Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 44. Pasukan Berkuda (Cersil STN)

7 Agustus 2024   19:04 Diperbarui: 7 Agustus 2024   20:29 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari tepat di puncak langit ketika pasukan berkuda itu sampai di medan pertempuran. Mengikuti pemimpinnya mereka tidak langsung terjun dalam perang, namun duduk tenang di atas kuda yang berjajar membentuk selapis barisan menghadap medan. Semuanya tidak peduli banyak mata mengawasi mereka dengan penuh keheranan.

Lelaki tegap kekar yang duduk di punggung kuda di tengah selapis barisan itu justru asyik mengawasi riuhnya pertempuran. Nampak di matanya pemandangan yang mencengangkan hatinya. 

Ada seorang gadis berpedang rangkap menjelajahi medan dengan lincahnya, meloncat-loncat kesana kemari dengan ringannya, tubuhnya seperti tak berbobot, menjadikan kepala orang lain sebagai tumpuan kakinya. Betapa matang ilmu peringan tubuhnya, pikir lelaki itu.

Namun ia sedikit terkejut, dahinya segera  mengerut, saat gadis itu berulang kali menukik dan menggerakkan pedangnya. Selalu diikuti jerit menyayat karena kesakitan dari mulut lawan-lawannya. 

"Dari siapa tetesan darah anak itu berasal, betapa keras dan kejam kini wataknya." Pikir lelaki itu.

Namun iapun menyaksikan hal serupa, tapi tak sama. Seorang pemuda bersenjata cambuk juga dengan ringannya meloncat-loncat dengan kepala orang sebagai tumpuan kakinya. Peringan tubuh pemuda itu begitu sempurna. Ia bersenjata cambuk, senjata yang dikenalnya dengan baik. Cambuk Nagageni.

Bedanya pada cara memperlakukan lawannya. Ia tidak mau menjatuhkan tangan maut terhadap lawan-lawan sekelas prajurit rendah. Jika cambuknya bergerak ujung cambuk itu selalu membawa serta satu atau dua senjata lawannya saja.

"Ternyata benar. Berita yang aku dengar bukan isapan jempol belaka. Anak Wirapati kini telah jadi pendekar besar. Bukan ilmunya saja yang tinggi, tapi budi pekertinya juga luhur." Bisiknya dalam hati.

"Mudah-mudahan sedikit demi sedikit kedua anakku bisa meniru wataknya."

Lelaki itu terkejut dengan lamunannya saat mendengar suitan tiga kali dari senopati prajurit yang mendukung kademangan Maja Dhuwur itu. Suara suitan itu adalah sandi bagi petugas dapur untuk segera membagikan ransum makanan dan minuman untuk prajurit yang sedang bertempur.

Nampak kesibukan terlihat di pinggir medan. Beberapa remaja bergotong royong mengangkat keranjang berisi makanan. Sementara beberapa remaja yang lain mengangkat bumbung-bumbung bambu besar berisi air.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun