Aku lagi-lagi hanya tersenyum. Sekuat tenaga menjaga agar roman muka tidak berubah mendengar pernyataannya. Aku hanya menbalas pendek, "Syukurlah, Bang."
Aku segera meraih gelas dan piring kotor dan membawanya ke dapur. Sengaja. Sepertinya Aku tidak akan tahan menahan tumpahan airmata. Dan, di dapur Aku menenangkan diri. Kutarik napas panjang. Setelah merasa tenang, Aku kembali menemani suamiku. Melanjutkan obrolan yang sempat terhenti saat Aku ke dapur. Jam dinding menunjukkan hampir pukul 22, kopi suamiku pun terlihat sudah habis.
"Tidur yuk, Bang! Lelah sekali badan ini." Hampir saja Aku keceplosan bahwa seharian di rumah sakit.
"Lelah apa lelah ...?" goda suamiku. "Memangnya Aku ga rindu, De?" pelan suamiku beranjak dari kursinya dan menghampiriku, memegang pundakku dari belakang kemudian berbisik, "Kamu sudah keramas kan?"
"Iiih ..., apaan sih." Aku menengadah memandang mukanya, Dia langsung mengecup keningku. Kemarin waktu suamiku berangkat ke luar kota, memang Aku sedang datang bulan, hari terakhir.
Suamiku kemudian masuk kamar setelah mengerling nakal. Aku tidak segera bangkit menyusul. Beribu rasa berbaur dalam hati. Ingin menyenangkan suamiku, tapi muncul pertanyaan, 'pantaskah Kami sepasang suami istri berpadu kasih di tengah suasana yang seharusnya bersedih?'
Aku ingin suamiku dalam kondisi tenang saat nanti mendengar kabar tentang Humaira.
Aku berdiri dan segera menyusul ke kamar. Suamiku sedang berdiri di pinggir tempat tidur Humaira saat Aku masuk. Senyum-senyum sendiri memperhatikan putrinya.
"Cantik sekali putri Kita ya De? Secantik ibunya."
Aku hanya tersenyum dan merebahkan diri di kasur.
"Tenang sekali tidurnya." Suamiku mencium Humaira, lalu menghampiriku dan berbaring di sebelah kananku.