"Ada. Â Kamar anakku bisa kau pakai. Â Hanya saja masih kotor. Â Nanti aku bersihkan, agar bisa kau pakai untuk beristirahat."
"Baiklah Nek. Â Aku mau tinggal di sini, menemani nenek."
"Jangan kau panggil aku nenek. Â Panggil aku simbok. Â Usiamu tidak terlalu jauh dengan usia anakku."
"Ya mbok."
Wanita tua itu gembira sekali. Â Saking senangnya nampak air mata keluar dari pelupuk kedua matanya. Â Ia menangis.
"Berkah dewa ngger, berkah dewa. Â Siapa namamu Nak ?"
"Namaku Sembada Mbok. Â Kalau simbok ?"
"Namaku Simbok Darmi. Â Panggil aku mbok Darmi."
Sembada diam ikut terharu melihat wanita itu gembira. Â Ia lantas pergi ke belakang. Â Melihat air di pakiwan kosong, iapun segera menimba di sumur dan memenuhinya. Â Setelah mencuci muka ia melihat-lihat kebun belakang rumah nenek.
Banyak sekali tanaman buah-buahan di sana. Â Pohon yang paling banyak adalah pohon pisang. Â Namun daun-daun kering berserakan banyak sekali, seolah tak pernah disapu sama sekali. Â Maklum ibu angkatnya sudah tua, mengurus makannya sehari-haripun tentu sudah sulit baginya.
Ia lantas mencari sapu. Â Dengan semangatnya ia menyapu dedaunan yang berserakan di belakang rumah, mengumpulkannya di satu tempat dan membakarnya. Runtuhan kayu ia kumpulkan dan dia bawa dekat dapur. Â Dengan meminjam parang dari simbok Darmi ia potong-potong kayu itu pendek-pendek, agar bisa di jadikan kayu bakar simboknya.