Pemuda yang hatinya diliputi pertanyaan tentang datangnya anak Mbok Darmi segera minta diri kepada teman-temannya. Â Malam itu ia hanya menjenguk gardu perondan, tidak harus tinggal karena bukan gilirannya berjaga. Â Ia hanya meyakinkan bahwa teman-temannya tidak abai menjaga keamanan dusun.
"Kakang Sambaya mau pulang ? Â Di sini saja Kang menemani kami. Â Kita bisa main macanan di sini." Â Tanya salah seorang pemuda di gardu itu.
"Aku mau ke rumah Kartika." Jawab pemuda yang ternyata bernama Sambaya.
"Ke dusun Jambu ? Â Ada perlu apa kang ?"
"Tidak ada perlu apa-apa. Â Hanya menjenguk adiknya yang cantik." Â Kata Sambaya sambil tertawa.
"Wah,... ternyata pemimpin pengawal dusun kita sudah jatuh cinta rupanya."
"Hahaha, bisa saja kamu. Â Mana dia mau jadi biniku. Â Ayahnya orang kaya di Jambu."
"Cinta tidak memandang kekayaan Kang. Â Sabet saja. "
"Memangnya kerbau. Â Disabet "
Sambaya kemudian bergegas berjalan menerobos gelapnya malam ke arah barat. Â Dusun Jambu tidak jauh dari Dusun Majalegi. Â Keduanya masuk wilayah Kademangan Majaduwur.
Semua anggota pasukan pengawal kademangan saling kenal satu sama lain, meski mereka berasal dari dusun yang berbeda
Sambaya adalah pimpinan pasukan pengawal kademangan yang berasal dari dusun Majalegi. Â Sedangkan Kartika adalah pimpinan pasukan pengawal kademangan dusun Jambu.
Keduanya sangat akrab berkawan. Â Karena mereka sering pergi bersama mengawal putra ki demang Majaduwur jika sedang menjalankan tugas keluar.
Sambaya berniat mengajak Kartika untuk bersama-sama mengunjungi rumah Mbok Darmi. Â Ia ingin berkenalan dengan pemuda yang katanya anak sulung janda warga Majalegi itu.
Iapun ingin meyakinkan apakah pertanyaan yang bergelut di hatinya itu benar. Â Bahwa pemuda itu yang pernah menolong rombongan berkuda, termasuk dirinya dan Kartika, saat melintas hutan Waringin Soban.
Meski pemuda itu bertempur seolah-olah sembarangan saja menggerakkan tongkatnya, tanpa dilandasi ilmu kanuragan, namun terbukti anak buah Gagakijo dapat terusir dari arena pertempuran.
Bahkan beberapa dari mereka kehilangan senjata dari tangannya, karena tongkat pemuda itu berhasil menghantan tangan mereka sehingga pedang-pedangnya terlepas.
"Umurnya sebaya denganku. Â Jika dia memang tidak memiliki ilmu kanuragan, keberaniannya sungguh patut diacungi jempol." Â Bisik hatinya.
Dalam perjalanannya ke dusun Jambu ia harus melewati beberapa gardu perondan. Â Malam itu beberapa pemuda juga sudah ada di masing-masing gardu. Â Kegiatan mereka ada yang hanya duduk bercakap-cakap, main mul-mulan atau macanan, ada juga yang sibuk membakar ketela dan membikin wedang sere gula aren.
"Kang Sambaya, mau kemana Kang ? Â Mampir dulu, ketelah bakarnya sebentar lagi matang. Â Ada juga wedang sere gula aren."
"Wahhh enak itu. Â Nanti saja saat pulang. Â Aku ingin ketemu pemimpinmu, Kartika."
"Kayaknya ia ada di rumah Kang. Â Malam ini bukan gilirannya berjaga."
"Aku sudah tahu jadwal dia. "
"Benar lho Kang, nanti mampir. Â Sampaikan salamku buat Prapti."
"Aku sendiri bawa salam."
"Hahahaha, aku menyerah deh. Â Kalau harus bersaing dengan Kakang Sambaya."
Pemuda itu hanya tersenyum. Â Ia melanjutkan jalannya menuju rumah sahabatnya. Â Selang beberapa saat ia telah masuk halaman rumah terbesar juragan ternak di dusun Jambu. Halaman rumah nampak terang, dua buah oncor selalu menyala setiap malam.
Seorang gadis menyambutnya saat ia mengucapkan salam.
"Tumben Kang datang kesini. Â Sudah lama Kang Sambaya tidak mencari Kakang Kartika."
"Iya Prap... baru sekarang bisa berkunjung."
"Sudah punya kekasih ya Kang ? Â Kok nggak pernah nongol."
