Sambaya sempat mencari orang yang dicurigainya sebagai Sembada. Â Namun ia kecewa pendekar bercambuk yang menggegerkan medan itu tidak ada di sana. Ia yakin pendekar bercambuk itu Sembada, anak Mbok Darmi warga Majalegi.
Sebentar kemudian sebuah barisan pasukan pengawal yang panjang nampak melintasi jalan yang membelah persawahan yang subur di antara dua dusun itu. Nampak mereka telah kelelahan setelah semalam penuh mereka bertempur. Namun rasa lelah itu terasa hilang ketika mereka merasakan kebanggaan dalam hati, bahwa mereka mampu mengusir lawan yang hendak menhancurkan kademangan mereka
Demikian pertempuran di padang ilalang yang terletak di sebelah barat dusun Wanaasri itu telah berakhir. Â Kini hari hari berkabung tengah dilalui warga kademangan yang subur itu. Beberapa orang pengawal menjadi korban dalam pertempuran berdarah yang menegangkan perasaan seluruh warga desa itu.
Namun bagi para pengawal yang ikut dalam peperangan itu masih menyimpan pertanyaan dalam hati mereka, siapa pendekar bercambuk yang telah ikut melepaskan mereka dari kehancuran ? Pertanyaan itu hanya tinggal pertanyaan, tak seorangpun yang mampu menjawabnya.
Ki demang Sentika juga tak ingin memberitahu siapapun. Ia tetap pada janjinya kepada Ki Ardi, atau Senapati Kidang Gumelar, sebelum tugas yang diemban Sembada selesai.
Sambaya dan Kartika juga tak berani menyebar berita, atas dasar keyakinannya bahwa pendekar bercambuk itu adalah anak Mbok Darmi, janda miskin warga Majalegi.Â
Hingga pada suatu malam....
Seluruh warga kademangan Majaduwur dikejutkan suara telapak kaki kuda yang tengah berlari. Mereka bertanya tanya akan terjadi peristiwa apalagi di kampung halaman mereka. Semua mulut berdoa kepada Hyang Widhi, agar tidak diturunkan bencana lagi yang dapat merenggut jiwa.
Para pengawal yang tengah mendapat tugas ronda di gardu dengan tergesa gesa menyiapkan diri. Â Sebagian dari mereka berdiri di samping jalan masuk kademangan itu, untuk mencegat siapa yang akan datang. Mereka harus berhati hati terhadap segala hal yang mungkin membahayakan kademangan.
Sebagian mereka sembunyi di kegelapan, agar orang yang yang tengah berkuda itu tidak balik jalan, karena takut dihadang banyak orang.
Namun meski penunggang kuda itu tahu bahwa para pengawal kademangan pasti akan menghentikannya, ia tetap melarikan kudanya menuju wilayah timur bekas daerah kerajaan Medang yang subur itu. Â Ia hanya seorang utusan, caraka, dari seorang pembesar untuk menyampaikan pesan penting kepada ki demang. Â Di tangannya tergenggam bendera putih kecil, sebagai bukti bahwa dirinya datang bermaksud baik, sebagai pembawa pesan seseorang yang bermaksud baik pula.