik tanaman perdu mereka memasuki halaman belakang dapur umum itu. Setelah dekat mereka berhenti mengamati keadaan. Tak ada penjagaan yang kuat di tempat itu. Semua orang nampak sibuk menyiapkan ransum makan bagi pasukan yang sedang bertempur. 

Lelaki tinggi kekar itu mengangkat tangannya, lantas berteriak lantang.

"Seraaaannggg.!!!"

Orang-orang yang sibuk di dapur umum itu sangat terkejut melihat banyak sekali prajurit berdatangan ke tempat mereka. Naluri mereka yang tajam menangkap bahaya datang menjenguk mereka. Segera mereka sibuk mencari senjata untuk bertahan. Maka pertempuran terjadi di tempat itu dengan sengitnya.

Jumlah prajurit yang mereka hadapi terlalu banyak, maka sebentar saja orang-orang yang bertugas di situ bertekuk lutut. Tak ada korban yang tewas dalam aksi penyergapan itu. Hanya luka-luka kecil bekas goresan senjata para prajurit.

"Ikat mereka. Dan hancurkan semua makanan yang siap mereka bawa ke medan." Kata lelaki tegap kekar itu.

Semua prajurit menjalankan tugas sesuai perintah pimpinan. Sebagian mengikat kaki dan tangan para petugas dapur di pesanggrahan itu. Sebagian menghancurkan makanan yang siap mereka bawa ke medan. Sebagian lagi ikut pimpinan penyergap itu mencari lumbung-lumbung padi para perusuh kademangan Maja Dhuwur.

Mereka temukan puluhan pedati di halaman belakang rumah penduduk. Setelah mereka periksa, isinya bahan makanan; beras, sayuran dan berbagai bahan lauk-pauk. Beberapa ekor sapi tertambat dekat pedati, dengan tenang hewan-hewan itu makan rumput yang disediakan.

"Pasang sapi-sapi itu ke semua pedati. Kita bawa persediaan makan mereka jauh dari sini." Perintah lelaki tegap gagah itu.

Semua prajurit bekerja, setelah siap semua, mereka segera membawa puluhan pedati itu keluar dari desa Sambirame. Kuda-kuda  prajurit yang kini menjadi sais pedati itu dibawa teman-temannya mengikuti puluhan pedati yang berjalan pelan di depan.

Tiga prajurit berkuda yang paling belakang menyeret dedaunan yang mereka ikat di tanah, untuk menghapus jejak. Agar tak ada pasukan musuh yang tahu kemana pedati-pedati itu di bawa.

Demikianlah seratus prajurit berkuda itu telah menjalankan tugas pertamanya. Mereka meninggalkan pedati-pedati tanpa melepas sapi-sapinya di jalanan dusun Tanda Wangsa. Kini mereka berpacu menuju medan pertempuran di kademangan Maja Dhuwur.

Matahari tepat di puncak langit ketika pasukan berkuda itu sampai di medan pertempuran. Mengikuti pemimpinnya mereka tidak langsung terjun dalam perang, namun duduk tenang di atas kuda yang berjajar membentuk selapis barisan menghadap medan. Semuanya tidak peduli banyak mata mengawasi mereka dengan penuh keheranan.

Lelaki tegap kekar yang duduk di punggung kuda di tengah selapis barisan itu justru asyik mengawasi riuhnya pertempuran. Nampak di matanya pemandangan yang mencengangkan hatinya. 

Ada seorang gadis berpedang rangkap menjelajahi medan dengan lincahnya, meloncat-loncat kesana kemari dengan ringannya, tubuhnya seperti tak berbobot, menjadikan kepala orang lain sebagai tumpuan kakinya. Betapa matang ilmu peringan tubuhnya, pikir lelaki itu.

Namun ia sedikit terkejut, dahinya segera  mengerut, saat gadis itu berulang kali menukik dan menggerakkan pedangnya. Selalu diikuti jerit menyayat karena kesakitan dari mulut lawan-lawannya. 

"Dari siapa tetesan darah anak itu berasal, betapa keras dan kejam kini wataknya." Pikir lelaki itu.

Namun iapun menyaksikan hal serupa, tapi tak sama. Seorang pemuda bersenjata cambuk juga dengan ringannya meloncat-loncat dengan kepala orang sebagai tumpuan kakinya. Peringan tubuh pemuda itu begitu sempurna. Ia bersenjata cambuk, senjata yang dikenalnya dengan baik. Cambuk Nagageni.

Bedanya pada cara memperlakukan lawannya. Ia tidak mau menjatuhkan tangan maut terhadap lawan-lawan sekelas prajurit rendah. Jika cambuknya bergerak ujung cambuk itu selalu membawa serta satu atau dua senjata lawannya saja.

