Mohon tunggu...
Tyna Pane (Michelle)
Tyna Pane (Michelle) Mohon Tunggu... Novelis - Traveler, Writer, Fighter, Cooker

Ibu dari dua anak lelaki, asal Medan Sumatera Utara. Dalam dunia literasi saya menulis novel digital. Menulis cerita anak dan ensiklopedia anak. Bergabung dalam menulis buku antologi. Sebagai care giver untuk perempuan-perempuan patah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Matahari Terbenam dengan May

8 Februari 2022   15:00 Diperbarui: 8 Februari 2022   15:32 357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu dan dendam memang tidak mengenal teman. Sore mulai senja di desa yang sedikit jauh dari kota. Terdengar suara burung berkicau diiringi angin berembus. Daun-daun kering terbang tak tentu arah terbawa hamparan angin. Sore ini begitu indah, senja akan menampakkan keindahannya sebentar lagi.

"Kakak sudah mandi?" tanya Bu Santi pada gadis kecil itu.


"Nek, apakah benar Ibuku akan pulang hari ini? Perpisahan empat hari lagi, aku sudah tidak inginkan hadiah boneka lagi, Nek. Aku hanya butuh hadirnya di acara nanti," ucap gadis kecil itu lirih dengan mata yang mengembun.

"Almayra...! Ibumu sedang dalam perjalanan pulang, sabar yah," ucap Elena yang muncul dari arah dapur.

"Apa kamu menghubunginya? Apa memang benar dia akan pulang hari ini sesuai janjinya? Sudah dua tahun lebih kita terus dibohonginya. Sudah sampai di mana? Kenapa perjalanan begitu jauh? Bukankah kamu sering pergi dan pulang dari tempat yang sama hanya memakan waktu yang tidak lebih dari dua jam?" Bu Santi melontarkan sederet pertanyaan pada putri sulungnya Elena. Seakan ia ragu pada Nandini menantu kesayangannya itu.

Elena hanya mengangkat kedua bahunya lalu pergi meninggalkan Bu Santi yang masih penasaran. Orang yang melalukan kebohongan sekali, dua kali, tiga kali seperti itu masih bisa dimaafkan. Namun kalau sudah berkali-kali melakukan kebohongan yang disengaja. Mungkin itu sudah menjadi karakter seseorang. 

Sebelumnya keadaan dan kehidupan tidak seburuk saat ini. Berawal dari kepergian Ibu kandung Almayra yang tak jelas apa tujuannya itu, hati kedua anaknya menjadi korban.

Elena membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tatapannya fokus pada langit-langit kamar. Pikirannya tentang Almayra membuat ia harus rela menerima iparnya kembali. 

Andini adalah isteri dari adik Elena. Ibu dari Almayra dan Alfatih. Andini pergi meninggalkan kedua anaknya beserta suaminya atas dasar paksaan orang tuanya. 

Tidak begitu jelas kebenarannya karena selama hampir tiga tahun Andini hanya menberi tahu alasannya lewat panggilan telepon.


"Sudah ada kabar?" tanya Kinan dari ambang pintu kamar.

Elena terkesiap lalu ia segera bangkit menuju ruang tamu untuk mengambil handphone-nya. Segera ia mengirimkan pesan singkat kepada Andini.

"Din, hari sudah sore sebentar lagi malam. Apa kamu tidak ingin dijemput?"

"Harusnya pukul 9 malam kamu sudah sampai di Kota Tebing."

"Andin...?"

Hampir dua puluh menit Elena tidak menerima balasan pesan dari Andini. Raut wajah Bu Santi sedikit kecewa. Elena menatap pada Almayra yang sedang duduk memandang arah luar.

"Kalau kau memang tidak ada niat pulang, jangan terus obral janji pada anakmu yang setiap hari menanti kepulanganmu!"

Elena mengirimkan pesan singkat kembali pada Andini.

Pukul 11 malam Almayra tak kunjung tidur. Gadis kecil itu masih setia menunggu kepulangan Ibunya. Berulang kali Bu Santi membujuk cucunya untuk segera tidur namun hanya penolakan yang diterimanya. Almayra menatap Elena penuh harap. Dengan cepat Elena meraih ponsel dan menekan nomor kontak Andini.

Dering kedua telepon itu sudah dijawab.

"Halo, Kak El. Sudah tidur Kakak May, Kak? Aku ada masalah tadi sehingga aku akan sampai larut malam." 

"Kamu mau dijemput atau bagaimana? Ini sudah pukul 11 malam. Kamu itu wanita dan sendirian akan bahaya."

"Tidak usah, Kak. Aku sudah naik travel kata sopirnya akan diantar sampai rumah, aku akan menambah ongkosnya. Tapi aku akan sampai pukul 1 malam, Kak. Suruh saja Almayra tidur lebih dulu, tidak usah menunggu. Aku pasti pulang."

"Kalau pukul 1 kami masih bisa menjemput. Ini ada teman Kinan datang. Aku bisa menahan mereka untuk segera menjemputmu agar lebih aman."

"Tidak usah, Kak. Barangku banyak."

Panggilan telepon terputus begitu saja. Elena berpikir jaringan selular sedang tidak baik. Almayra tersenyum ke arah Elena. Gadis kecil itu segera pergi untuk tidur dengan hati yang gembira. 

***

Klek!!!

Elena terkesiap ketika pintu kamarnya terbuka, ia mengerjap beberapa kali untuk menetralkan retinanya. Ia menyipitkan matanya untuk melihat ke arah jam dinding. 

"Astagfirullah, aku tertidur." 

"Ibu...? Kinan...? Kita terlelap semua, ini sudah pukul 3.30. Tidak ada kabar dari Andini? Hah?" pekik Elena membangunkan seisi rumah kecuali anak-anak.

Elena mengusap kasar wajahnya. Membuka ponsel yang masih dalam genggaman. Tidak ada notif panggilan tidak terjawab, dan tidak ada pula chat atau pesan apapun yang masuk ke ponsel miliknya. 

Elena mebcoba menelepon Andini sepagi ini. Namu tidak ada jawaban setelah berkali-kali ditelepon.

"Apa dia tertidur dalam kendaraan sehingga tersesat?"

"Apa dia sudah dibawa pergi sama orang jahat?"

Bagaimana ini? Tidak ada jawaban?"

Bu Santi sangat panik. Sehingga berjalan bolak-balik di ruang tamu.

"Bu... Menantu Ibu itu pembohong. Dia sangat pandai berdrama seperti bintang filem. Aku yakin dia sudah ada di rumahnya. Dia hanya mencoba mempermainkan kita," ucap Elena dengan senyum simpul.

"Tidak mungkin dia begitu," tegas Bu Santi.

dret...dret...dret

Ponsel Elena bergetar beberapa kali. Ia membuka layar ponselnya, dalam waktu sepersekian detik ia tersenyum dengan kepala menggeleng. "Banar saja, dugaanku selalu tepat."

"Ada apa?" tanya Ibunya mendekat.

"Andini mengirim pesan, bahwasannya dia sudah berada di rumah orang tuanya. Besok siang dia akan ke rumah ini," sahut Elena. 

**

Suara hewan peliharaan meramaikan pagi yang cerah di pedesaan kecil daerah kota Tebing Tinggi. Tidak seperti biasanya, pagi ini semua anak-anak lebih antusias untuk bangun. Berlarian ke setiap sudut ruangan. Masih melihat orang yang sama belum ada anggota rumah yang tambah. 

"Mana Ibu, Nek? tanya Alfatih adik dari Almayra.

Sementara Almayra hanya menatap pada Elena. Gadis kecil itu tidak lagi bertanya. Namun dia sudah pandai mengambil sebuah kesimpulan. "Dasar wanita pembohong." 

Gadis kecil itu sungguh sangat terpukul dan kecewa. Sepertinya sinar mentari pagi ini tak lagi indah baginya. Bahkan mungkin dia tidak lagi merasa Matahari akan terbit di setiap pagi yang cerah.

"Tante... Aku sudah tidak lagi mengharap kehadirannya. Aku punya Nenek yang nanti akan hadir di acara perpisahan sekolah," ucapnya lalu berlari pergi menghilang dari pandangan semua yang berada dalam ruangan. 

