"Jadi, apa jawaban atas pertanyaanku tadi?"
"Aku bukan anak manusia. Aku setengah setan."
***
"Bajingan! Apa aku bilang, untuk apa kau membesarkannya? Dia itu anak setan! Tak pantas hidup! Tahu begini kubunuh saja ia malam itu." Ayah menendang sofa di ruang tamu. Wajahnya memerah. Amarah menguasai dirinya.
Ibu memelukku. Aku meringkuk di pelukannya yang hangat. Ia menangis. Aku berurai air mata, tapi bukan menangis. Aku marah. Marah pada Ayah. Marah pada diriku. Marah pada dunia.
"Untung anak itu tidak mati, hah! Dasar bajingan cilik, kemari kau!" Ayah menarik tanganku keras. Pelukan Ibu terlepas. Ibu menjerit memelas. Tubuhnya melorot di lantai, tangannya menggapaiku. Tapi Ayah lebih gesit membawaku ke arah gudang. Aku meronta. Menggeram. Tapi Ayah lebih seperti monster ketimbang diriku. Tenaganya juga kuat. Aku kalah tenaga. Aku terseret hingga masuk ke dalam gudang. Gelap menyambut kami.
Ayah mengambil tali. Aku didudukkan di atas kursi. Ayah mengikatku. Aku menggeram. Berusaha menjerit, tapi lakban hitam lebih dulu menutup mulutku.
Hingga tengah malam, Ayah menyambitku dengan rotan penggebuk kasur. Sepanjang malam, tangisan Ibu terdengar lebih kesakitan dibanding blaret merah dan biru di kulitku.
***
"Aku butuh uang."
"Untuk apa?"