"Ahhh mana ada yang mau sama aku. Â Pemuda miskin."
"Meski miskin Kakang Sambaya pemimpin pengawal dari dusun Majalegi."
"Apakah kakakmu ada ?"
"Mencari Kakang Kartika apa mencari aku ? "
"Mencari Kartika...."
"Oooo ada kang. Â Sebentar tunggu dulu aku panggilkan. Â Kalau nggak ada kegiatan jaga gardu perondan, masih sore biasanya sudah tidur."
"Tidur, waktu segini ?"
"Iya. Habis mau apa. Â Nggak ada yang dikerjakan."
Gadis itu kemudian masuk ke dalam rumah. Memanggil-manggil kakaknya. Â Sebentar kemudian seorang pemuda keluar masih berkerudung kain, Â Matanya mengerjap-ngerjap kena cahaya oncor.
"Kakang Sambaya, Kaukah itu ?"
"Iya, Adi Kartika. Â Sengaja aku datang kepadamu karena ada hal penting yang ingin aku sampaikan. "
"Ohhh, baik kakang. Â Silahkan duduk di sana dulu, aku ke belakang sebentar." Â Kata Kartika sambil menunjuk sebuah bangunan kecil di pojok halaman. Â Sambaya menengok ke arah bangunan kecil yang dituding telunjuk Kartika.
Ketika Kartika beranjak pergi hendak ke belakang dulu, Sambaya melangkah ke arah bangunan kecil itu. Â Ternyata itu bangunan mirip sebuah gardu, namun ukurannya lebih besar. Tiang-tiangnya terbuat dari kayu nangka, atapnya genting dari tanah liat. Â Tempat duduknya papan-papan kayu nangka juga.
Bedanya dari gardu tak ada kenthongan menggantung di sana. Hanya sebuah oncor yang tertancap di depannya.
Sambaya menunggu sambil duduk di sana. Â Ia mengagumi bangunan kecil itu. Â Nampak kuat dan indah. Â Bahannya dari kayu yang juga terhitung terbaik buat bangunan. Â Tempat ini tentu atas prakarsa Kartika, untuk menemui teman-temannya jika berkunjung ke rumahnya.
Sebentar kemudian Kartika datang, nampaknya ia baru saja mandi. Â Ia kenakan celana hitam dan baju kutungan sebagaimana umumnya dipakai pemuda di dusun itu.
"Tempat ini belum aku bangun saat Kakang Sambaya terakhir ke sini."
"Iya. Â Dulu di sini ada pohon nangka besar."
"Pohon nangka itu yang aku potong, kayunya aku pakai buat bangunan ini. Â Kita bisa ngomong dengan leluasa di sini."
Sambaya tersenyum. Â Namun segera menoleh ketika seorang gadis keluar rumah berjalan menuju tempat mereka duduk. Â Ia membawa nampan berisi dua cobek dengan nasi menggunung dan satu lagi berisi daging bakar lengkap dengan sambalnya.
"Kita makan malam dulu kakang, sebelum omong-omong. Tadi pagi aku berhasil menjerat musang wangi yang sering mencuri ayam emakku."
"Musang wangi ? Â Enakkah dagingnya. ?"
"Aku juga baru kali ini ingin merasakan daging musang. Â Mana minumnya Prapti. ?"
"Tanganku cuma dua Kang. Â Suruh bawa semua sekaligus ya gak bisa."
"Hahahaha iya ya. Â Sana ambilkan kendhi saja."
"Wuuuu.... Sukanya menyuruh orang saja."
"Karena kau adikku. Â Tugasmu melayani kakakmu yang tampan ini.."
Prapti mencibirkan bibirnya. Â Ia melirik Sambaya sebentar, namun pemuda itu tengah terpana dengan nasi yang masih mengepul.
"Semua lelaki sama saja..." Kata Prapti sambil pergi.
Sambaya menoleh ke arahnya sambil tersenyum. Â Melihat gadis itu agak sewot melayani kakaknya dan dirinya.
"Mari kakang, langsung santap saja. Â Mungkin enak ini, sambalnya sambal tomat."
Adik Kartika datang lagi membawa kendhi. Â Ia meletakkan kendhi itu di samping kakaknya duduk.
"Enak Ya... bisa langsung makan. Â Yang repot di dapur saja belum nyicipi."
"Yayayaya terima kasih Prapti..." Â Kata Sambaya.
Prapti menengok dan tersenyum. Â Iapun pergi masuk rumah meninggalkan dua lelaki muda itu. Malam itu Sambaya makan bersama sahabatnya dengan nikmat. Â Rasanya lebih nikmat saat Prakti yang melayaninya.
"Kamu masih ingat pemuda yang menolong kita di hutan Waringin Soban ?"