"Assalamualaikum? Kak May... Alfatih... Ibu pulang, Nak," ucap Andini yang sudah muncul di depan rumah.

"Waalaikumsalam," ucap seluruh anggota keluarga bersamaan.

Tangis pilu bercampur haru membasahi baju masing-masing. Tetangga dekat berdatangan untuk sekedar menjabat tangan dan bertanya kabar. 

"Kamu- ," ucap Elena seketika terhenti begitu saja. Elena lebih memilih menghindar untuk menahan segala amarah yang terpendam.

Saat menjelang tidur Elena mendapati Andini dan Ibu sedang bercerita di ruang keluarga. Suara keduanya masih bisa terdengar jelas. Namun Elena memang tidak berniat ikut bergabung bersama mereka.

"Kamu bisa janji, Ndin enggak akan tinggalkan anakmu lagi. Kasihan mereka tidak bersama Ayah dan Ibunya saat masih sangat kecil. Tugas kamu itu cukup di rumah. Dari awal kamu loh yang buat ulah. Berubahlah. Seluruh hutangmu bersama PT. Kembang Berkembang telah Ibu lunasi. Ayah Almayra juga sudah bekerja di Luar Negri. Ibu sejak dulu sudah ingatkan uang kalian simpanlah. Kalian akan selalu Ibu bantu."

"Iya, Bu. Aku menyesal. Ibuku yang menyuruhku dan teman Ibuku sebagai calo yang memberangkatkan aku kerja ke Negri seberang. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Andini sambil terisak.

"Berapalah uang yang kamu bawa untuk anak-anakmu selama hampir tiga tahun?" 

"Tiga puluh lima juta, Bu."

"Lalu kemana uangnya?"

"Di rekening Kakakku, semua aku kirim ke rekening mereka. Kata Ibuku untuk beli sepetak tanah."

"Astafirullah, Ibumu apa tidak tahu bagaimana sakitmu di sana saat bekerja? Kenapa kau disuruh seperti kerbau pembajak. Tanah? Di belakang rumah kita begitu lebar untuk kamu bisa membangun, dua jenis ruko pun masih cukup. Lalu bagaimana uang segitu bisa beli tanah? Lalu untuk apa tanah kalau sekedar lahan kosong kecil. Ibumu dan Kakakmu memikirkan masa depan mereka. Kamu? Anakmu tanpa kamu, dan kamu kerja mati-matian enggak tahu siang dan malam tapi hasilnya tidak ada."

"Ya sudahlah, Bu. Aku coba minta sepuluh juta bagianku untuk membeli Sapi. Besok aku pulang yah, Bu. Bersama anak-anak."

**

Beberapa hari di rumah Ibu kandungnya, Andini belum kembali pulang. Sementara janjinya hanya seminggu sebab Almayra dan Alfatih akan masuk sekolah. Almayra masuk sekolah dasar dan Alfatih masuk play grup. 

"Elena, coba telepon Andini. Besok sekolah kenapa sampai sore belum pulang," titah Ibu.

"Ini postingan aplikasi berwarna biru dia sedang berlibur bersama lelaki dan temannya. Mereka berpasang-pasangan. Mungkin tidak akan pulang."

Mertua Andini masih berusaha menelepon berkali-kali namun tidak ada jawaban. Sampai malam tiba. 

"Sudahlah, Bu. Besok aku ada arah sana, nanti aku akan membawa Almayra pulang." 

Elena pergi ke rumah kerabat yang dekat dengan tempat tinggal Andini. Saat hendak pulang ke rumah, Elena membawa Almayra kembali. Alfatih masih tinggal bersama Ibunya. Mereka akan pulang lusa. 

Entah kenapa perasaan Elena begitu tidak yakin dengan penyesalan Andini. Ia masih merasa tertipu dengan semua kata-kata manisnya.

Waktu pagi saat Elena sedang membersihkan halaman depan. Terdengar Ibunya menelepon pada besannya, yaitu Ibu Andini. "Kak... Kemana Andini dan Alfatih? Kenapa belum pulang, anaknya sudah libur seminggu, katanya tiga hari lalu pulang, sampai hari ini enggak pulang?"

