Sementara itu Gagakijo di rumahnya sedikit gelisah menunggu enam orang anak buahnya yang disuruh membuntuti pemuda yang menang pertandingan. Â Sebentar kemudian enam orang datang dengan nafas terengah-engah.
Gagakijo mengawasi pakaian dan tubuh mereka. Â Banyak sekali goresan-goresan di lengan, punggung, dan dada. Â Ia tidak sabar untuk bertanya.
"Kalian gagal menangkap pemuda itu?" Â Tebak Gagakijo.
"Iya Ki Lurah. Â Pemuda itu ternyata seorang pendekar berilmu tinggi. Â Kami berenam tidak mampu melukai kulitnya segorespun. Â Sebaliknya kami luka arang kranjang hanya karena ujung cambuknya."
"Cambuk ? Â Ia bersenjata cambuk ? Â Kalian berenam menggenggam pedang kalah dengan seutas cambuk ?"
"Iya Ki Lurah. Â Kami melarikan diri. Â Jika tidak salah seorang dari kami atau lebih pasti akan jadi korban."
"Gila. Â Kalian memang tidak berguna. Â Di mana anak itu kau temukan ?"
"Kami hadang di bulak jalan menuju dusun Suwaluh."
Gagakijo bergegas ke belakang, ia mengambil kuda. Â Sebentar saja ia telah melarikan kudanya seperti angin.
"Susul aku, cepat."
Anak buahnya segera berlari-lari ke belakang, masing-masing mengambil seekor kuda dan melarikan kuda itu menyusul Gagakijo.
Sampai di bulak panjang Gagakijo berhenti di bekas tempat perkelahian anak buahnya dengan anak muda pemenang pertandingan itu. Â Dari bekas perkelahian tanah nampak teraduk-aduk seperti baru saja diluku. Â Pastilah keenam anggotanya telah melawan dengan sengit kepada pemuda itu.
'Kita lanjutkan pencarian kita ke Suwaluh."
"Ia mengaku bukan orang Suwaluh Ki Lurah. Â Tetapi ia dari Kademangan Majaduwur. Â Jadi benar dialah yang membantu dua belas orang berkuda Majaduwur yang kita cegat di hutan Waringin Soban."
"Aku sudah mengira. Â Pandanganku tidak meleset mengenali orang. Â Namun aku tidak mengira begitu tinggi ilmunya."
Namun malam telah larut, tak satu rumahpun yang terbuka. Tidak ada yang dapat dimintai keterangan tentang pemuda itu di dusun Suwaluh. Â Setelah mereka berputar-putar di sepanjang jalan dusun itu, akhirnya Gagakijo mengarahkan kudanya pulang ke rumah.
"Kademangan Majaduwur ternyata menyimpan pemuda-pemuda berilmu tinggi. Â Pantas saja pengikut Pangeran Wura-wari tidak mampu menembus kademangan itu. Â Satu pemuda mampu menghadapi kalian berenam, artinya ia telah setara dengan ilmuku. Â Gadis dan pemuda gemuk itu juga mampu menghadapiku berdua. Â Meski bila dilanjutkan pertempuran itu nyawa mereka berdua bisa aku pastikan akan melayang. Â Gara-gara kalian yang tidak berguna kita harus melarikan diri dari gelanggang."
Keenam orang pengikut Gagakijo membayangkan kembali pertempuran di hutan Waringin Soban. Â Pemuda itu hadir tanpa diketahui dari mana munculnya. Â Tiba-tiba saja ia telah nimbrung dan mengacaukan keadaan.
Hanya dengan tongkat bambu ia melawan anak buah Gagak Ijo. Â Tapi semuanya tidak menduga, tongkat bambu itu dapat melemparkan senjata-senjata mereka dari genggaman. Â Tidak itu saja, iapun telah membuat memar punggung, dada, perut dan kaki anak buah Gagakijo.
Kini ia hadir langsung ke sarang gerombolan itu. Â Dengan terang-terangan ia menjajaki kekuatan di Desa Sambirame. Â Ini sangat berbahaya bagi mereka. Â Jika dia membawa bala bantuan segelar sepapan pasukan pangawal Kademangan Majaduwur, Sambirame pasti dapat dikalahkan, dan mereka akan terusir dari desa ini.
"Anak setan, cucu demit." Â Desah Trembolo.
Gagakijo menoleh kepadanya.
"Apa yang kau pikirkan ? Â Sampai berdesah semacam itu."
"Pemuda itu, "Jawab Trembolo
Gagakijo kembali memperhatikan jalan kudanya. Â Ia menyentuh perut kuda dengan kakinya, kuda itupun mempercepat larinya. Â Ia tidak mau digelisahkan oleh pikiran-pikiran serupa tentang pemuda bercambuk itu.
****
Ketika matahari menjenguk cakrawala di timur, Sembada telah menginjakkan kakinya di dusun Bendo. Â Udara masih berkabut, dinginnya juga menggigit tulang. Â Namun jalanan sudah di warnai para pejalan kaki yang menggendong dagangan mereka hendak pergi ke pasar.
Sembada kemudian mencari sungai atau sumber air di dusun itu. Â Ia menemukan sungai kecil yang mengalirkan airnya yang bening. Â Segera ia mandi dan mengganti pakaiannya yang masih bersih.
Badannya terasa segar. Â Meski semalam suntuk ia tidak tidur, namun ia tidak merasa kantuk sama sekali. Â Hanya perutnya yang sudah terasa lapar. Â Iapun mencari pasar di dusun itu, barangkali ada kedai makan. Â Ia ingin sarapan.
Nampak sekali dusun ini berbeda dengan dusun lain yang ia temui di perjalanan. Â Dusun ini lebih rapi dan bangunan-bangunan nampak indah dan bersih. Â Dari wajah-wajah orang yang ia temui di jalan, nampak sekali memancarkan keceriaan, tanpa seguratpun tanda kecemasan dan kekawatiran. Â Pasti dusun ini aman dan nyaman.
Sembada masuk ke sebuah kedai di pinggir pasar. Â Ia mengambil tempat duduk di pojok. Â Ketika pelayan kedai itu menghampirinya ia bertanya.
"Dusun apa ini nyai ?"
"Ini dusun Bendo, wilayah kademangan Majaduwur " Jawab pelayan itu.
"Angger mau makan apa ? Â Minumnya apa ""Ada nasi rames ? Â Minumnya air sere saja."
"Tunggu ya ngger, emak pesankan."
Sebentar saja makanan yang ia pesan sudah datang. Â Segera ia isi perutnya dengan lahap. Â Wedang sere itu benar-benar menyegarkan tubuhnya. Â Tiba-tiba saja ia menguap, rupanya kantuknya datang setelah perutnya diisi.
Setelah membayar makanan dan minuman ia keluar kedai, di halaman itu ada sebuah batu besar rapat dengan pagar. Â Ia istirahat sejenak di atas batu itu. Â Ia terkantuk-kantuk di sana.
Matanya kembali melek ketika melihat wanita tua berjalan sambil terbungkuk-bungkuk membawa tempayan yang besar. Wanita itu mampir ke kedai, dan memanggil-manggil nama orang.
"Kartiii, tiii "
"Iya Mak. Â Ada apa ?" Â Ternyata yang dipanggil wanita pelayan kedai itu.
"Aku titip tempayan ini dulu. Â Nanti biar diambil suruhanku." Â Katanya agak gemetar.
"Baik Nek. Â Nenek mau ke pasar dulu ?"
"Iya. Â Cari garam dan gula."
Dengan ketajaman telinganya Sembada mampu mendengar semua pembicaraan mereka. Â Nenek itu menitipkan barangnya karena tidak mampu membawa sendiri benda itu. Â Ini kesempatan baginya untuk mengenal desa ini lewat nenek itu.
Ketika wanita tua itu kembali lagi dari pasar Sembada bangkit dari duduknya. Â Ia menghampiri nenek itu.
"Tempayannya akan dibawa kemana nek ?"
"Dibawa pulang to cah bagus. Â Tempayan nenek di rumah pecah. Terpaksa beli lagi. Â Tapi nenek gak kuat membawanya pulang."
"Aku bantu nek. Â Biar aku yang membawa ke rumah nenek."
"Aku gak punya uang untuk ongkos bawa ke sana "
"Nggak usah bayar nek. Â Wedang jahe dan gula kelapa saja sudah cukup."
"Kalau hanya itu nenek bisa suguhkan,"
Akhirnya mereka berdua berjalan berurutan. Â Nenek di depan dan Sembada memanggul tempayan di pundaknya berjalan di belakang.
"Mimpi apa aku semalam. Â Ada anak dewa berkenan membantuku membawa tempayan."
"Aku bukan anak dewa Nek." Â Jawab Sembada sambil tertawa.
"Bagiku kau anak dewa, ngger... mau membantu nenek tua yang hidup sendiri seperti ini."
"Nenek nggak punya keluarga."
"Dulu punya anak satu, lelaki. Â Jika ia masih hidup, mungkin sudah sebesar kamu."
"Mati kenapa Nek."
"Sakit. Â Nenek tidak mampu membawanya ke dukun. Â Tak sepeserpun uang yang aku punya."
"Ohhh,..."
"Setelah anakku meninggal, suamiku pergi dengan wanita lain. Â Aku tinggal sendiri di gubug reyot peninggalannya."
Dalam perjalanan Nenek itu terus mencurahkan isi hatinya. Â Ia merasa hidupnya tidaklah beruntung, semua yang ia sayangi pergi meninggalkannya sendiri. Â Hati Sembada iba mendengarkan cerita si nenek.
Karena nenek jalannya lamban, ketika sinar matahari telah menyengat kulit mereka baru sampai di rumah nenek. Â Sama seperti rumah Kakek Narto, rumah itu terbuat dari bambu, baik tiang dan dindingnya. Â Atapnya dari daun padi.
Meski halaman rumah cukup luas, namun sama sekali tidak terawat. Â Banyak tanaman liar tumbuh di sana-sini. Â Pasti semuanya karena nenek sendirian, apalagi umurnya juga sudah tua.
Ia membawa tempayan yang dipanggul di pundaknya ke belakang rumah seperti petunjuk nenek. Â Ditempatkannya tempayan itu di dapur, menggantikan tempayan yang telah pecah. Â Setelah selesai dipersilahkan Sembada duduk di depan.
Sembada duduk di amben bambu depan rumah. Â Sama seperti rumah-rumah lain di dusun itu. Â Amben itu biasa dipergunakan untuk menemui tamu yang baru datang.
Nenek membuka rumahnya. Â Ia membawa sesisir pisang dan air minum dalam bumbung bambu, Â Karena merasa haus Sembada meminumnya beberapa teguk.
"Untung pisang ambon simpananku masih ada. Â Tinggal sesisir. Â Rupanya ini rejekimu anak muda."
Sembada mengambil satu biji dan memakannya.
"Ini dusun apa Nek ?"
"Ini dusun Majalegi. Â Wilayah kademangan Majaduwur. "
"Dari sini pusat Kademangan Majaduwur masih jauh."
"Enggak jauh. Â Dari pertigaan yang kita lewati tadi ke arah barat. Â Sekejab saja berjalan sudah sampai ke dusun induk kademangan."
"Apakah kamu punya keperluan ke induk kademangan."
"Ahh, nggak kok nek. Â Hanya ingin tahu. Â Aku tidak punya tujuan apa-apa, aku mengembara kesana-kemari tanpa tujuan. Â Aku juga sebatang kara seperti nenek. Â Ayah ibuku juga sudah tidak ada."
"Ohhh kasihan kau ngger. Â Kalau begitu tinggal saja di sini, menemani aku."
"Boleh Nek ?"
"Yaa boleh. Â Malah aku senang punya teman untuk berbincang."
"Apakah ada kamar untukku Nek ?"
"Ada. Â Kamar anakku bisa kau pakai. Â Hanya saja masih kotor. Â Nanti aku bersihkan, agar bisa kau pakai untuk beristirahat."
"Baiklah Nek. Â Aku mau tinggal di sini, menemani nenek."
"Jangan kau panggil aku nenek. Â Panggil aku simbok. Â Usiamu tidak terlalu jauh dengan usia anakku."
"Ya mbok."
Wanita tua itu gembira sekali. Â Saking senangnya nampak air mata keluar dari pelupuk kedua matanya. Â Ia menangis.
"Berkah dewa ngger, berkah dewa. Â Siapa namamu Nak ?"
"Namaku Sembada Mbok. Â Kalau simbok ?"
"Namaku Simbok Darmi. Â Panggil aku mbok Darmi."
Sembada diam ikut terharu melihat wanita itu gembira. Â Ia lantas pergi ke belakang. Â Melihat air di pakiwan kosong, iapun segera menimba di sumur dan memenuhinya. Â Setelah mencuci muka ia melihat-lihat kebun belakang rumah nenek.
Banyak sekali tanaman buah-buahan di sana. Â Pohon yang paling banyak adalah pohon pisang. Â Namun daun-daun kering berserakan banyak sekali, seolah tak pernah disapu sama sekali. Â Maklum ibu angkatnya sudah tua, mengurus makannya sehari-haripun tentu sudah sulit baginya.
Ia lantas mencari sapu. Â Dengan semangatnya ia menyapu dedaunan yang berserakan di belakang rumah, mengumpulkannya di satu tempat dan membakarnya. Runtuhan kayu ia kumpulkan dan dia bawa dekat dapur. Â Dengan meminjam parang dari simbok Darmi ia potong-potong kayu itu pendek-pendek, agar bisa di jadikan kayu bakar simboknya.
Ketika matahari tepat di tengah langit Mbok Darmi keluar dengan air wedang jahe dan pisang rebus. Â Sembada dipanggilnya untuk duduk di depan. Â Mereka menikmati bersama makanan dan minuman siang itu.
"Barangmu aku masukkan ke dalam kamar. Â Kamu bisa istirahat di sana kalau kamu capek. Sekarang habiskan dulu pisang rebus dan wedang jahenya."
"Wah keringatku bisa terperas habis, siang-siang minum air jahe."
"Tadi kau minta. Â Yaa saya buatkan."
"Ya mbok, terima kasih."
"Sudah nggak usah terima kasih sama simbok."
Sejak saat itu Sembada tinggal bersama Simbok Darmi. Wanita tua itu segera berubah kehidupannya. Â Wajahnya tidak lagi terlihat suram, merasa hidupnya tak beruntung. Â Kini Mbok Darmi semakin ceria.
Kepada tetangga-tetangganya wanita itu selalu bercerita. Bahwa anak sulungnya yang telah lama mengembara kini kembali lagi. Â Ia ingin hidup bersama simboknya untuk selamanya.
Beban hidup Mbok Darmi juga berkurang.  Kebiasaan mencari kayu bakar sendiri  telah digantikan oleh Sembada.  Setiap kayu bakar simboknya hampir habis, pemuda itu segera mencarinya di hutan.  Sore hari ia pulang membawa dua bongkok besar kayu bakar.
Tempayan wadah beraspun selalu penuh, jika tinggal sedikit segera Sembada membeli di pasar. Â Mbok Darmi tidak tahu darimana pemuda itu mendapatkan uang untuk belanja.
Halaman rumah yang rimbun dengan tanaman liarpun sudah berubah. Â Di samping kiri kanan jalan menuju rumah, ia tanami dengan sayur-sayuran dan ketela pohon. Â Pagar yang telah rusak juga telah ia perbaiki.
Tetangga-tetangganya heran menyaksikan itu semua. Â Mbok Darmi dan anak sulungnya yang baru datang jadi bahan obrolan emak-emak di dusun. Â Satu persatu mereka mendatangi rumah Mbok Darmi, dan mereka kagum dengan perubahan yang terjadi di sana.
Para tetangga yang bertamu di rumahnya disambut hangat Mbok Darmi. Â Ia dengan semangatnya mengenalkan Sembada sebagai anak sulungnya. Â Emak-emak di dusun semua kagum dengan ketampanan dan kesopanan anaknya.
"Mbok. Â Anakmu tampan sekali. Â Gagah lagi. Â Ia juga sopan. Â Bagaimanan kalau kita berbesanan ?" Â Kata tetangga mbok Darmi yang tidak tiga rumah dari rumahnya.
"Kau nikahkan dengan siapa ? Tiga anakmu masih ingusan semua." Â Jawab Mbok Darmi.
"Yaa, harus sabar menunggu, biar Prapti sulungku yang cantik besar."
Keduanya lantas tertawa bersama-sama. Â Sembada yang mendengarkan pembicaraan simboknya hanya tersenyum.
Di antara para pemudapun tersebar berita kehadiran anak sulung Mbok Darmi. Â Salah seorang pemuda yang pernah melihat Mbok Darmi berjalan bersama Sembada bercerita dengan riuhnya di sebuah gardu perondan.
"Aku melihat pemuda itu, saat pulang dari pasar membawa tempayan. Â Tempayan besar itu ia panggul di pundak, tangan kanannya memeganginya biar tidak jatuh. Â Tangan kirinya membawa tongkat bambu."
"Tongkat bambu ?"
"Ya. Â Tongkat bambu sekitar satu setengah depa. Â Sebuah buntalan melingkari pundak dan pinggangnya."
Pemuda yang bertanya itu teringat dengan seorang pemuda yang menolongnya bersama teman-temannya di hutan Waringin Soban, saat rombongan berkuda itu dihadang gerombolan Gagakijo. Â Ia bersenjata bambu, di badannya melingkar buntalan juga.
"Apakah pemuda itu anak Mbok Darmi ?" Â Tanyanya dalam hati.
Ia ingin meyakinkan pemuda yang baru datang itu apakah benar anak muda yang pernah menolongnya.
"Ia bisa menjadi tambahan kekuatan barisan pengawal Kademangan Majaduwur." Â Bisik hatinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H