"Ternyata benar. Berita yang aku dengar bukan isapan jempol belaka. Anak Wirapati kini telah jadi pendekar besar. Bukan ilmunya saja yang tinggi, tapi budi pekertinya juga luhur." Bisiknya dalam hati.

"Mudah-mudahan sedikit demi sedikit kedua anakku bisa meniru wataknya."

Lelaki itu terkejut dengan lamunannya saat mendengar suitan tiga kali dari senopati prajurit yang mendukung kademangan Maja Dhuwur itu. Suara suitan itu adalah sandi bagi petugas dapur untuk segera membagikan ransum makanan dan minuman untuk prajurit yang sedang bertempur.

Nampak kesibukan terlihat di pinggir medan. Beberapa remaja bergotong royong mengangkat keranjang berisi makanan. Sementara beberapa remaja yang lain mengangkat bumbung-bumbung bambu besar berisi air.

Sesaat kemudian bergantian prajurit keluar dari medan pertempuran. Mereka berlari mengambil makanan berupa nasi yang dicampur parutan kelapa yang telah dikepal-kepal, dengan sayur dan lauk telah ada di dalamnya. Tiga kali suapan makanan itu habis, cukup memberi tenaga sampai nanti jelang mentari tenggelam.

Dengan bumbung kecil mereka menampung air dari lubang kecil di bumbung besar. Dengan air itu rasa haus mereka hilang seketika. Segera mereka kembali memasuki medan untuk melanjutkan pertempuran.

"Apakah paman mengenali siapa para penunggang kuda yang berbaris di tepi barat sana ?" Tanya Sekar Arum yang bersama Sembada saat mengambil jatah makan.

"Tidak Arum. Prajurit dari mana mereka ?" Jawab senopati. Iapun baru ambil jatah ransumnya.

Sekar Arum memandangi senopati bertangan kiri buntung itu. Firasatnya senopati tidak berterus terang. Entah apa yang disembunyikan. Namun karena kedatangan pasukan berkuda itu nampaknya  tidak mencemaskan senopati, iapun tak mau lagi bertanya-tanya.

Ia tarik tangan Sembada untuk terjun ke medan pertempuran lagi. Jari-jarinya yang lentik terus memegang lengan Sembada hingga sampai ke medan pertempuran.

"Saatnya kita melibas habis para perusuh itu kakang." Kata Sekar Arum pelan.

"Jangan terlalu kejam memperlakukan lawan Arum. Nanti kau banyak disorot orang." Bisik Sembada.

"Apa peduliku. Mereka juga kejam memperlakukan musuh. Salahkah kita membalasnya ?" Jawab Sekar Arum. Pemuda di sampingnya itu hanya bisa diam.

Senopati hanya memandangi keduanya dengan bibir tersenyum. Ia tak mendengar percakapan kecil mereka berdua.  Matanya hanya melihat mereka bersama berjalan dengan mesra ke medan pertempuran.  Hati lelaki tua itu bertanya-tanya, betapa akrab mereka berdua, adakah hubungan khusus di antara mereka  ?   Namun segera perhatiannya ia pusatkan ke tugasnya memimpin pertempuran. Iapun bergegas melangkah lagi ke medan. 

Pertempuran kembali berkobar. Setelah rasa lapar dan haus di perut dan tenggorokan hilang, pasukan Maja Dhuwur bangkit lagi semangatnya. Dengan tenaga yang kembali utuh mereka melakukan serangan-serangan yang lebih ganas dan keras. Teriakan-teriakan keras dari mulut mereka bergema bersautan, sembari menggerakkan senjata menerjang lawan.

Berbeda dengan keadaan anggota pasukan penyerbu kademangan itu. Nampak mereka telah letih dan tak beringas seperti saat pertama datang. Hingga matahari telah jauh bergeser ke barat rangsum mereka belum datang. Betapa mereka merasakan haus dan lapar yang sangat menyiksa.

"He, kemana petugas yang ambil rangsum kita ?" Tanya Singa Lodhaya dengan suara keras.

"Belum datang Ki." Terdengar jawaban dari kejauhan.

"Mereka telah pergi cukup lama, namun belum datang juga."suara lain menambahi.

Singa Lodhaya mendengus keras. Kelihatan ia memendam kemarahan yang sangat besar dalam hatinya. Ia berteriak keras dan melompat menerkam musuh di depannya.

"Kenapa kau lampiaskan amarahmu padaku ? Bukankah itu kesalahan anak buahmu ?" Tanya Ki Ardi yang telah cukup lama  menghadapinya.

"Pasti ini ulah orang-orangmu. Pasukan berkuda itupun kaki tanganmu. Bisa jadi merekalah yang menggagalkan tugas mereka, anak buahku itu.." kata Singa Lodhaya dengan terus menyerang dengan sengitnya.

