Waktu terus berjalan dan sebulan sudah Linggom menanti kabar dan keputusan dari Eka, namun tak kunjung datang. Sore itu, senja kembali menerpa pinggiran Danau Toba dan dari sanalah Linggom memutuskan untuk menanyakan kabar kepada Eka
"halo nona, apa kabar? Aku yakin kau pasti sehat dan baik-baik saja. To the point saja ini ya, terkait hal kemarin, sudahlah dilupakan saja nona, saya juga tidak mau mengambil pusing untuk itu." Isi pesan Linggom pada Eka yang pada saat itu langsung dibalas Eka melalui panggilan teleponnya.
"halo anak muda, aku minta maaf ya. Aku bukannya aku tidak mau memberimu kabar. Hanya saja aku bingung harus memberikan jawaban apa terhadap apa yang kau sampaikan kemarin. Aku juga tidak bisa membohongi perasaan ku samamu, hanya saja ada sesuatu hal yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata sehingga aku bingung untuk memberimu jawaban apa. Aku yakin, dengan karakter sepertimu, kau akan menemukan yang lebih baik dari aku. Kau orang baik dan akan sangat beruntung wanita yang bisa bersamamu nanti. Untuk saat ini, aku minta maaf dulu anak muda, mungkin kita lebih baik berteman aja. Aku juga masih baru selesai kuliah, aku masih harus membuat ibuku bangga, aku masih harus mengambil S2, dan ada beberapa mimpi lagi yang harus aku wujudkan. Semoga kau mendapatkan yang lebih baik dari aku, semoga kita sama-sama sukses dan yang terbaik menghampiri kita. Sejujurnya harus kuakui, soal perasaan itu memang ada, but its too complicated for you anak muda." Ucap Eka.
Susunana kalimat retorika itu telah menghempaskan sesuatu dari jiwa dan raga Linggom. Seolah ada yang tersentak keluar namun tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dengan mencoba untuk tetap tenang, Linggom dengan terbata-bata dan bibir yang gemetaran, membalas suara dibalik telepon itu dengan punuh retorika juga.
"ah,sudahlah nona, sejak kau meminta waktu satu bulan lagi untuk menjwabnya, bagiku itu sudah jawaban bahwa kau memang belum siap atau bahkan memang tidak menaruh hati padaku, tidak apa-apa. Bagi orang seperti kami, gagal adalah hal yang biasa, kami akan terkejut kalau kami diterima atau kami berhasil hehehehe" jawab Linggom bergurau menutupi kekecewaanya.
"baiklah nona, barangh kali saya kurang beruntung, tapi kita tetap bisa jadi teman, barangkali mau pulang kampung dari medan, singgah lah barang sebentar saja, dengan melihat senyummu pun saya sudah senang" kata Linggom dengan penuh bohong untuk memecah keheningan di telepon seluler itu
"iya, akan aku kabari" jawab Eka dengan sedikit kaku.
Seolah mereka berdua menjadi orang yang sudah asing yang tidak pernah saling kenal dan seolah melupakan bahwa mereka pernah juga teleponan dari malam hari sampai ayam berkokok saling lempar retorika satu sama lain, saling bercertia tentang pribadi masing-masing. Namun sejak telepon seluler itu tidak terhubung lagi, keduanya adalah insane yang sudah asing satu sama lain.
Dengan perasaan yang tidak bisa diutarakan, Linggom menggemgam telepon seluler miliknya sambil menatap Senja dari tepian danau toba sore itu sembari bergumam didalam hatinya "benar,senja itu adalah sesuatu yang indah,dekat dan tepat berada dihadapan kita, namun senja tidak dapat digapai, sebab senja akan segera berganti dengan malam yang sepi dan penuh kenangan"
Undangan pernikahan
Hari-hari yang dilalui oleh Linggom makin hari berangsur-angsur berjalan sebagaimana biasanya. Setelah sebelumnya, kejadian dan percakapan dikala senja itu sempat membuat hati dan pikirannya tidak sejalan. Satu hal yang tidak dilupakan ketika senja kala itu adalah, dengan diam-diam Linggom mengirimkan sebuah karya yang benar-benar dia rasakan dan sebagai bentuk ekspresi dari hal yang benar-benar dia rasakan. Puisi singkat yang dikemas dengan beberapa editan video dan music sehingga terdengar bahwa puisi itu benar-benar hidup. Sekali lagi, Linggom memutar video itu sambil membaca puisi yang indah itu didalam hatinya: