Aku hanya duduk tegak. Kaku. Tanpa Dokter Mira berkata pun, Aku sudah tahu apa yang terjadi dengan Humaira. Gestur tubuhnya yang memeluk erat sambil menangis, sudah memberitahuku. Seperti ada sesuatu meninju jantungku, membuat debarnya bertambah cepat. Sakit. Airmata pun deras mengalir membasahi pipi ku. Tangis pun tak bisa kebendung.
Mendengar Aku menangis, dokter Mira makin erat memelukku. Beberapa menit Kita berdua menangis sambil berpelukan. Dia kemudian melepaskan pelukannya dan memegang wajahku dengan kedua tangannya.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun. Maafkan Aku, Nis!"
Aku diam. Sorot mata tanpa tatap dan derai airmataku, cukup untuk menjawabnya.
Setengah jam kemudian, Aku sudah bisa menerima kenyataan. Putri cantikku, Humaira, telah mendahuluiku. Bidadari yang ditunggu kedatangannya selama lima tahun. Matahari yang selalu menyemangati suamiku, kini tiada. Ku lihat dia seperti tidur pulas, seperti biasa dengan senyum kecilnya. Kulit putihnya semakin putih, kontras dengan selimut biru tua yang membungkusnya.
"Antarkan Aku dengan mobilmu!" pintaku pada dokter Mira.
"Nisa, prosedur rumah sakit mengharuskan jenazah diantar dengan ambulan."
"Kau atur lah, Aku ga mau pulang pake ambulan," tegas Aku meminta.
Dokter Mira menyerah. Berjalan ke ruang adminitrasi. Beberapa kemudian kembali dan mengangguk. Aku segera menyuruh adikku pulang tanpa memberitahu kondisi anakku. Kudekap erat Humaira selama berjalan ke tempat parkir.
"Kau tidak ngasih kabar suamimu?" Tanya dokter Mira sambil menyetir.
Aku terdiam sejenak. "Aku khawatir. Dia sedang dalam perjalanan pulang, perkiraanku dia sudah masuk tol. Kalau Aku kasih kabar, takut dia panik dan ngebut."