"Hahaha jangan gampang mendakwa sebelum tahu buktinya." Jawab ki Ardi sambil tertawa meladeni Singa Lodhaya. 

Singa Lodhaya berulang kali mengaum keras sambil menggetarkan tubuhnya. Pertanda ia tengah membangkitkan aji Macan Liwung. Ki Ardi sudah tanggap dengan perilaku macan galak itu, sudah sering ia berbenturan ilmu dengan datuk sesat hutan Lodhaya yang garang itu.

Meski Ki Ardi atau Kidang Gumelar itu menyimpan Aji Tapak Naga Angkasa yang nggegirisi, namun ia hanya menyalurkan getaran sakti itu untuk melindungi diri. Batinnya telah lama mengendap, dan kehilangan gairah membunuh musuh. Ia berjuang untuk mengurangi korban atas keganasan lawannya saja.

Oleh karena itu ia hanya mengikat Singa Lodhaya dalam pertempuran. Agar macan galak itu tidak berkeliaran menjelajahi medan. Sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit kecil, karena gembong hutan Lodhaya itu tidak pilih-pilih siapa yang akan dibunuhnya.

Sungguh ia manusia yang berbahaya bagi sesama.

Di tempat lain, di tengah arena pertempuran pasukan induk, nampak seorang wanita tua selalu menggerakkan kipas di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya memegang tongkat batang penjalin yang dipakai menghadang senjata musuhnya yang aneh, kelewang besar.

Dengan luwesnya wanita tua itu kadang menggerakkan kipasnya untuk mengusir semprotan air liur beracun dari musuhnya. Gerakan kipas itu menimbulkan angin yang keras, suaranya menderu-deru memekakkan telinga. Dialah guru Sekar Arum, pendekar wanita yang pernah mendapat julukan Si Walet Putih Bersayap Pedang.

Lawannya adalah Kelabang Gede, guru Kelabang Ireng, pendekar kejam dari pesisir laut selatan. Dengan ajinya Kelabang Kures ia mampu menyemprotkan air liur beracun yang dapat membakar kulit hingga melonyoh. Namun lawannya adalah pendekar dari gunung Arjuna yang sangat tangguh. Dengan Aji Garuda Sakti ia dapat bergerak cepat seperti terbang mengitari lawannya.

Tongkat penjalinnya berulang kali dapat menggebug lawannya. Namun setiap mendapat gebugan Kelabang Gede meliuk-liukkan tubuhnya sebentar, setelahnya sakit akibat gebugan itu tak lagi ia rasakan.

Demikianlah pertempuran dua tokoh sakti itu terus berlangsung di tengah riuhnya perang antara dua pasukan. 

Di tempat lain Gagak Arga, guru Gagak Ijo dari perguruan Gagak Birawa dari gunung Kawi, tengah mengamuk di medan sebelah utara. Ia dikerubut oleh sepuluh prajurit bersenjata pedang. Lelaki itu menghisap perhatian di sekitarnya bertempur. Berulang kali beberapa prajurit jatuh tersungkur karena tangannya.

Sembada yang menjelajahi medan dengan cambuknya melihat peristiwa itu. Ia tidak tinggal diam. Segera saja ia menghampiri pertempuran itu dengan berulang kali menggerakkan cambuknya. Bunyinya yang memekakkan telinga menarik perhatian Gagak Arga.

"Hee anak ingusan. Jangan ganggu aku membantai musuh-musuhku. Suara cambukmu itu sangat memuakkan untuk didengar. Pulanglah, gembalakan kambingmu. Jangan bermain-main di sini yang dapat membahayakan nyawamu." Kata Gagak Arga dengan keras.

"Aku tengah mencari bandot, kambing jantanku."

"Kenapa kau cari di sini ? Ini medan pertempuran."

"Sudah aku ketemukan di sini. Ternyata bandotku sedang bermain-main."

"Mana ?"

"Kau !! Kaulah Bandot itu. Bukankah kau yang suka bermain-main dengan kambing betina saat di hutan Lodhaya. Di sebuah kandang bernama Bangsal Madu Branta. Bersama Bandot-bandot lain sahabat tuan;  Singa Lodhaya, Kelabang Gede, Gagak Arga dan Bonge Kalungkung." Kata Sembada memancing kemarahan Gagak Arga.

"Setan alas. Bayi kemarin sore tak tahu diri. Apa pedulimu dengan kegemaranku ?" Jawab Sembada.

"Aku tidak peduli tuan. Bukankah memang begitu kelakuan bandot. Emmmbbbeeekkk, brueehh, brueehh." Ledek Sembada.

Gagak Arga melompat cepat menerjang Sembada dengan senjata pisau panjangnya. Namun Sembada waspada sejak awal, iapun melompat tinggi menghindarinya. Cambuknya bergerak menghantam punggung pendekar gunung Kawi itu.

