Demikianlah seratus prajurit berkuda itu telah menjalankan tugas pertamanya. Mereka meninggalkan pedati-pedati tanpa melepas sapi-sapinya di jalanan dusun Tanda Wangsa. Kini mereka berpacu menuju medan pertempuran di kademangan Maja Dhuwur.
Matahari tepat di puncak langit ketika pasukan berkuda itu sampai di medan pertempuran. Mengikuti pemimpinnya mereka tidak langsung terjun dalam perang, namun duduk tenang di atas kuda yang berjajar membentuk selapis barisan menghadap medan. Semuanya tidak peduli banyak mata mengawasi mereka dengan penuh keheranan.
Lelaki tegap kekar yang duduk di punggung kuda di tengah selapis barisan itu justru asyik mengawasi riuhnya pertempuran. Nampak di matanya pemandangan yang mencengangkan hatinya.Â
Ada seorang gadis berpedang rangkap menjelajahi medan dengan lincahnya, meloncat-loncat kesana kemari dengan ringannya, tubuhnya seperti tak berbobot, menjadikan kepala orang lain sebagai tumpuan kakinya. Betapa matang ilmu peringan tubuhnya, pikir lelaki itu.
Namun ia sedikit terkejut, dahinya segera  mengerut, saat gadis itu berulang kali menukik dan menggerakkan pedangnya. Selalu diikuti jerit menyayat karena kesakitan dari mulut lawan-lawannya.Â
"Dari siapa tetesan darah anak itu berasal, betapa keras dan kejam kini wataknya." Pikir lelaki itu.
Namun iapun menyaksikan hal serupa, tapi tak sama. Seorang pemuda bersenjata cambuk juga dengan ringannya meloncat-loncat dengan kepala orang sebagai tumpuan kakinya. Peringan tubuh pemuda itu begitu sempurna. Ia bersenjata cambuk, senjata yang dikenalnya dengan baik. Cambuk Nagageni.
Bedanya pada cara memperlakukan lawannya. Ia tidak mau menjatuhkan tangan maut terhadap lawan-lawan sekelas prajurit rendah. Jika cambuknya bergerak ujung cambuk itu selalu membawa serta satu atau dua senjata lawannya saja.
"Ternyata benar. Berita yang aku dengar bukan isapan jempol belaka. Anak Wirapati kini telah jadi pendekar besar. Bukan ilmunya saja yang tinggi, tapi budi pekertinya juga luhur." Bisiknya dalam hati.
"Mudah-mudahan sedikit demi sedikit kedua anakku bisa meniru wataknya."
Lelaki itu terkejut dengan lamunannya saat mendengar suitan tiga kali dari senopati prajurit yang mendukung kademangan Maja Dhuwur itu. Suara suitan itu adalah sandi bagi petugas dapur untuk segera membagikan ransum makanan dan minuman untuk prajurit yang sedang bertempur.