Kubalas, 'ya Bang, hati-hati jangan ngebut'.
Kusibukkan di kamar. Kuganti baju Humaira, bersih sekali kulitnya ketika semua bajunya terbuka bahkan tercium wangi. Rupanya pihak rumah sakit sudah memandikan sekaligus memberinya parfum. Aku pakaikan baju terbaik untuk Humaira, selimutnya pun Aku ganti. Aku tambahkan lagi parfum. Humaira terlihat seperti tidur. Subhannallah, bibir mungilnya sejak dari rumah sakit tidak berubah, menyunggingkan senyum yang mengundangku untuk menciumnya.
Aku kemudian menyiapkan makan malam. Dan terus berusaha fokus untuk bersikap tenang untuk menyambut suamiku. Aku tidak ingin kedatangannya disambut dengan sesuatu yang membangkitkan emosinya. Suamiku memang orang yang shaleh dan cukup penyabar, tapi ada sedikit darah Medan dalam tubuhnya, yang kadang itu meledak kalau pemicunya sangat membuatnya marah.Â
Seperti pernah terjadi setahun silam, saat suamiku memarahi anak buahnya. Kaget Aku melihatnya marah, kemarahan yang baru Aku dengar kali itu. Dan Aku tidak ingin kemarahan seperti itu muncul malam ini, mengingat sayangnya Dia pada Humaira.
Pukul 20 lewat sedikit suamiku tiba. Segera Aku keluar menyambutnya di teras.
"Assalamu'alaikum," salam suamiku sambil menyerahkan tas kerjanya.
"Wa'alaikum salam," balasku, kuraih dan kucium tangannya.
"Lama menungguku ya?"
"Iya, hampir dingin lagi tuh makan malamnya." Aku tersenyum, kubuat senormal mungkin. Sekuat tenaga menahan gejolak dalam hatiku.
"Abang mandi aja dulu, ya?"
"Ya, Bang!"