Mohon tunggu...
Wahyudi Nugroho
Wahyudi Nugroho Mohon Tunggu... Freelancer - Mantan MC Jawa. Cita-cita ingin jadi penulis

Saya suka menulis, dengarkan gending Jawa, sambil ngopi.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Bab 19 Akhir Perang dan Datangnya Tamu (Cersil STN)

30 Maret 2024   21:57 Diperbarui: 2 Juni 2024   14:12 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembada tetap dengan aksinya. Cambuknya terus berputar dan sekali sekali memakan korban. Setiap cambuk itu meledak salah satu prajurit musuh tentu jatuh, dada atau perutnya luka menganga lebar.

Namun ia tidak lagi bergerak kesana kemari, ia menunggu dua orang yang membokongnya dengan serangan pisau. Tentu mereka pimpinan pasukan yang marah karena prajuritnya ia obrak abrik.

Sebentar kemudian dua orang yang ia tunggu hadir dalam lingkaran pertempuran antara dirinya dengan beberapa puluh pasukan lawan.

"Lepaskan dia, biar kami berdua yang ngurus iblis kecil ini" kata Gagakijo berang.

"Selamat datang Gagakijo. Hampir saja kau terlambat.  Jika tidak pasukanmu sudah aku gilas habis."  kata Sembada memancing emosi lawan. 

"Jangan sombong. Kau bukan elang perkasa yang menghadapi anak-anak ayam."

"Memang bukan anak-anak ayam, tapi hanya anak anak Gagak kerdil"

"Sudah tak perlu kita banyak bicara, kita tangkap saja syetan ini segera." Landakabang sudah tidak sabar lagi.

Sejenak kemudian hadirlah lingkaran pertempuran yang dahsyat. Sembada bertempur dengan garangnya, cambuknya meledak ledak memekakkan telinga.  Ujungnya cambuknya yang terpasang simpul simpul karah baja yang tajam benar benar menakutkan bagi kedua musuhnya.  Sedikit tersentuh ujung cambuk itu tentu akan meninggalkan luka yang menyakitkan. 

Sementara itu di baian lain pertempuran masih terus berlangsung.  Beban pasukan pengawal Majaduwur sudah tidak berat lagi.  Sebagian besar berhasil dilumpuhkan pendekar bercambuk yang mengagumkan mereka.  Kini mereka lebih mantap melakukan perlawanan, dan perlahan lahan dapat mendesak pasukan lawan.

Demang Sentika telah berulang kali berganti lawan.  Setiap ada yang mengepungnya, dalam sekejap pengepung itu bisa dibuat berantakan oleh tandangnya. Dengan demikian dia lebih leluasa mengatur anak buahnya agar lebih baik lagi melakukan perlawanan.

Di bagian sayap kanan Handaka benar benar dibuat menganga mulutnya menyaksikan tandang Sekarsari bertempur.  Gadis itu seperti bukan gadis yang dikenalnya, yang sering belatih bersamanya.  Namun ia telah menjilma sebagai malaikat maut yang menakutkan lawan.

Geraknya lincah, gesit dan cepat.  Kekuatannya juga bertambah besar.  Setiap serangan lawan tak pernah dihindari. Bahkan jika serangan itu datang bersamaan, dengan tangkas ia menangkis dan menjatuhkan senjata lawan.

Awalnya Sekarsari juga terkejut, atas perkembangan ilmunya. Sejak ia bertempur dengan orang aneh itu, seolah olah dalam tubuhnya telah mengalir hawa sakti, yang dapat disalurkan untuk kepentingan apapun. Kini kekuatan baru itu ia gunakan untuk melibas lawan lawannya.

Sambaya dan Kartika di sayap kiri juga bisa bernafas lega. Keduanya bisa memusatkan perlawanannya kepada anak buah terpercaya Gagakijo.  Lawan-lawannya berulang kali mengum-pat karena goresan demi goresan mewarnai kulitnya.  Sedikit demi sedikit Sambaya dan Kartika mampu mendesak mereka.