"Pemuda bertongkat bambu itu Kang ?! Â Tentu ! Â Ia sangat mengesankan hatiku. Â Tingkahnya seperti pemuda bodoh, ceroboh dan sembrono. Â Berani masuk lingkaran pertempuran bersenjata tajam dengan tongkat bambu. Â Gerak-geraknya ngawur seperti orang buta ilmu kanuragan. Â Tapi anehnya anak buah Gagakijo bisa di bikin korat-karit."
"Yah, aku juga terkesan saat itu." Â Jawab Sambaya.
"Tapi aku tidak mengerti, mengapa Handaka justru terkesan kecewa. Â Tidak senang atas bantuan pemuda itu. Â Padahal jika kita tidak terbantu, mungkin sudah tamat riwayat kita."
"Mungkin harga dirinya sebagai pemimpin pengawal tersinggung."
"Aku kira tidak kakang. Â Bukan itu. Â Tapi harga dirinya sebagai lelaki di depan gadis calon istrinya. Â Sekarsari bersikap baik kepada pemuda itu. Â Ia mengangguk hormat sambil tersenyum seperti kita saat lewat di depan dia berdiri. Sementara Handaka menolehpun tidak, ia mendongakkan kepalanya. Â Masa kakang tidak tahu tabiat dia ?"
"Yah, kita memang agak kurang senang dengan tabiatnya yang agak sombong."
"Wajarlah kakang. Â Ia anak tunggal Ki Demang Sentika. Pemimpin tertinggi barisan pengawal Kademangan Majaduwur. Sedikit angkuh tidak apa-apa."
"Memang ada berita apa kakang datang tiba-tiba membicarakan pemuda itu."
"Di dusunku kedatangan seorang pemuda. Â Ciri-cirinya persis seperti pemuda itu, membawa tongkat bambu dan buntalan kain yang melingkar pundak dan pinggangnya. Â Bukankah pemuda itu dulu juga seperti itu ?"
"Ya, kainnya berwarna hijau. Â Tongkatnya sekitar satu setengah depa."
"Demikian juga yang datang ke rumah Mbok Darmi. Â Janda miskin yang tinggal di dusun Majalegi." Â Selesai berkata Sambaya menyuapi mulutnya.
"Kenapa dia datang ke rumah janda itu ?"
"Berita yang ramai dibicarakan di Majalegi, dia anak sulung Mbok Darmi yang telah lama pergi mengembara."
"Waah aku tertarik menemuinya kakang."
"Itulah maksud kedatanganku ke sini. Â Aku juga ingin berkenalan."
"Baik kakang kita bersama-sama ke sana. Â Tetapi baiknya besok sore saja."
"Aku juga berpikir begitu."
Kartika dan Sambaya akhirnya bersepakat untuk menemui anak sulung Mbok Darmi esok sore. Â Mereka bercakap-cakap sampai tengah malam. Â Sambaya menunggu Prapti keluar lagi, namun hingga malam gadis itu tidak menongolkan batang hidungnya, Â Dengan sedikit kecewa ia pamit pulang.
Esok sorenya Kartika mengendarai kudanya yang tegar menuju rumah Sambaya. Â Ia titipkan kuda itu di rumah temannya, mereka berdua berjalan kaki menuju rumah Mbok Darmi. Ketika masuk halaman rumah itu dan bertatapan pandang dengan Mbok Darmi keduanya mengangguk.
Wanita itu sedang mengupas buah lamtara yang akan dimasaknya menjadi bothok di teras depan. Â Ia heran dua anak muda mengunjungi rumahnya. Â Meski ia sudah kenal dengan dua pemuda anggota pimpinan pasukan pengawal kademangan Majaduwur itu.
"Kulanuwun. Â Selamat sore Mbok. "
"Mangga ngger. Â Tumben datang ke rumah simbok. Â Njanur gunung kadingaren."
"Iya Mbok. Â Saya ingin berkenalan dengan anak Simbok. Â Apakah ada di rumah ?"
"Wooo pingin kenal anakku ta ? Â Sembada lagi pergi ke sungai. Â Baru saja berangkat. Â Katanya ingin cari ikan yang banyak agar simbok besuk bisa jualan ikan di pasar."
"Ke sungai Mbok..?"
"Iya, aneh-aneh saja anak itu. Â Pagi-pagi pergi ke pasar beli kepis dan jala. Â Sore ini ia cari ikan di sungai Serinjing."
Sambaya dan Kartika berpandangan sejenak. Â Mereka tidak pernah melihat pemuda Majalegi yang memiliki kebiasaan seperti itu. Â Mencari ikan di sungai untuk dijual sebagai tambahan penghasilan simboknya.
"Baiklah Mbok Akan kami cari dia di sungai, pasti nanti ketemu."
