"Mati kenapa Nek."
"Sakit. Â Nenek tidak mampu membawanya ke dukun. Â Tak sepeserpun uang yang aku punya."
"Ohhh,..."
"Setelah anakku meninggal, suamiku pergi dengan wanita lain. Â Aku tinggal sendiri di gubug reyot peninggalannya."
Dalam perjalanan Nenek itu terus mencurahkan isi hatinya. Â Ia merasa hidupnya tidaklah beruntung, semua yang ia sayangi pergi meninggalkannya sendiri. Â Hati Sembada iba mendengarkan cerita si nenek.
Karena nenek jalannya lamban, ketika sinar matahari telah menyengat kulit mereka baru sampai di rumah nenek. Â Sama seperti rumah Kakek Narto, rumah itu terbuat dari bambu, baik tiang dan dindingnya. Â Atapnya dari daun padi.
Meski halaman rumah cukup luas, namun sama sekali tidak terawat. Â Banyak tanaman liar tumbuh di sana-sini. Â Pasti semuanya karena nenek sendirian, apalagi umurnya juga sudah tua.
Ia membawa tempayan yang dipanggul di pundaknya ke belakang rumah seperti petunjuk nenek. Â Ditempatkannya tempayan itu di dapur, menggantikan tempayan yang telah pecah. Â Setelah selesai dipersilahkan Sembada duduk di depan.
Sembada duduk di amben bambu depan rumah. Â Sama seperti rumah-rumah lain di dusun itu. Â Amben itu biasa dipergunakan untuk menemui tamu yang baru datang.
Nenek membuka rumahnya. Â Ia membawa sesisir pisang dan air minum dalam bumbung bambu, Â Karena merasa haus Sembada meminumnya beberapa teguk.
"Untung pisang ambon simpananku masih ada. Â Tinggal sesisir. Â Rupanya ini rejekimu anak muda."