Pertempuran yang sangat sengit adalah pertempuran Sembada melawan dua tokoh pemimpin pasukan musuh.  Dua orang itu telah memeras seluruh ilmu kanuragannya untuk menghentikan perlawanan Sembada.  Namun Sembada dengan ilmu peringan tubuh dan tenaga cadangan masih mampu melayani mereka.  Ia tidak akan mengelurkan daya sakti ilmu Tapak Naga Angkasa untuk menghadapi Gagakijo dan Landakabang.

Berulang kali Gagakijo dan Landakabang haus buru-buru meloncat mundur. Ketika cambuk Sembada memburunya. Namun kecepatan gerak Sembada di atas kecepatan gerak kedua lawannya. Tak urung ujung cambuk itu berhasil menyengat kulit lawannya.

Luka luka telah menganga, darahpun juga telah mengucur dari kedua tubuh lawan Sembada. Namun dengan keras hati mereka masih nekad bertempur. Harga diri mereka terluka, jika keduanya terkalahkan di depan anak buah mereka.

Tak terasa pertempuran di padang ilalang itu telah berjalan lama.  Di timur matahari telah bangun dari peraduannya. Cahayanya yang merah kekuningan telah menghiasi langit. Ayam jantanpun telah lelah berkokok, mereka telah turun dari kandangnya.

Pasukan penyerang kademangan Majaduwur telah jauh terdesak dari titik awal pertempuran.  Para pemimpinnya juga tak mampu menanggulangi lawan lawannya.  Bahkan di antara mereka ada yang terluka parah dan dibawa mundur ke belakang garis pertempuran. 

Macan Belang betina yang sudah tak mampu menahan amarah terhadap Sekarsari  kehilangan pengamatan diri.  Ia menyerang dengan membabi buta terhadap gadis kademangan itu.  Ketika tangannya yang jari-jarinya tersalut logam tajam itu menyerang Sekarsari tanpa perhitungan matang, Sekarsari mampu berkelit.  Pedangnya yang tajam ia gerakkan membelah lambung macan betina ganas itu.

"Aahhhhh, setan kau." erang Macan Belang betina.

Wanita itu berhuyung huyung hendak terjengkang ke belakang. Namun Macan Belang jantan bergerak dengan sigap, ia tahan badan istrinya dan ia bopong keluar dari arena pertempuran.

Kehilangan lawan tidak membuat hati Sekarsari puas.  Ia lampiaskan seluruh kejengkelan hati di medan perang itu kepada lawan lawannya yang lain.  Dengan tangkas dan ganas ia babat prajurit prajurit lawan tanpa memberinya ampun.

"Sekarsari kendalikan dirimu !!!" Handaka memperingatkan.

Namun gadis itu seolah tidak mendengarkan.  Pedangnya terus berputar dan sekali pedang itu menukik pasti memangsa korban.  Banyak musuhnya yang akhirnya berusaha menjauh, namun Sekarsari terus memburunya.

Demikianlah pasukan lawan di sayap kanan iru kocar kacir. Akhirnya banyak yang meninggalkan gelanggang.  Mereka lari menghindarkan diri dari pertempuran.  Keadaan yang berkembang di sayap itu telah mempengaruhi bagian yang lain.  Pasukan di bagian indukpun juga tak tahan terhadap desakan pasukan pengawal.  Satu persatu mereka juga lari dari gelanggang.

Gagakijo dan Landakabang yang sudah terluka arang kranjang juga tak berpengharapan lagi memenangkan pertempuran. Melihat anak buahnya sudah banyak menjadi korban dan sebagian melarikan dirinya, akhirnya iapun terpaksa mengundurkan diri pula.

Sejenak kemudian terdengar suitan panjang dari mulut Gagakijo.  Setelah memberi isyarat pada anak buahnya ia meloncat dan menghilang ditengah keriuhan pasukannya.

Sembada membiarkan musuh musuhnya lari.  Bahkan setelah ia  menyadari bahwa hari telah semakin terang iapun bergegas meloncat dan berlari cepat menghilang dari pertempuran.  Ia tidak ingin dikenal oleh para pengawal kademangan Majaduwur.

