***
Kabar bahwa Agus diterima di IPB (Institut Pertanian Bogor) melalui jalur undangan mengejutkan Mak Angkrih sekaligus membahagiakannya. Agur merupakan siswa yang nilai rapornya terbilang tinggi pada semester pertama sampai kelima, sehingga terpilih untuk diusulkan mengikuti seleksi masuk IPB melalui jalur undangan.
“Alhamdulillah!” Mak Angkrih bersyukur. Tangannya menengadah lalu mengusap wajahnya disambung dengan sujud syukur dalam beberapa detik.
“Terima kasih cucuku, kamu membuat aku bangga.”
“Iya Nek. Ini berkat doa dan dukungan nenek juga.”
Sesaat Mak Angkrih terdiam.
“Walaupun berstatus negeri biaya kuliahnya tetap mahal Nek. Tidak harus diambil kok Nek. Kalau sekarang tidak cukup biaya, aku kuliah bisa kapan-kapan saja, bisa juga di kampus swasta yang biayanya lebih murah. Mungkin aku akan mencari pekerjaan dulu, atau jadi driver ojek online.” Agus mengira Mak Angkrih keberatan jika harus membiayainya.
“Lo kamu kok gitu Gus. Kita harus tetap semangat. Masa depan yang cerah harus diperjuangkan. Sekaranglah waktunya. Jangan membuang waktu. Kamu harus kuliah. Semoga Gusti Allah akan mencukupkan biayanya.”
“Baiklah kalau begtu.”
“Semua perhiasanku boleh dijual untuk biaya kuliah sampai kamu jadi sarjana pertanian. Oke Gus?”
“Oke Nek.”