"Sudahlah aku enggak tahu kemana dia pergi. Apa enggak bisa anaknya dibagi dua saja? Biar Alfatih di sini dan Almayra di sana."

"HAH!?" pekik Elena dari luar yang mendengar percakapan Ibunya karena menggunakan pembesar suara. Terasa jantungnya berdegup lebih kencang. Napasnya mulai tersengal. Matanya menyorot tajam pada Ibunya. Kalau saja wanita yang bicara dengan Ibunya saat ini dihadapannya mungkin Elena akan gelap mata menghajar wanita tua yang sudah sangat keterlaluan itu.

"Astagfirullahalazim, Kak. Bagaimana pikiran Kakak memisahkan Kakak dan Adik. Sementara mereka dari kecil bersama. Sudah berpisah dari Ayah, Ibu malah mereka akan berpisah-pisah. Sudahlah Kak biar dijemput Elena sekarang." 

Ibunya memutuskan panggilan sepihak. Tanpa diberi aba-aba Elena dengan cepat berkemas untuk pergi menjemput Alfatih. Dia meninggalkan halaman yang belum selesai dibersihkan. Bersyukur masih pagi. Perjalanan akan ditembus selama delapan jam pulang pergi.

"Sayang Mami, baik-baik di rumah sama Nenek dan Kakak May yah. Mami dan Tante Kinan mau jemput Alfatih. Kasihan dia sendirian. Ibunya pergi lagi," ucap Elena sambil menghujani kecupan pada putra sulungnya yang masih berusia tiga tahun. Elena segera menurunkan April dari pangkuannya. 

"Aku pergi, Bu. Assalamualaikum."

"Hati-hati dan jangan bertindak gegabah."

Pukul 11 siang Elena sampai dikediaman orang tua Andini. Benar saja, rumah itu sangat sunyi.

"Assalamualaikum?" ucap Elena di ambang pintu. Matanya tertuju pada tas kecil berwarna hitam di depan pintu. 

"Walaikumsalam. Itu bajunya kalau anak ini mau diambil!" ucap Ibu Andini tanpa merasa berdosa. 

"Sudah kuduga. Kalian memang seperti binatang. Bukanya menyambut tamu dengan baik, atau sedikit menjelaskan kemana Ibunya mereka pergi. Malah seperti membuang sampah," ucap Elena lalu mengambil tas kecil berwarna hitam dan memeluk Alfatih.

Alfatih menangis terus menerus memanggil Ibunya. Elena berusaha menenangkannya agar tidak terlalu repot ketika dalam Bus. Kinan pamit pergi lebih awal untuk bekerja. Sementara Elena dan Alfatih singgah di rumah kerabatnya.

Sudah pukul 3 sore bagaimana pun harus segera pulang. Sebab dari Medan ke arah rumah Elena batas angkutan umum pukul 5. Sementara butuh tiga jam untuk sampai ke Medan. 

"Kak, aku pamit pulang yah. Terima kasih telah aku repotkan."

"Hati-hati di jalan, Elena. Sampaikan salam kami buat Nenek dan Kakek di rumah.

Sepanjang perjalanan menembus kota Medan, Alfatih tidak sekalipun diam memanggil Ibunya. Ia terus menangis. 

"Kak, apa tadi Nenek Alfatih pingsan? Ini anak tirinya meneleponku. Katanya kenapa kita tega merampas Alfatih, sampai Neneknya pingsan. Sekarang Neneknya sedang nangis menjerit-jerit di jalanan," isi pesan masuk dari Kinan.

"Hah? Selain jago hutang ternyata Ibunya Andini jago bermain drama yah. Tidak ada air mata sedikitpun sepeninggal kami tadi. Dan malah kamu tahu sendiri pakaiannya sudah dibungkus di depan pintu. Dan ini kan sudah direncanakan. Dia mana mau urus cucu, dia hanya berdrama untuk memeras Andini dengan alasan uang untuk cucu. Sudahlah peduli amat. Dua jam lagi kami sampai, aku sangat lelah berhadapan dengan keluarga pembohong itu," balas Elena cepat.

"Alfatih... Nanti sampai di rumah ada April dan Kak May. Jangan nangis lagi yah. Kita sampai nanti pengen makan apa? Ayam goreng? Atau apa?" Elena berusaha membujuk Alfatih. 

"Ya Tuhan selama aku menjadi guru taman kanak-kanak sampai Universitas, memiliki murid ribuan baru kali ini aku tidak bisa mendiamkan satu anak," ucap Elena dalam hati.

Tiga puluh menit lagi kendaraan yang ditumpangi Elena akan segera sampai. Alfatih masih tetap menangis. 

"Pak, jemput kami setelah salat Isya. Kami di restoran dekat dengan toko roti simpang tiga," Elena mengirim pesan pada Bapaknya.

"Kalau tidak hujan, bawa saja April, Pak." 

Setelah sampai Elena menggendong Alfatih menuju rumah makan. Syukurnya tidak lama kemudian Bapak muncul dengan membawa April. Akhirnya anak itu berhenti menangis setelah bertemu April. Bayangkan saja dari pukul 11 siang sampai pukul 9 malam anak itu terus menangis.

Setelah selesai makan mereka kembali ke rumah. Sampai di rumah, semua orang sudah pada tertidur. Perjalanan ini sangat melelahkan bagi Elena. Namun hatinya merasa tenang karena anak-anak akan lebih terjamin kehidupannya di rumah ini. Elena mengguyur tubuhnya dengan air agar bisa tidur dengan nyaman karena seharian sudah sangat lelah di jalan.

**

Pukul 7 pagi ketika Elena membuka pintu samping untuk keluar mengantar anak-anak sekolah. Para tetangga sudah berkumpul di halaman dan menangisi Alfatih. Awalnya Elena tidak ingin menangis namun karena melihat banyak orang menangis, ia ikut berair mata meski sudah sekuat tenaga menahan air matanya. 

"Ya Allah Alfatih, sabar yah, Nak. Kok tega sekali Ibumu bukan sekali dia begini, ini keterlaluan," ucap beberapa orang dengan isakan tangis.

**

Waktu mungkin bisa menghapus rasa sakit, tapi tidak dengan kenangan. Setiap yang bernama kenangan tentu akan abadi. Meskipun tersimpan di alam bawah sadar, suatu ketika akan muncul ke permukaan jika ada pemantik. Lima tahun setelah kejadian itu, semua kembali normal. Tapi tidak dengan hati, meski Almayra berkaca dan sadar diri. 

Nenek dari pihak Ibunya beberapa kali berkunjung dan tidak putus berucap hal yang tidak ada kaitan dengan Ibunya. Menitipkan beberapa potong baju-baju murah untuk dipakai Almayra dan Alfatih. Tidak seberapa memang, tapi entah itu dari bentuk kesungguhan atau hanya drama seperti tahun-tahun sebelumnya, semua terlihat tidak begitu jelas di sana.

"Almayra pantas mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Bu. Kita harus ikhlas membesarkan dan merawatnya. Dia sekarang tumbuh menjadi gadis cantik."

"Almayra... Kakak May yang sudah setinggi dengan Tante. Apa cita-citamu nanti?" tanya Elena yang sedang menggoreng tempe kesukaan Almayra.

"Cita-citaku dan harapanku adalah mengubur semua kenangan bersama wanita yang bernama Andini," ucap gadis kecil itu dengan wajah datar.

Deg

Seketika Elena menghentikan kegiatannya dan mematikan kompor. Dia menatap serius ke arah gadis kecil itu. Meski dalam hati Elena sangat kecewa dan benci terhadap Andini. Namun setelah dipikir-pikir, tempat terbaik dan ternyaman bagi anak adalah pulang kepangkuan Ibunya.

"Kak, nanti setelah kamu dewasa kamu akan paham. Jadilah pemaaf. Ibu adalah tempat terbaik untuk kita," ucap Elena dengan hati-hati.

"Katanya, Ibu adalah malaikat tak bersayap. Ibu rela menukar nyawanya untuk kebahagiaan anak. Kasih Ibu sepanjang napasnya. Namun, Ibuku tidak satu pun termasuk di dalamnya."

"Tante...!" 

"Aku masih ingat saat waktu kecil Ibuku mengurungku bersama Alfatih di dalam kamar sampai kami ketakutan. Kami menahan lapar, aku begitu takut dan Alfatih tidak berhenti menangis. Kalau saja Ibuku itu adalah Ibu yang baik, dia tidak akan melakukan itu padaku. Ayah bekerja saat itu, orang ramai berdatangan ke rumah. Entah apa salahnya kami sehingga kami dikurung semalaman. Andai saja terjadi kebakaran atau kebanjiran mungkin Aku dan Alfatih tidak lagi ada di Dunia ini. Seharusnya memang lebih bagus terjadi sesuatu saat malam itu."

Elena masih mendengarkan tanpa memberi komentar apapun. Memang yang dilakukan Andini sangat tidak mudah untuk dipercaya. Bagaimana mungkin seorang Ibu tega melakukan itu untuk anaknya. Sementara Elena sendiri berjuang dengan sangat tidak normal untuk menghidupi kedua putranya. Elena menghela napas panjang lalu bibirnya melengkung seperti bulan sabit, sebuah senyum penuh arti.

"Kak May... Berusahalah menjadi orang yang sabar dalam derita dan sabar dalam bahagia. Semua garis jalan kehidupan yang telah kita lalui hendaklah kita berserah diri kepada Allah sang pemilik kehidupan setiap umat. Kita panjatkan doa-doa indah dalam setiap sujud kita. Kita gantungkan puncak harapan hanya kepada sang Ilahi. Kita harus yakin dan terus bertawakal kepada Allah."

"Bagaimana aku bisa menerimanya, Tan? Aku tidaklah menjadi prioritasnya. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi di-kehidupan mana pun."

"Kak, Allah telah menetapkan kehendaknya. Kita harus percaya dengan segala yang terjadi adalah yang terbaik menurut Allah. Kelahiran, kematian, langkah, pertemuan, jodoh dan maut memang sudah ada ketetapannya. Kamu pernah mendengar 'Dan tidak ada suatu binatang melata pun di Bumi. Melainkan atas Allah-lah rejekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiamnya dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab  yang nyata, lauh al-Mahfuz (Qs.Hud:6)."

Cinta bukan saja tentang rasa ingin memiliki. Tapi juga memastikan orang yang dicintai mendapatkan apa yang selayaknya.

Perjuangan mendekati ujung, sepertinya. Setelah Almayra menikah, tunai sudah semua tanggung jawab. 

"Aku akan tetap mencintainya dengan cara berbeda, karena membawanya adalah hal yang tidak mungkin. Bukan karena takut rejeki tapi, akulah masalahnya. Ia tidak boleh susah bersamaku nanti. Ini adalah jalan hidup yang harus aku telan sendiri," ucap Elena dalam hati.

Maka, berharap Almayra ke tangan yang tepat itu adalah sebuah keputusan terbaik. Yaitu Ibunya kembali bersama Ayahnya atau Almayra bersama Alfatih kembali bersama Ibunya. Elena menyusut bening di sudut mata dan menghela napas panjang. 

"Ikhlas memang berat. Tapi, aku lega, usiaku semakin bertambah dengan bertambahnya senja disetiap harinya," ucap Elena sambil memegang pelipisnya.

**


Rumah yang dulu selalu terlihat ramai, kini benar-benar terasa sunyi. Sesekali terdengar suara isak tangis, kedua mata Almayra sudah sembab. Lengkap sudah penderitaan gadis kecil itu, sejak usia empat tahun setengah ia telah ditinggal sosok Ibu. Sekarang, Ayah satu-satunya orang tua yang ia miliki, belum juga kembali dari Negri seberang untuk mencari kehidupan yang lebih baik.

Almayra masih menangis, meninggalkan jejak pilu yang tak berujung. Baru ia seka, kemudian kembali basah. Pipinya tidak pernah kering, bulir bening senantiasa mendesak keluar dari matanya yang sudah bengkak.

"Almayra!" Elena mendekat, ia memeluk anak yang ia rawat sejak kecil itu. Sebuah pelukan hangat untuk membuat Almayra lebih kuat dan sabar. Kehilangan sosok Ayah dan Ibu mungkin membuat gadis itu terguncang. Dengan penuh kasih, Elena menepuk punggung Almayra dengan lembut.

"Almayra?"


