"De, Abang besok dinas luar kota lagi," kata suamiku di tengah sarapan.
"Perasaan sekarang jadi sering ke luar kota ya?" sahutku sekaligus tanya.
"Maklum lah De, kantor Abang lagi buka cabang, semuanya harus dipersiapkan, apalagi deadline pembukaan tinggal dua pekan lagi." Suamiku mengelap mulutnya dengan tisu dan meraih gelas berisi teh manis kesukaannya.
Keletihan masih terlihat di wajahnya. Dipercaya menjadi penanggung jawab pembukaan kantor cabang cukup menguras pikirannya, ditambah keletihan fisik yang harus bolak-balik ke lokasi kantor cabang baru yang berjarak dua ratus kilo meter, walaupun hanya dua tiga hari. Semuanya dilakukan atas rasa tanggung jawabnya. Aku merasa bangga melihat semangat kerja suamiku. Dan itu pula yang membuatku lima tahun lalu, menerima ajakannya untuk membina rumah tangga. Selain ketaatannya dalam beribadah. Aku mengenalnya sejak sama-sama kuliah dan menjadi aktivis rohis.
"Humaira ditinggal lagi dong," kataku saat menyerahkan tas kerjanya. Suamiku hanya tersenyum.
Humaira adalah panggilan putri kami, yang Allah amanahkan sejak tiga bulan yang lalu. Seorang putri yang membuat nuansa rumah kami ceria kembali, setelah mulai sedikit membosankan tanpa kehadiran seorang anak. Kami yang mulai dilanda saring curiga, siapa di antara kami yang mandul. Hadirnya Humaira seolah cinta kami terbarukan. Apalagi suamiku, dia selalu menceritakan kecantikan putrinya kepada teman-temannya. Dengan siapa pun dia bicara, langsung maupun lewat telepon, selalu menyisipkan cerita tentang putri kami.
Kami sangat bahagia dengan kehadiran Humaira. Seorang putri yang cantik yang terlahir normal, bahkan sejak bulan pertama kehamilanku tidak merasakan sesuatu yang aneh, semua normal, bahkan terbilang lancar untuk ukuran kelahiran pertama. Sehingga, Kami sangat kaget ketika dokter mengatakan bahwa putri Kami ini punya kelainan di jantungnya, entah apa istilah kedokterannya, yang jelas di usianya yang tiga bulan ini, separuh waktunya harus bolak-balik menginap di rumah sakit. Rupanya Allah memberikan amanah yang lain, amanah kesabaran yang harus Kami jaga.
"Tahu ga De?" Suamiku mengagetkanku dari lamunan, "Sejak putri Kita yang cantik ini lahir, rasanya semangat Abang bertambah."
"Ya iyalah, amanahnya kan bertambah, yang harus dijaga sekarang dua orang."
"Tapi sayang ya De ...."
Aku segera menempelkan tanganku di mulutnya sambil menggelengkan kepala pelan. Aku tahu suamiku akan bicara apa, dan Aku hanya mengingatkan komitmen bersama untuk tidak membicarakan masalah penyakit putri Kami.