"Hiya hiya hiya" Â orang itu mempercepat lari kudanya.
Ketika telah mendekati pintu regol masuk wilayah kademangan, lelaki itu melihat seseorang berdiri di tengah jalan. Â Tangan kirinya membawa obor, tangan kanannya mengangkat tangan. Itu adalah permintaan, atau bahkan perintah, agar si penunggang kuda melambatkan tunggangannya.
"Berhenti ki sanak !!!" katanya tegas.
Penunggang kuda itu menghentikan kudanya. Ia kemudian meloncat turun dari kuda. Â Ia angkat bendera kecil putihnya sebagai isyarat ia datang dengan damai. Â Tidak bermaksud membuat keonaran di kademangan itu.
"Siapakah kamu ki sanak ?" tanya pengawal.
"Namaku Prana. Aku hanyalah seorang caraka. Â Diutus kanjeng Senopati Narotama untuk menyampaikan pesan penting kepada ki demang Sentika di Majaduwur"
"Bersediakah kau meninggalkan kudamu di sini. Dan jalan kaki diantar para pengawal menghadap ki demang ?" tanya pengawal.
"Tentu kami bersedia. Bahkan berterimakasih sekali diantar menghadap langsung kepada ki demang."
"Baiklah tunggu sebentar. Â Biar kudamu diurus temanku. Jangan kawatir ia akan aman di sini. Â Bahkan kami akan memberinya minum dan makan."
"Terima kasih." jawab caraka itu.
Sebentar kemudian lelaki itu berjalan diikuti empat orang pengawal bersenjata pedang terhunus. Â Caraka itu tidak tersinggung atas perlakuan para pengawal kademangan Majaduwur. Ia berjalan dengan tegap, hatinya sama sekali kalis dari semua rasa takut.