Sebentar kemudian terjadilah pertempuran antara keduanya dengan sengit, keras dan cepat. Sepuluh prajurit yang semula mengeroyok Gagak Arga menyaksikan pertempuran itu dengan hati tercengang.

"Carilah lawan di medan. Biar bandot tua ini aku gembalakan." Kata Sembada. Cambuknya berulang kali meledak memekakkan telinga.

Gagak Arga dengan gencar menyerang Sembada dengan sabetan-sabetan pisau yang berbahaya. Sembada berlompatan menghindar sambil mengirim sengatan ujung cambuknya. Pendekar gunung Kawi itu sangat marah, segera ia tingkatkan ilmunya sampai puncak. Gerakannya semakin lincah gesit dan cepat. Seperti burung gagak jantan yang berlaga di udara.

Namun Sembada bukan pemuda yang baru belajar di sebuah padepokan. Tetapi ia telah menyerap semua jurus sakti di goa kitab ilmu. Di goa rahasia itu iapun telah menyadap aji jaya kawijayan tingkat tinggi, aji Tapak Naga Angkasa, sampai tuntas.

Jika ia menginginkan, getaran aji itu sewaktu-waktu bisa dibangkitkan. Getaran aneh berkekuatan gaib yang dahsyat tersebut akan mengalir kemanapun yang  ia kehendaki.

Itulah sebabnya semua jurus tingkat tinggi yang dimiliki Gagak Arga tidak segera mampu melumpuhkan pemuda itu. Bahkan ia merasakan sengatan-sengatan ujung cambuknya kian menyakitkan. Bahkan ujung cambuk berkerah baja runcing itu telah mampu melukainya di beberapa tempat.

Lain lagi yang tengah dihadapi oleh Srigunting. Gembong penjahat golongan hitam dari gunung Kendeng itu sangat marah mendengar muridnya tertebas kepalanya dari teriakan-teriakan pengawal kademangan Maja Dhuwur. Tak tahan oleh geramnya hati ia langsung terjun ke gelanggang.

Setiap pengawal atau prajurit yang ia temui, selalu ia bertanya, siapa pembunuh muridnya ? Tentu saja pengawal dan prajurit bingung.  Mereka tak kenal Srigunting dan Gemak Sangklir. Apalagi hubungan di antara keduanya. Jika pengawal dan prajurit itu tidak segera menjawab, tangan kanannya bergerak cepat memukul, maka pecahlah kepala pengawal dan prajurit itu. 

Kelakuan Srigunting tercium oleh prajurit penghubung. Prajurit itu bergegas mencari keberadaan Sekar Arum. Ketika telah bertemu disampaikanlah berita itu. Sekar Arum lantas meminta agar penghubung itu memberi tahu di mana keberadaan Srigunting sekarang.

"Ia di tengah pasukan induk."

Sekar Arum segera melompat tinggi. Dengan ilmu peringan tubuhnya ia berlari di medan pertempuran menggunakan kepala orang-orang sebagai tumpuan kakinya. Sebentar saja ia telah sampai di arena pasukan induk tertempur.

Ia segera menukik ke bawah saat melihat seseorang yang hendak memecahkan kepala prajurit. Tangan kanan Srigunting sudah terangkat tinggi, jari-jarinyapun sudah mengepal, tinggal digerakkan untuk membentur kepala seseorang yang ia cekik lehernya dengan tangan kiri.

Namun peristiwa mengerikan itu batal terjadi karena ucapan Sekar Arum.

"Jika tuan mencari pemenggal kepala Gemak Sangklir, murid tuan, akulah orangnya. Jangan lampiaskan dendam tuan kepada orang lain. Aku, Sekar Arum, siap menghadapi tuan. Kapanpun tuan inginkan berperang tanding." Kata Sekar Arum tegas.

"Jumawa !!! Bayi kemarin sore yang belum hilang pupur lempuyang di dahimu berani menantangku perang tanding. Jika kau mampu menghindari lima jurus dari ilmu kanuraganku, kuanggap kaulah yang menang. Kita cari tempat yang longgar."

"Di sinipun tempat yang longgar tuan. Lebih dari cukup untuk membuat lubang kubur jasad tuan."

"Benar-benar setan, cucu demit kau gadis. Ucapanmu sungguh sangat panas di telingaku."

"Sudahlah tuan jangan banyak cakap. Mumpung matahari masih tinggi, jasad tuan tidak kemalaman nanti dikuburkan."

"Bedebah!!!Ciaaattt..."

Srigunting meloncat dengan kecepatan tinggi menyerang gadis yang mengobarkan kemarahannya. Niatnya membunuh dengan memecah kepala orang lagi batal gara-gara kehadiran Sekar Arum yang menantangnya perang tanding. Benar-benar gadis sialan, makinya dalam batin.

(Bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun