"Kamu masih ingat pemuda yang menolong kita di hutan Waringin Soban ?"
"Pemuda bertongkat bambu itu Kang ?! Â Tentu ! Â Ia sangat mengesankan hatiku. Â Tingkahnya seperti pemuda bodoh, ceroboh dan sembrono. Â Berani masuk lingkaran pertempuran bersenjata tajam dengan tongkat bambu. Â Gerak-geraknya ngawur seperti orang buta ilmu kanuragan. Â Tapi anehnya anak buah Gagakijo bisa di bikin korat-karit."
"Yah, aku juga terkesan saat itu." Â Jawab Sambaya.
"Tapi aku tidak mengerti, mengapa Handaka justru terkesan kecewa. Â Tidak senang atas bantuan pemuda itu. Â Padahal jika kita tidak terbantu, mungkin sudah tamat riwayat kita."
"Mungkin harga dirinya sebagai pemimpin pengawal tersinggung."
"Aku kira tidak kakang. Â Bukan itu. Â Tapi harga dirinya sebagai lelaki di depan gadis calon istrinya. Â Sekarsari bersikap baik kepada pemuda itu. Â Ia mengangguk hormat sambil tersenyum seperti kita saat lewat di depan dia berdiri. Sementara Handaka menolehpun tidak, ia mendongakkan kepalanya. Â Masa kakang tidak tahu tabiat dia ?"
"Yah, kita memang agak kurang senang dengan tabiatnya yang agak sombong."
"Wajarlah kakang. Â Ia anak tunggal Ki Demang Sentika. Pemimpin tertinggi barisan pengawal Kademangan Majaduwur. Sedikit angkuh tidak apa-apa."
"Memang ada berita apa kakang datang tiba-tiba membicarakan pemuda itu."
"Di dusunku kedatangan seorang pemuda. Â Ciri-cirinya persis seperti pemuda itu, membawa tongkat bambu dan buntalan kain yang melingkar pundak dan pinggangnya. Â Bukankah pemuda itu dulu juga seperti itu ?"
"Ya, kainnya berwarna hijau. Â Tongkatnya sekitar satu setengah depa."