Sebentar saja ia telah melewati persawahan yang luas yang membentang antara dusun Wanaasri dengan induk kademangan. Dengan menyusup kebun kebun dan pekarangan milik warga sampailah ia di rumahnya. Kebetulan simboknya diungsikan di banjar kebekelan Majalegi. Jadi Sembada bisa masuk tanpa ada orang yang mengetahuinya.

Sementara itu pasukan pengawal yang mengejar lawan yang meninggalkan pertempuran telah dicegah oleh ki demang.  Satu persatu mereka kembali ke kesatuannya masing masing. Kecuali para petugas yang akan mengurus para korban, pengawal pengawal itu diperintahkan untuk kembali ke induk kademangan.

Sambaya sempat mencari orang yang dicurigainya sebagai Sembada.  Namun ia kecewa pendekar bercambuk yang menggegerkan medan itu tidak ada di sana. Ia yakin pendekar bercambuk itu Sembada, anak Mbok Darmi warga Majalegi.

Sebentar kemudian sebuah barisan pasukan pengawal yang panjang nampak melintasi jalan yang membelah persawahan yang subur di antara dua dusun itu. Nampak mereka telah kelelahan setelah semalam penuh mereka bertempur. Namun rasa lelah itu terasa hilang ketika mereka merasakan kebanggaan dalam hati, bahwa mereka mampu mengusir lawan yang hendak menhancurkan kademangan mereka

Demikian pertempuran di padang ilalang yang terletak di sebelah barat dusun Wanaasri itu telah berakhir.  Kini hari hari berkabung tengah dilalui warga kademangan yang subur itu. Beberapa orang pengawal menjadi korban dalam pertempuran berdarah yang menegangkan perasaan seluruh warga desa itu.

Namun bagi para pengawal yang ikut dalam peperangan itu masih menyimpan pertanyaan dalam hati mereka, siapa pendekar bercambuk yang telah ikut melepaskan mereka dari kehancuran ? Pertanyaan itu hanya tinggal pertanyaan, tak seorangpun yang mampu menjawabnya.

Ki demang Sentika juga tak ingin memberitahu siapapun. Ia tetap pada janjinya kepada Ki Ardi, atau Senapati Kidang Gumelar, sebelum tugas yang diemban Sembada selesai.

Sambaya dan Kartika juga tak berani menyebar berita, atas dasar keyakinannya bahwa pendekar bercambuk itu adalah anak Mbok Darmi, janda miskin warga Majalegi. 

Hingga pada suatu malam....

Seluruh warga kademangan Majaduwur dikejutkan suara telapak kaki kuda yang tengah berlari. Mereka bertanya tanya akan terjadi peristiwa apalagi di kampung halaman mereka. Semua mulut berdoa kepada Hyang Widhi, agar tidak diturunkan bencana lagi yang dapat merenggut jiwa.

Para pengawal yang tengah mendapat tugas ronda di gardu dengan tergesa gesa menyiapkan diri.  Sebagian dari mereka berdiri di samping jalan masuk kademangan itu, untuk mencegat siapa yang akan datang. Mereka harus berhati hati terhadap segala hal yang mungkin membahayakan kademangan.

Sebagian mereka sembunyi di kegelapan, agar orang yang yang tengah berkuda itu tidak balik jalan, karena takut dihadang banyak orang.

Namun meski penunggang kuda itu tahu bahwa para pengawal kademangan pasti akan menghentikannya, ia tetap melarikan kudanya menuju wilayah timur bekas daerah kerajaan Medang yang subur itu.  Ia hanya seorang utusan, caraka, dari seorang pembesar untuk menyampaikan pesan penting kepada ki demang.  Di tangannya tergenggam bendera putih kecil, sebagai bukti bahwa dirinya datang bermaksud baik, sebagai pembawa pesan seseorang yang bermaksud baik pula.

"Hiya hiya hiya"  orang itu mempercepat lari kudanya.

Ketika telah mendekati pintu regol masuk wilayah kademangan, lelaki itu melihat seseorang berdiri di tengah jalan.  Tangan kirinya membawa obor, tangan kanannya mengangkat tangan. Itu adalah permintaan, atau bahkan perintah, agar si penunggang kuda melambatkan tunggangannya.

