Aku tak ingin menjadi seperti Ayah.
Di usiaku yang kesembilan belas, aku mendapat satu cerita mengenai diriku dari Kakek ketika pada suatu kali aku mengunjunginya dan menceritakan laku Ayah yang tak kunjung berubah.
Begini ceritanya:
Kabar itu menjadi petir yang menyambar dada ayahmu. Malam itu, di usia pernikahan mereka yang baru menginjak setahun setengah, ia pulang sebagaimana sudah menjadi jadwal rutin kepulangannya selama enam bulan sekali. Ia pulang membawa wajah yang riang sebab tak lama lagi ia akan menanggalkan kerinduan yang ia tahan selama enam bulan lamanya. Ayahmu seorang supir truk, oleh karena itu ia sering bepergian lama dalam ekspedisi yang jauhnya sungguh tak kira-kira. Kau tahu, perjalanannya selalu menuntut umur bulan sebagai pengukurnya. Begitulah, waktu berbulan lamanya cukup membuat rindu menumpuk di dadanya. Ia merindukan ibumu lebih dari siapa pun. Â Â Â Â
Namun, kabar itu datang dan kedatangannya sungguh merontokkkan wajah riangnya. Ia benar-benar berang tatkala mendengar penuturun ibumu bahwa perempuan itu hamil. Tiga bulan usia kandungannya. Dan tanpa perlu kutegaskan lagi, jelas hal itu mampu mendidihkan darah ayahmu sebab ia teramat tahu, selama enam bulan belakangan itu, ia sama sekali tak menyentuh ibumu. Â Â Â Â Â Â
 "Kau selingkuh," ucap ayahmu dingin yang berdiri membelakangi ibumu yang separuh terisak di atas ranjang.
"Tidak. Ini bayimu," sahut ibumu, pelan.
"Kau selingkuh."
"Kau ayahnya. Dia bukan anak orang lain."
"Kau selingkuh," tandasnya, masih dingin, yang kemudian melangkah ke arah pintu.
"Bukankah selama ini, tiap sebulan sekali kau pulang? Dan kita tak pernah alpa bercinta?"