Mak Angkrih menatap wajah Agus. “Sepertinya kamu ragu Gus?”
“Untuk sampai meraih gelar sarjana pertanian mungkin butuh hampir seratus juta Nek, apakah cukup?” Perkiraannya, perhiasan emas Mak Angkrih tak sampai seratus gram.
“Semoga cukup. Gusti Allah yang akan mencukupkan. Rejeki bisa datang dari arah mana saja, tugas kita berikhtiar Gus. Yakinlah, kau akan mendapatkan kemudahan sehingga kau lulus jadi sarjana pertanian nanti.”
“Terima kasih Nek.”
“Siapkan segala persyaratan yang dibutuhkan.”
“Siap Nek!”
Agus senang keinginannya kuliah di IPB akan terlaksana. Sementara itu, diam-diam batin Mak Angkrih kian bergejolak menepis segala keraguan dan rasa pesimis mengingat harta yang dimilikinya tidak seberapa dibanding dengan biaya yang dibutuhkan Agus sampai lulus kuliah. Sementara itu dirinya masih berharap tengkulak Sapri dapat melunasi utangnya guna membiayai kuliah Agus.[]
Kerja lembur untuk mengejar target dilakukan Mak Angkrih jika kondisi kesehatannya memungkinkan. Kali ini dia ingin menggenapi jumlah hasil pekerjaannya sebelum tengkulak datang memborongnya.
Agus terbangun dari tidurnya.
"Tidurlah Nek, sudah larut malam.".
"Tanggung. Mau ngapain Gus?" Mak Angkrih tetap fokus pada pekerjaannya.