"Berhenti ki sanak !!!" katanya tegas.

Penunggang kuda itu menghentikan kudanya. Ia kemudian meloncat turun dari kuda.  Ia angkat bendera kecil putihnya sebagai isyarat ia datang dengan damai.  Tidak bermaksud membuat keonaran di kademangan itu.

"Siapakah kamu ki sanak ?" tanya pengawal.

"Namaku Prana. Aku hanyalah seorang caraka.  Diutus kanjeng Senopati Narotama untuk menyampaikan pesan penting kepada ki demang Sentika di Majaduwur"

"Bersediakah kau meninggalkan kudamu di sini. Dan jalan kaki diantar para pengawal menghadap ki demang ?" tanya pengawal.

"Tentu kami bersedia. Bahkan berterimakasih sekali diantar menghadap langsung kepada ki demang."

"Baiklah tunggu sebentar.  Biar kudamu diurus temanku. Jangan kawatir ia akan aman di sini.  Bahkan kami akan memberinya minum dan makan."

"Terima kasih." jawab caraka itu.

Sebentar kemudian lelaki itu berjalan diikuti empat orang pengawal bersenjata pedang terhunus.  Caraka itu tidak tersinggung atas perlakuan para pengawal kademangan Majaduwur. Ia berjalan dengan tegap, hatinya sama sekali kalis dari semua rasa takut.

Sebentar kemudian mereka telah sampai di depan balai kademangan.  Ki demang Sentika telah menunggu di depan balai itu. Di belakangnya berdiri beberapa orang pengawal.

Ketika ia melihat lelaki yang dikawal oleh empat orang pengawal  bersenjata pedang terhunus itu ia menarik nafas panjang. Seolah ia mengeluarkan semua beban kecemasan di hati.  Apalagi melihat lelaki itu membawa bendera kecil putih di tangannya. Semua kegelisahannya hilang lenyap.

"Selamat malam ki demang. Hormat saya untuk ki demang" kata utusan itu, sambil membungkukkan badan.

"Terima kasih. Ki sanak.  Aku terima salam hormatmu. Kami semua gelisah mendengar kuda berlari kencang di malam gelap ini. Tentu kau sudah tahu sebabnya.  Kademangan Majaduwur baru saja digoncang prahara yang mendebarkan."

"Saya mohon maaf ki demang kehadiran saya mendatangkan kegelisahan di hati warga kademangan ini.  Tapi saya tak punya pilihan, karena harus mengenban tugas dari Gusti Senopati Narotama untuk saya sampaikan kepada ki demang"

"Gusti Senopati Narotama ? Pesan apakah itu ? " tanya ki demang.

"Pesan ini sedikit rahasia.  Maka saya diperintah untuk bisa menyampaikan kepada ki demang saja. Orang lain belum boleh tahu."

"Oh, baiklah, baiklah. Aku juga lupa menyilahkan kamu masuk balai kademangan dulu. Maafkan aku."

"Marilah ikut aku naik ke pendapa."

Ketika ki demang balik badan serta melangkahkan kakinya masuk pendapa, caraka itu mengikutinya di belakang. Ki demang memberi isyarat dengan tangan agar para pengawal tidak mengikutinya menemui caraka itu di pendapa. 

"Silahkan duduk ki sanak" ki demang menyilahkan tamunya.

"Baik ki demang." jawab lelaki itu.

Sebentar kemudian Sekarsari masuk pendapa membawa nampan berisi minuman dan makanan. Ki demang tersenyum dengan kecekatan calon menantunya.  Tapi iapun memberi isyarat pada gadis itu untuk tidak mendengarkan percakapannya dengan tamunya.

"Siapakah  nama ki sanak. Aku demang Sentika, pemimpin kademangan ini."

"Baik ki demamg Sentika, namaku Prana.  Salah satu prajurit sandi pasukan Bala Putra Raja yang ikut mengungsi bersama Pangeran Erlangga." jawab tamu itu.

"Apakah pesan Gusti Senopati Narotama padaku."

"Pertama saya menyampaikan salam taklim Gusti Narotama kepada ki demang sebagai sesepuh pengikut setia Prabu Darmawangsa almarhum" kata caraka.

