"Sabar. Setengah hari lagi," jawab si kenek suatu kali, wajahnya ogah-ogahan, setelah sejenak meneliti penampilanku yang aku kira dinilainya menyeramkan ini.
Aku bersabar. Bersabar. Bersabar lagi. Lagi. Dan lagi.
 Hingga bis ini berhenti di tempat pemberhentiannya di kotaku, aku segera meninggalkan terminal dengan terburu-buru. Sebab kontrakanku letaknya tak jauh dari terminal, aku tak perlu repot mencari tumpangan lain untuk bisa sampai di sana. Jalan kaki sebentar, masuk di beberapa gang, kemudian aku sampai.  Â
Selepas azan Isya' aku tiba di halaman kontrakan. Selangkah lagi rindu yang dua bulan lamanya tertanggungkan ini akan luruh di ambang pintu. Jelitaku menungguku di sana. Perempuanku menanti di dalam sana. Kekasihku menunggu untuk kupeluk penuh kasih sayang.
Kudapatkan lampu di halaman belum menyala. Keremangan mengikat udara di halaman sampai ke beranda. Hanya pijar jarang-jarang yang keluar dari celah jendela menjadi peneranganku. Tiba di muka pintu, kuketuk daun pintu itu. Sekali, dua kali, sampai ketiga kali, dan itu tak beroleh jawaban sama sekali. Pintu di hadapanku bergeming. Lamat-lamat, kudengar lenguhannya dari dalam.
Bangsat! Kutendang pintu itu hingga hancur. Aku masuk selangkah. Dan sejenak tak menyangka mendapatinya tengah ditindih seseorang di atas sofa. Menyadari kedatangan seseorang, Jelita menoleh dan menampilkan wajah banjir peluh yang kebingungan.
Keparat itu akhirnya menghentikan tindakan bajingannnya, tanpa beranjak dari posisi di atas istriku, ia menoleh dan tersenyum.
Darahku yang sedari tadi tersirap naik amblas seketika. Aku mengenalinya. Keparat ini. Dia, dia tampak seperti diriku sendiri. Sungguh serupa. Berambut hitam lebat di tangan, dagu, dada, sebagian wajah, dan tengkuknya. Matanya pun nyalang menyorot tajam. Dengan sepasang  gigi taring mencuat dan sejenak berkilau ketika lampu dari luar serta-merta masuk menerpanya.
"Ah, kau pulang lebih awal, Anakku. Maaf, aku lebih dulu mendatangi menantuku."
Jelita memekik keras. Mendorong keparat itu dengan keras hingga terlonjak ke belakang. Namun keparat itu justru tertawa. Keras. Membahana. Menggema di sekujur ruangan.
Aku menggeram. Darahku terpompa lagi ke ubun-ubun. Aku menggeram. Kurasakan gejolak hebat mengalir di seluruh aliran darahku. Aku menggeram. Dorongan untuk membunuh kian mengencang. Aku menggeram. Kakiku sigap menolak di lantai, tubuhku loncat, dan aku menerkamnya.
Sayup-sayup kudengar Jelita merintih kesakitan.