"Ohh iya ngger. Â Silahkan..."
Kartika dan Sambaya kemudian pamit, mereka berdua berjalan menuju sungai yang tidak jauh dari rumah Mbok Darmi.
Ketika mereka sudah sampai dan menengok ke kanan dan kekiri mengamati sepanjang sungai itu, mereka melihat seorang pemuda yang tengah meloncat-loncat di atas batu di sungai itu dengan lincahnya.
"Lihat pasti dia. Â Tangan memegang jala, dipinggangnya tergantung sebuah kepis. Â Tongkat bambunya selalu dibawanya kemanapun pergi, dengan seutas tali yang terikat diujung-ujungnya ia menyelempangkan di punggung."
"Iya kakang. Â Mari kita dekati."
Kartika dan Sambaya berjalan mendekat. Â Pemuda yang sedang mencari ikan menengoknya sebentar, namun kemudian ia sibuk lagi dengan jalanya.
"Sudah seberapa banyak ikan kau dapat Sembada.?" Tanya Sambaya.
"Ohhh, masih sedikit tuan."
"Jangan sebut tuan, aku bukan pembesar yang pantas dengan sebutan itu."
"Kita sama-sama pemuda Majaduwur, Sembada."
"Darimana ki sanak tahu nama saya.?"
"Dari Mbok Darmi. Â Aku mampir kesana untuk menemuimu. Â Orang baru di Majalegi."
"Wooo Simbok menyuruh kalian berdua mencariku di sini."
"Tidak. Â Aku yang ingin mencarimu."
Sembada menghentikan kerjanya. Â Ia naik tebing sungai dan menemui kedua orang yang mencarinya. Â Bergantian mereka bersalaman.
"Namaku Sambaya, ini Kartika. Â Aku tahu namamu Sembada."
"Kalian curang. Sudah tahu namaku dulu."
"Hahahaha...." Kartika dan Sambaya tertawa berbareng. Â Mereka gembira ternyata anak itu sangat ramah.
Tiba-tiba Kartika meraih tongkat bambu di punggung Sembada. Â Ia melepasnya dari punggung anak muda itu.
"Buat apa Kartika."
"Pinjam sebentar. "
Tiba-tiba Kartika menggerak-gerakkan tongkat itu menirukan bagaimana Sembada menggunakannya saat bertempur dengan anak buah Gagakijo.
"Kayanya aku kenal benda ini di hutan Waringin Soban." Â Kata Kartika setelah berhenti.
"Hutan Waringin Soban ? Â Mana mungkin Kartika. Tongkat itu selalu melekat di tanganku. Â Dan aku tak pernah lewat hutan itu." Â Kata Sembada berbohong.
"Bener, aku tidak lupa. Â Lelaki yang menggunakannya juga seumur denganmu. Â Perawakannya juga serupa denganmu."
"Ah, kamu jangan membuat lelucon yang aneh-aneh."
"Baru sekarang kamu menemui simbokmu. Â Setelah lama sekali simbokmu hidup sendirian. Â Kemana saja kamu selama ini." Â Kata Sambaya.
"Aku pergi kesana kemari tanpa tujuan. Â Mengembara. Â Entah apa yang aku dapatkan. Â Mungkin ilmu menjala ikan seperti ini." Â Katanya sambil mengangkat jalanya yang nampak masih baru.
"Sebentar lagi ikan di sini pasti habis. Â Semua pemuda menirumu menjala ikan."
"Kenapa meniruku. Â Ini pekerjaan orang-orang yang tak punya sawah."
"Hahahaha...." Â
Kartika dan Sambaya kehilangan cara untuk menguak jatidiri Sembada. Â Sejak awal ia mengelak sebagai penolong mereka di hutan Waringin Soban. Â Namun Kartika yakin pemuda itulah yang dengan berani masuk ke lingkaran pertempuran berpedang dengan hanya memakai tongkat bambu.
"Meskipun kau tidak mengakui. Â Namun kami berdua datang kesini hanya ingin menyatakan terima kasih untuk pertolonganmu."
"Pertolongan apa tuan, aku tidak mengerti."
"Jangan sebut kami tuan, kita sama-sama kawula di Kademangan Majaduwur ini."
"Oh ya aku lupa. Â Apakah kalian orang Majalegi sini ?"
"Aku yang dari sini, Kartika dari dusun Jambu. Â Kami sama-sama pengawal kademangan. Â Aku menemuimu untuk memintamu ikut dalam barisan pengawal."
"Wahhh aku malu Sambaya. Â Aku tak memiliki ilmu kanuragan semenirpun."
"Tak apa. Â Modal keberanianpun juga bisa membikin korat-karit anak buah Gagakijo."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H