"Hahaha terima kasih, terima kasih. Priyayi besar seperti beliau masih menghormatiku sebagai sesepuh. Aku terima salam taklim beliau"  jawab ki demang sembari tersenyum bahagia.

"Kedua Gusti Narotama ingin meyakinkan, apakah benar ada seorang pendekar bercambuk yang ikut membantu pertempuran pasukan pengawal kademangan dengan para perusuh yang baru terjadi itu.  Dan apakah ki demang tahu siapa dia ?, apakah ia warga kademangan sini ?. Itulah pertanyaan Gusti senopati Narotama"

"Sebenarnya ini masih aku rahasiakan.  Namun karena Gusti Narotama yang bertanya terpaksa aku buka. Namun aku minta kaupun menutup berita ini jangan sampai menyebar dulu......bahwa pendekar bercambuk telah membantu kami aku tak menolak, kenyataannya memang begitu.  Aku kenal dia, iapun warga baru kademangan ini."

"Jika demikian Gusti Senopati Narotama akan berkunjung ke kademangan ini.  Meminta kepada ki demang Sentika berkenan mempertemukan beliau dengan pendekar bercambuk yang mengingatkan beliau terhadap sosok pendekar bersenjata serupa jaman dulu. Beliau kenal dengan pendekar legendaris bergelar Senopati Kidang Gumelar."

"Ya ya ki Prana sampaikan kepada beliau aku bersedia mempertemukan dengan anak muda itu." jawab ki demang.

"Apakah pendekar itu masih muda ?"

"Sangat muda. Jauh lebih muda dari ki Prana. Ia mewarisi cambuk Nagageni dari Ki kidang Gumelar."

"Ohhhhh murid Ki kidang Gumelar ?"

"Bukan. Murid Menjangan Gumringsing seorang ajar di padepokan Cemara Sewu. Gurunya adik seperguruan  Ki Kidang Gumelar."

"Terima kasih Ki demang atas segala keterangannya.  Gusti Senopati Narotama akan berkunjung ke kademangan Majaduwur pada purnama bulan ini."

"Purnama bulan ini, berarti dua minggu lagi ?"

"Benar ki demang dua minggu lagi.  Apakah ki demang keberatan."

"Tidak tidak. Aku sama sekali tidak keberatan. Apakah kami boleh menyambut beliau dengan sebuah upacara."

"Jangan ki demang. Ia akan hadir sebagai tamu biasa.  Agar tidak terlalu merepotkan ki demang. Begitu pesannya."

Ki demang mengangguk anggukkan kepala.  Ia memahami keberatan Gusti Narotama. Beliau masih berstatus pelarian kerajaan.  Jika punggawa kerajaan Wura wari mendengar tentu mereka akan berusaha menangkapnya.

Setelah caraka itu di jamu sekedarnya ia segera pamit hendak kembali ke pesanggrahan. Ia dikawal empat prajurit.  Namun mereka tidak lagi menghunus pedang.  Kelimanya berjalan beriringan sambil bercakap cakap dengan akrabnya.

Kademangan Majaduwur dua minggu sebelum purnama naik cukup sibuk. Ki demang Sentika memerintahkan para pengawal agar tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap malam agar gardu gardu perondan dijaga, dengan perlengkapan penuh.

Meski para pengawal kebanyakan tidak tahu sebab turunnya perintah itu, namun kesetiaan mereka pada ki demang, dan rasa cintanya pada kampung halaman, dengan suka hati mereka menjalankan perintah.

Demikian juga yang ada di dapur. Mereka juga sibuk menyiapkan bahan untuk hidangan bagi  Sang senopati. Tentu beliau tidak hadir sendirian, pasti akan bawa banyak pengawal.

Malam saat purnama naik, waktu tengah malam, udara kademangan digetarkan oleh kaki kaki kuda yang tengah berlari kencang.  Sepuluh orang pengawal mengiringi Senopati Narotama berkunjung ke kademangan Majaduwur.  Menjelang masuk gapura kademangan mereka melambatkan lari kuda yang mereka tunggangi.

