“Keterlaluan. Kurang ajar dia!”
“Semoga saja rezekinya dilancarkan. Biar dia bisa melunasi utang-utangnya. Gara-gara belum juga dibayarnya sekolah Si Agus jadi terganggu. Teman-temannya ikut karyawisata ke Jogja, Si Agus tidak bisa ikut, tak ada biaya. Dia cuma mendapat tugas dari gurunya mendatangi kampus yang dekat. Untung dia bisa terima.”
“Ibunya memang tidak mau membantu, mengirim uang jajan barangkali?”
“Ibunya entah berada di mana.”
“Belum juga berkabar, Mak?”
“Sudah lama.”
“Tapi masih hidup Mak?”
“Mungkin.”
“Kasihan Si Agus,
Sejak ditinggal pergi ibunya dalam usia tiga tahun Agus diurus oleh Mak Angkrih. Mak Angkrihlah yang memenuhi segala kebutuhannya. Beruntung cucunya itu pintar. Nilai rapornya tiap semester bagus terus. Dengan begitu Mak Angkrih tidak merasa sia-sia mengurusi dan membiayai Agus. Jika Mak Angkrih menanyakan cita-citanya Agus enggan menjawab, tapi Mak Angkrih selalu menyemangati agar Agus punya cita-cita setinggi-tingginya.
“Jadi presiden Gus?”