Tetangga-tetangganya heran menyaksikan itu semua. Â Mbok Darmi dan anak sulungnya yang baru datang jadi bahan obrolan emak-emak di dusun. Â Satu persatu mereka mendatangi rumah Mbok Darmi, dan mereka kagum dengan perubahan yang terjadi di sana.
Para tetangga yang bertamu di rumahnya disambut hangat Mbok Darmi. Â Ia dengan semangatnya mengenalkan Sembada sebagai anak sulungnya. Â Emak-emak di dusun semua kagum dengan ketampanan dan kesopanan anaknya.
"Mbok. Â Anakmu tampan sekali. Â Gagah lagi. Â Ia juga sopan. Â Bagaimanan kalau kita berbesanan ?" Â Kata tetangga mbok Darmi yang tidak tiga rumah dari rumahnya.
"Kau nikahkan dengan siapa ? Tiga anakmu masih ingusan semua." Â Jawab Mbok Darmi.
"Yaa, harus sabar menunggu, biar Prapti sulungku yang cantik besar."
Keduanya lantas tertawa bersama-sama. Â Sembada yang mendengarkan pembicaraan simboknya hanya tersenyum.
Di antara para pemudapun tersebar berita kehadiran anak sulung Mbok Darmi. Â Salah seorang pemuda yang pernah melihat Mbok Darmi berjalan bersama Sembada bercerita dengan riuhnya di sebuah gardu perondan.
"Aku melihat pemuda itu, saat pulang dari pasar membawa tempayan. Â Tempayan besar itu ia panggul di pundak, tangan kanannya memeganginya biar tidak jatuh. Â Tangan kirinya membawa tongkat bambu."
"Tongkat bambu ?"
"Ya. Â Tongkat bambu sekitar satu setengah depa. Â Sebuah buntalan melingkari pundak dan pinggangnya."
Pemuda yang bertanya itu teringat dengan seorang pemuda yang menolongnya bersama teman-temannya di hutan Waringin Soban, saat rombongan berkuda itu dihadang gerombolan Gagakijo. Â Ia bersenjata bambu, di badannya melingkar buntalan juga.