Pertempuran kembali berkobar. Setelah rasa lapar dan haus di perut dan tenggorokan hilang, pasukan Maja Dhuwur bangkit lagi semangatnya. Dengan tenaga yang kembali utuh mereka melakukan serangan-serangan yang lebih ganas dan keras. Teriakan-teriakan keras dari mulut mereka bergema bersautan, sembari menggerakkan senjata menerjang lawan.
Berbeda dengan keadaan anggota pasukan penyerbu kademangan itu. Nampak mereka telah letih dan tak beringas seperti saat pertama datang. Hingga matahari telah jauh bergeser ke barat rangsum mereka belum datang. Betapa mereka merasakan haus dan lapar yang sangat menyiksa.
"He, kemana petugas yang ambil rangsum kita ?" Tanya Singa Lodhaya dengan suara keras.
"Belum datang Ki." Terdengar jawaban dari kejauhan.
"Mereka telah pergi cukup lama, namun belum datang juga."suara lain menambahi.
Singa Lodhaya mendengus keras. Kelihatan ia memendam kemarahan yang sangat besar dalam hatinya. Ia berteriak keras dan melompat menerkam musuh di depannya.
"Kenapa kau lampiaskan amarahmu padaku ? Bukankah itu kesalahan anak buahmu ?" Tanya Ki Ardi yang telah cukup lama  menghadapinya.
"Pasti ini ulah orang-orangmu. Pasukan berkuda itupun kaki tanganmu. Bisa jadi merekalah yang menggagalkan tugas mereka, anak buahku itu.." kata Singa Lodhaya dengan terus menyerang dengan sengitnya.
"Hahaha jangan gampang mendakwa sebelum tahu buktinya." Jawab ki Ardi sambil tertawa meladeni Singa Lodhaya.Â
Singa Lodhaya berulang kali mengaum keras sambil menggetarkan tubuhnya. Pertanda ia tengah membangkitkan aji Macan Liwung. Ki Ardi sudah tanggap dengan perilaku macan galak itu, sudah sering ia berbenturan ilmu dengan datuk sesat hutan Lodhaya yang garang itu.
Meski Ki Ardi atau Kidang Gumelar itu menyimpan Aji Tapak Naga Angkasa yang nggegirisi, namun ia hanya menyalurkan getaran sakti itu untuk melindungi diri. Batinnya telah lama mengendap, dan kehilangan gairah membunuh musuh. Ia berjuang untuk mengurangi korban atas keganasan lawannya saja.