Para pengawal yang tahu siapa yang akan hadir berjajar berdiri di pinggir jalan.  Tangan mereka mengapu rancang memberi hormat.

"Selamat malam para pengawal semuanya, kami hadir lagi. Sekarang saya ikut mengawal Gusti Narotama.  Apakah kami harus turun dari kuda, dan berjalan ke balai kademangan dikawal beberapa orang dengan pedang terhunus ?" kata caraka yang hadir beberapa hari lalu.

"Tidak tidak tuan. Silahkan tetap naik kuda dan terus ke pendapa kademangan. Ki demang tentu sudah menunggu."

"Baiklah kami akan terus.  Kalian sekarang baik sekali." kata caraka itu sambil tersenyum.  

Lelaki gagah berwibawa yang berkuda di samping  caraka itu juga tersenyum. Ia bangga dengan pengawal kademangan itu, mereka terbukti selalu waspada terhadap keselamatan dan keamanan kampung halaman mereka.

Ketika mereka memasuki halaman kademangan, mereka melihat beberapa orang berdiri di depan teras pendapa. Semua mengenakan pakaian resmi menyambut tamu yang mereka hormati. Ki demang turun dari tangga teras, diikuti isteri anak dan calon menantunya.

"Salam hormat hamba sekeluarga untuk Gusti Narotama." kata ki demang Sentika saat Senopati Narotama telah dekat menghampirinya.

Senopati muda itu menguncupkan kedua tangan menyentuh hidungnya, ia melakukan sembah grana, pertanda ia menghormati ki demang Sentika yang dianggap sesepuh. Buru buru ki demang melakukan hal serupa, pertanda ia menganggap Senopati muda itu junjungannya.

"Mari mari anakmas senopati silahkan masuk dulu ke pendapa. "

"Terima kasih pamanda demang. Kami minta maaf telah merepotkan seluruh keluarga kademangan."

"Tidak anakmas. Kami tidak merasa repot. Justru kami sangat bangga sekali, kademangan yang kecil ini dikujungi priyayi yang namanya harum di hati rakyat"

"Hahaha, pamanda berlebihan. Kepalaku bisa membengkak mendengar pujian pamanda"

Senopati kemudian menyambut tangan semua anggota keluarga ki demang.

"Apakah pemuda gemuk ini putra ki demang ?" Tanya Senopati saat Handaka menjabat tangannya.

"Benar gusti, saya putra ki demang Sentika. Nama saya Handaka. Dan gadis di samping saya ini Sekarsari. Calon isteri saya."

Sekarsari menguncupkan tangannya di hidung, Senopati membalasnya dengan menguncupkan kedua tangan di dada. Sejenak ia mengawasi gadis itu.

"Kamu putri paman tumenggung Gajah Alit ? Kabar gembira untukmu, paman tumenggung masih hidup. Sehari hari beliau menemani Gusti Pangeran Erlangga."

"Benarkah Gusti. Ayah hamba masih hidup ?" respon Sekarsari sambil menutup mulutnya dengan dua tangan. Dari matanya menetes beberapa titik air. Gadis itu menangis.

"Kamu tidak percaya padaku."

"Percaya Gusti. Percaya."

"Bahkan saudara kembarmu, Sekararum, dan ibumu juga selamat. Aku mendapat laporan mereka tinggal di sebuah padepokan di lereng Gunung Wilis.  Sama seperti dirimu iapun gadis perkasa. Mampu menggerakkan pedang dengan dahsyat yang ditakuti musuh."

Sekarsari menundukkan wajahnya mendapatkan pujian itu.

"Maka jangan bersedih lagi. Serta melampiaskan dendammu dengan pedang seolah kau gadis liar dan ganas. Jika saatnya kau menikah semuanya akan berkumpul merestuimu."

Senopati tertawa melihat gadis itu justru menangis semakin keras. Ia lantas masuk pendapa diiringi para pengawalnya dan ki demang Sentika serta Handaka. Sementara Sekarsari dan Nyai demang bergegas ke dapur untuk menyiapkan hidangan bagi para tamunya.

 

Bendo. 30 Maret 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun