"Sudah.  Sejak si bungsu baru  dua tahun.  Sekarang sudah berumur tujuh tahun.  Itu tadi yang sulung.  Adiknya lelaki, sedang si bungsu perempuan lagi." Terang si kakek.
"Sudah lima tahun ikut kakek."
"Yah. Â Meski aku dan istriku sudah tua, namun apa saja kami kerjakan. Â Agar kami bisa membesarkan mereka. Â Mudah-mudahan kelakuannya tidak seperti orang tua mereka. Â Rasa-rasanya aku sia-sia saja membesarkan anakku semata wayang. Setelah tua tidak menjadi dewasa." Â Kata kakek bernada keluhan.
Sebentar kemudian keluarlah seorang wanita yang sudah tidak tegak lagi jalannya, sudah agak bungkuk punggungnya, sambil membawa cobek berisi ketela rebus yang masih mengepulkan asap.
"Ohhh, ada tamu ta Kek.." Â Katanya sambil merunduk-runduk meletakkan cobek itu di antara Sembada dan kakek itu duduk.
"Yah, tadi dia menolong kakek. Â Memikul dua bongkok kayu itu dari pinggir hutan." Jawab kakek.
"Ohhh terima kasih anakmas. Â Sudah berkenan membantu suamiku." Kata si nenek.
"Iya nek. Â Aku lihat kakek tadi agak sempoyongan memikul kayu yang ternyata memang berat." Jawab Sembada.
"Sudah aku peringatkan berkali-kali. Â Agar cari kayu tidak perlu banyak-banyak. Â Sedikit saja asal tiap hari nanti juga akan berkumpul jadi banyak. Â Tidak langsung bawa bongkokan yang besar. Berat !! Â Tenaganyapun juga sudah ringkih." Keluh si nenek.
"Ahhh, kenapa kau mengadu kepada tamu kita Nyai." Protes kakek.
"Aku tidak mengadu Kyai. Â Tapi aku ingin melepas pepat di dada ini melihat kakek harus bekerja keras." Kata nenek.