"Iya, Bu. Aku menyesal. Ibuku yang menyuruhku dan teman Ibuku sebagai calo yang memberangkatkan aku kerja ke Negri seberang. Aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi," ucap Andini sambil terisak.
"Berapalah uang yang kamu bawa untuk anak-anakmu selama hampir tiga tahun?"Â
"Tiga puluh lima juta, Bu."
"Lalu kemana uangnya?"
"Di rekening Kakakku, semua aku kirim ke rekening mereka. Kata Ibuku untuk beli sepetak tanah."
"Astafirullah, Ibumu apa tidak tahu bagaimana sakitmu di sana saat bekerja? Kenapa kau disuruh seperti kerbau pembajak. Tanah? Di belakang rumah kita begitu lebar untuk kamu bisa membangun, dua jenis ruko pun masih cukup. Lalu bagaimana uang segitu bisa beli tanah? Lalu untuk apa tanah kalau sekedar lahan kosong kecil. Ibumu dan Kakakmu memikirkan masa depan mereka. Kamu? Anakmu tanpa kamu, dan kamu kerja mati-matian enggak tahu siang dan malam tapi hasilnya tidak ada."
"Ya sudahlah, Bu. Aku coba minta sepuluh juta bagianku untuk membeli Sapi. Besok aku pulang yah, Bu. Bersama anak-anak."
**
Beberapa hari di rumah Ibu kandungnya, Andini belum kembali pulang. Sementara janjinya hanya seminggu sebab Almayra dan Alfatih akan masuk sekolah. Almayra masuk sekolah dasar dan Alfatih masuk play grup.Â
"Elena, coba telepon Andini. Besok sekolah kenapa sampai sore belum pulang," titah Ibu.
"Ini postingan aplikasi berwarna biru dia sedang berlibur bersama lelaki dan temannya. Mereka berpasang-pasangan. Mungkin tidak akan pulang."