Elena melepas pelukannya karena ia bisa ikut merasakan kesedihan yang dialami gadis itu. 

***


Keesokan harinya, Almayra mengingat masa lalu ketika tante Elena juga pergi meninggalkannya. Elena juga harus bekerja ke Negeri seberang karena untuk menghidupi kedua anaknya, tapi itu dulu. Sekaran tante Elena telah dinikahi oleh lelaki asal Malaysia. 

Di depan pagar rumah Neneknya, Almayra nampak termenung, dia duduk dibawah pohon rambutan dan roknya tersapu angin. Puluhan daun kering dan bunga-bunga memenuhi halaman rumah itu. Suasana seperti itu menambah kesunyian hatinya. 

Almayra masih terduduk dengan wajah yang sendu, bersandar pada sandaran kursi di bawah pohon rambutan. Sejak semalam ia hanya diam dan menangis kemudian pergi ke belakang rumah Neneknya, itu adalah kebiasaan Almayra dari kecil. Entah sudah berapa kali ia melakukan hal itu dari kemarin.

"Almayra, makan ya? Nenek suap?" Neneknya membawa nampan berisi makanan. Hatinya ikut pilu menatap kondisi cucunya yang bernama Almayra seperti sekarang ini. Nenek tahu, hati cucu kesayangannya itu pasti sedang hancur. Cucu perempuan satu-satunya sedang mengalami kepedihan hati yang mendalam.

Almayra menatap Matahari yang tampak malu-malu ingin terbenam. Sesaat pikirannya menerawang saat masa kecilnya. Penyiksaan verbal yang dilakukan Ibunya berserta keluarga Ibunya membuat dirinya menjadi keras hati. Menyisakan trauma yang teramat dalam.

"Siapa yang pernah sangka atas kehidupan yang tidak diharapkan. Semua mengalir seakan tiba-tiba tanpa celah dan tanpa perencanaan. Beriring waktu kian berlalu, aku tatap di sekelilingku, masih sama dengan hal yang sama menyergap pemikiranku yang masih sangat bingung. Aku tidak tau mengungkapkan apa yang ada dihatiku. Jika aku merindu, aku pasti marah dalam tangisan. Hatiku menolak bibirku spontan menolak, namun nuraniku berbicara lain. Siapa aku sebenarnya? Kenapa aku harus hidup seperti ini? Itu pertanyaan konyol yang bermain dalam pikiranku. Hampir setiap insan mengatakan, Ibu adalah syurga, Ibu adalah malaikat tanpa sayap. Namun aku berpikir lain, tidak ada malaikat tanpa sayap bagiku. Tidak ada syurga bagiku. Sering sekali orang mengatakan, nanti kalau Ibu datang kamu ikut yah dengan Ibu. Hemmm dalam senyum menjijikkan aku meronta, Ibu, Ibu, Ibu hahahahha Ibu adalah satu-satunya wanita yang rela menukar nyawa untuk hidup anaknya. Lantas, sosok Ibu sangat mengerikan dalam hidupku. Kalau benar adanya Ibu dalam hidupku, kenapa harus aku dibiarkan besar tanpanya, kenapa dia rela menukar kebahagiaan dengan menyakitiku. Terkadang aku sendiri pilu saat memanggil saudara Ayahku dengan sebutan, Ibu. Tapi itulah kenyataannya. Setiap hari tanpa sehari pun aku melewati senja yang begitu indahnya. Terkadang senja tampak gelap sehingga menurunkan air dari langit, terkadang senja nampak begitu indah, sehingga melukiskan senyum dari jiwa. Ketika senja mampu mengalah pada malam. Aku pasti sabar mengalah pada rindu."

"Tante, lihatlah Matahari bersinar memancarkan cahaya, namun tidak untukku. Matahari tidak lagi memancarkan sinar untukku. Bahkan Matahari telah terbenam bersama jiwaku."

Elena mendekap gadis itu dengan erat. Elena berharap kehidupan Almayra akan bahagia dengan segala luka yang pernah ia lewati. Rindu ini harus ditunaikan. Jika memang Tuhan membuka hati Ibunya untuk kembali melihat Almayra. Elena sudah begitu ikhlas dan merelekan.

-Tamat-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun