“Amin, Mak. Untuk bisa masuk di perguruan tinggi negeri harus lolos seleksi Mak.”
“Usahakan lolos Gus.”
“Seleksinya sangat ketat Mak.”
“Kamu pasti bisa Gus.”
“Insya Allah Mak, doakan aku Mak.”
“Gak putus-putus Gus. Gusti Allah pasti menyayangi anak saleh dan akan memberinya yang terbaik bagi kemaslahatan hidupnya.”
“Amin, Mak.”
Agus menyambung tidurnya. Beberapa saat kemudian Mak Angkrih meluruskan badannya di atas kasur yang dibelinya semasa almarhum suaminya masih hidup.
***
Rasudin, bungsu Mak Angkrih ditinggalkan istrinya. Dia kecolongan, perempuan cantik kepincut tukang bank keliling. Seringnya bertemu saat Rasudin tak ada di rumah membuka peluang keduanya untuk menjalin asmara terlarang.
Rasudin tidak berdaya. Dia nyaris saja bunuh diri karena prustasi. Agus yang masih berumur dua tahun ketika itu dititipkan pada Mak Angkrih. Selanjutnya nasib naas menimpa Rasudin kembali. Kecelakaan kareta api yang ditumpanginya turut merenggut nyawanya. Sebulan kemudian, suami Mak Angkrih tutup usia akibat tetanus. Praktis, segala urusan Agus menjadi beban Mak Angkrih. Hanya dengan cara menganyam tudunglah Mak Angkrih menghidupi dirinya dan Agus. Siang-malam kegiatannya hanya terfokus untuk menghasilkan rangkai, rangka tudung. Dari mulai menebang bambu, memotong, menyuir dan meraut, hingga menganyam dilakukannya sendiri. Agus tidak bisa diandalkan untuk membantunya. Hanya sekali-sekali saja dia turun tangan. Mak Angkrih selalu menyuruhnya belajar bersunguh-sungguh agar prestasi belajarnya baik. Hasilnya, prestasi belajarnya Agus selalu berada di peringkat lima besar pada angkatannya.