Mohon tunggu...
TONI PRATAMA
TONI PRATAMA Mohon Tunggu... Administrasi - Kepala Bagian Perencanaan dan Keuangan Sekretariat Daerah Bangka Selatan

Saya mulai fokus menulis sejak tahun 2023 dengan menerbitkan 2 buku solo dan belasan buku antologi. Salah satu karya saya berupa novel diterbitkan penerbit Bhuana Ilmu Populer (BIP) Gramedia Group. Prestasi yang pernah saya raih yaitu juara 1 lomba menulis cerita rakyat yang diselenggarakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Bangka Belitung tahun 2023. Menulis dan membaca tentu menjadi kegiatanku saat waktu luang. Semoga bisa terus berkarya, karena ada kalimat yang sangat menginspirasiku: JIKA KAMU INGIN MELIHAT DUNIA MAKA MEMBACALAH, JIKA KAMU INGIN DILIHAT DUNIA MAKA MENULISLAH!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Papaku Bintangku

12 Juli 2024   08:50 Diperbarui: 12 Juli 2024   09:04 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi

Papaku Bintangku

 

"Apa aku bilang? Kalah lagi, kan? Aku nggak berbakat, Pa!" gertakku kesal pada seorang pria. Seseorang yang memiliki hati dan kesabaran seluas samudera. Pria itu memandang wajah kusutku dengan tersenyum. Ia lalu memelukku dan membiarkan aku menangis.

"Tidak apa-apa! Menangislah biar lega!" katanya pelan sambil menepuk-nepuk pundakku. Aku kesal sekali pada diriku. Mengapa selalu gagal dalam setiap perlombaan? Namun, pria itu selalu menemukan kata-kata terbaik untuk mengobati luka hatiku.

Pria baik hati itu adalah papaku. Seorang pria yang berpostur tinggi, berkacamata, dan suka memakai baju berwarna oren. Tampangnya seperti detektif Conan versi dewasa. Bersamanya aku selalu merasa nyaman dan damai. Bagiku, ia adalah papa terbaik di muka bumi ini.

Papa bagai bintang yang selalu menerangi jalanku mencapai cita-cita. Papa yang menemani langkahku menggapai harapan. Papa yang menggandeng tanganku kala aku malas berjalan menuju impianku. Papa juga yang selalu berkata bahwa saya pasti bisa!

Setiap pagi, papa mengantarku sampai ke gerbang sekolah. Papa melambaikan tangan dan tersenyum bangga pada putrinya yang cantik.

"Da...dah... Dedek! Selamat belajar!"

Papa baru melanjutkan perjalanan menuju tempat kerjanya saat aku sudah memasuki ruangan kelas. Papa mengendarai motor kesayangannya yang sudah setia bersamanya puluhan tahun. Motor itu sudah menemaninya sejak papa masih bujangan.

Papa bekerja sebagai juru masak di sebuah restoran yang cukup terkenal. Semua makanan menjadi lebih enak jika dimasak oleh papa. Coba tebak celemek papa berwarna apa? Betul sekali! Oren!

Mengapa papa suka warna oren? Katanya warna oren melambangkan kebahagiaan. Inilah rahasia mengapa masakan papa begitu enak. Papa memasak dengan hati yang bersuka cita. Papa ingin membuat semua orang gembira dengan mencicipi hidangannya.

Perabot rumah kami juga banyak yang berwarna oren. Rak sepatu, gantungan baju, tong sampah, tudung saji, bahkan sendok dan garpu. Papaku penggemar warna oren garis keras. Sampai-sampai papa dijuluki Mister Oren oleh teman-temannya.

 Oh, ya, namaku Elgrass. Saat ini aku kelas 5 SD di sebuah sekolah negeri. Aku selalu bersemangat saat tiba di sekolah. Bertemu dengan teman-teman dan bapak guru yang baik hati. Walaupun harus belajar sampai sore hari, tapi kami betah di sekolah.

"Elgrass, apa bekalmu hari ini?" tanya Raisya teman sebangku aku.

"Nasi goreng ikan teri. Ada telur dadarnya juga,"jawabku.

"Wah... wangi sekali! Pasti enak rasanya! Bolehkah aku mencicipinya sedikit?"

"Tentu saja boleh! Papaku yang memasaknya."

Aku dan Raisya berteman baik. Tidak jarang kami saling berbagi bekal. Rumahku dan rumah Raisya juga tidak terlalu jauh. Kami sering bermain dan belajar bersama.

 Aku tinggal di sebuah kota kecil di ujung selatan pulau Bangka. Namanya kota Toboali, yang terkenal dengan terasinya. Bumbu dapur yang aromanya wangi itu selalu menjadi buah tangan para wisatawan. Terasi Toboali akan membuat semua masakan menjadi lebih enak. Semua orang menyukainya.

Tinggal di kota Toboali sangat menyenangkan. Banyak tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi. Pantai yang indah, bukit yang permai, dan alun-alun yang ramai. Kota Toboali saat ini juga terkenal dengan Batu Belimbing dan Himpang Lima.

Makanan asli Toboali juga enak-enak. Ada lempah kuning yang pedasnya bikin ketagihan. Ada lakso yang gurih dan mi ikan yang nikmat. Martabak yang harum semerbak serta bolu kuci yang lembut. Tapi yang paling membahagiakan adalah ada keluarga yang menyayangiku di sini.

Suatu sore, papa pulang kerja dan membawa secarik kertas bergambar. Papa menyapaku yang sedang membaca buku cerita kesayanganku di sofa. Suara papa begitu bersemangat. Setelah meletakkan sepatu dan jaketnya yang berwarna oren, papa menghampiriku.

"Dedek cantik, ini ada lomba mewarnai lagi. Mau ikut?"

Aku mengambil kertas pengumuman lomba mewarnai itu dari tangan papa. Aku membacanya dengan seksama. Keningku berkerut dan ekspresi mukaku tidak terlalu senang.

"Tapi dedek tidak pernah menang, Pa!" gerutuku sambil mengembalikan kertas itu ke tangan papa.

Mataku dan mata papa saling beradu pandang. Papa tersenyum sambil membelai rambutku yang sepanjang bahu.

"Tidak apa-apa, Sayang! Ayo dicoba lagi!" suara papa enak di telinga.

"Dedek sudah mencoba 5 kali, Pa!" kataku sambil menunduk lesu.

Papa lalu duduk di sampingku. Ia masih membelai rambutku dengan penuh kasih sayang. Papa berusaha membujukku untuk ikut perlombaan mewarnai lagi.

"Tidak masalah nanti menang atau tidak, Sayang! Yang penting semangatmu selalu ada untuk menjadi lebih baik dan semakin baik!"

Perlahan namun pasti, usaha papa selalu berhasil meluluhkan hatiku. Aku pun mengiyakannya.

Aku memeriksa kotak pensil warnaku. Sudah cukup lama aku menyimpannya di laci meja belajarku. Terlihat beberapa batang pensil warnaku sudah memendek. Terutama warna biru dan hijau yang hampir habis terpakai. Mungkin terlalu sering mewarnai gambar laut dan hutan. Aku pun menyampaikannya ke papa yang sedang menonton TV di ruang keluarga.

"Pa, pensil warna dedek sudah pendek-pendek."

Papa menoleh dan melihat ke arah tanganku yang memegangi beberapa pensil warna. Papa berjanji akan membelikan pensil warna baru untukku. Aku pun kembali bersemangat dan tersenyum gembira.

Aku lalu ikut menonton televisi bersama papa. Kami menonton film komedi yang mengocok perut. Kami memang suka menonton film yang lucu. Suasana menonton semakin asyik dengan ditemani camilan kacang dan jagung rebus. Tertawa bersama papa adalah waktu yang paling membahagiakan.

Aku sedang membolak-balikkan halaman buku ceritaku. Buku dongeng tentang legenda wisata di Bangka Selatan. Aku sangat menyukai kisah-kisahnya yang menarik. Aku paling suka kisah Bang Belim dan Ko Abing yang lucu sekaligus mengharukan.

Terdengar olehku bunyi kendaraan papa memasuki halaman rumah. Aku segera meletakkan buku ceritaku dan menyambut papa yang baru pulang. Papa mencium keningku dan mengajakku duduk di sofa. Ia mengeluarkan sesuatu dari tas kerjanya.

"Ini pensil warna baru buat Dedek!" papa menyodorkan sekotak pensil warna baru untukku.

"Terima kasih, Pa! Dedek senang sekali! Sekarang dedek bisa mewarnai dengan baik!"

Kami pun melanjutkan dengan makan malam bersama.

Hari perlombaan mewarnai pun tiba. Kegiatan lomba itu merupakan bagian dari rangkaian Festival Kemilau Pesona Bangka Selatan. Sebuah festival tahunan untuk memeriahkan Hari Jadi Kota Toboali tercinta. Kota kelahiranku ini sudah berumur ratusan tahun.

 Peserta lomba cukup banyak jumlahnya. Ada beberapa teman sekolahku juga ikut serta. Para peserta membawa peralatan mewarnai dan meja kecil yang dapat dilipat. Kami semua memakai pakaian seragam olah raga asal sekolah masing-masing.

"Hallo, Raisya! Pita rambutmu bagus sekali!" aku memuji hiasan kepala Raisya yang bercorak Tudung Saji mini.

"Iya, Elgrass! Mamaku baru membelinya kemarin supaya aku mau ikut lomba mewarnai. Hahahaha...!" Raisya berkata sambil tertawa.

"Papaku sih belikan aku pensil warna baru!"

"Wah... bagus dong!"

Perlombaan mewarnai dilakukan dalam ruangan aula sebuah wisma bersejarah. Namanya Wisma Samudera, yang menurut sejarahnya pernah disinggahi oleh Bapak Proklamator Indonesia. Peserta duduk dengan rapi berbanjar-banjar di atas karpet berwarna merah. Aku duduk di deretan kedua paling kanan. Aku menyiapkan peralatanku dan memastikan mejaku tidak miring.

Papa di mana, ya? Ia terlihat berdiri di antara kerumunan para orang tua yang turut mengantar anak-anaknya. Tidak sulit untuk menemukan papa. Papa mudah dikenali karena warna bajunya yang mencolok sendiri. Apalagi kalau bukan warna oren!

 "Semangat!" kata papa walau suaranya tidak terdengar jelas akibat tenggelam oleh kebisingan.

Kertas mewarnai dibagikan oleh panitia kepada para anak-anak peserta lomba mewarnai. Kami sudah menunggu sekitar setengah jam. Cuaca yang mulai panas membuat badanku berkeringat. Untung ada kipas angin kecil yang aku andalkan untuk mengusir hawa panas. Aku tetap bersemangat mengikuti perlombaan.

Aku mulai mewarnai kertas gambar yang telah berada di atas mejaku. Tema mewarnainya adalah objek wisata yang terkenal di daerahku. Sebuah batu granit raksasa yang berbentuk menyerupai buah belimbing. Batu Belimbing namanya, tempat terbaik untuk menikmati suasana matahari terbenam di kotaku.

Gambar yang disediakan pada lomba mewarnai kali ini terbilang cukup rumit. Banyak objek yang harus diwarnai. Ada pemandangan pantai nan indah yang menjadi latar belakangnya. Ada juga pohon beringin besar yang menyatu dengan Batu Belimbing. Semua harus diwarnai dengan bagus dan teliti.

Aku berpacu dengan jarum jam untuk menyelesaikan tepat pada waktunya. Panitia hanya memberikan waktu 2 jam saja.

"Waktu tinggal 10 menit lagi, ya, Adik-adik!" kata seorang kakak bertubuh kurus.

Aku segera menyelesaikan karyaku. Kali ini hasilnya terlihat cukup bagus. Mungkin berkat pensil warna baruku hadiah dari papa itu. Warna yang dihasilkan sangat cerah dan menonjol. Hasil mewarnaiku seolah-olah "hidup".

"Raisya, sudah selesai belum?" tanyaku.

"Tinggal sedikit lagi. Tunggu aku, ya!" pinta Raisya.

Aku memeriksa kembali nama dan asal sekolahku tertulis dengan baik di kertas itu. Aku mengumpulkannya sambil tersenyum bangga. Aku yakin kali ini aku bisa menang dan membawa pulang piala. Piala yang sudah lama aku inginkan. Semoga hari ini adalah hari keberuntunganku!

"Foto dulu sebentar, Dek! Senyum...!" papa memotretku sekali bersama karyaku sebelum diserahkan ke kakak panitia.

"Foto dengan Raisya juga, ya, Pa!"

"Boleh! Senyum yang manis..! Satu..dua...tiga!"

Kami pun menyerahkan hasil karya kami.

"Terima kasih, Adek cantik!" kakak itu tersenyum hingga garis matanya hilang tanpa bekas.

Sambil menunggu pengumuman pemenang, papa mengajakku menonton perlombaan lainnya di lapangan. Kali ini ada lomba tarik tambang antar anak SD. Sudah ada dua kubu yang bersiap-siap. Salah satunya adalah perwakilan dari sekolahku. Aku dan papa ikut bersemangat mendukung teman-temanku.

"Satu... dua...tiga... Tarikkkk....!"

Hiruk pikuk penonton pun menggema. Masing-masing memberikan dukungan pada tim jagoannya. Para peserta bersusah payah menarik tali tambang dengan kekuatan penuh. Beberapa anak bahkan jatuh terguling-guling. Perlombaan dimenangkan tim dari sekolah kami.

"Horeeee.....! Kita menang...!"

Teman-temanku pun bersorak-sorai kegirangan. Perjuangan mereka tidak sia-sia. Mereka membawa pulang bingkisan besar dan piala juara. Entah apa isi bingkisan itu, mungkin beraneka macam camilan. Aku turut senang melihatnya.

Sementara itu, di panggung utama yang besar dan megah sedang berlangsung perlombaan band. Banyak musisi lokal dari berbagai daerah Bangka Belitung yang ikut serta. Mereka membawakan lagu-lagu daerah melayu. Penonton berduyun-duyun menonton aksi para seniman musik yang penampilannya keren-keren.

"Pulau Kelapan nan merona, Batu Belimbing ikon wisata, Tanjung Kerasak memanjakan mata, Pantai Labun damaikan jiwa, Bangka Selatan Negeri Beribu Pesona, Asak Kawa Kite Pacak!"

Sepenggal syair lagu pujian akan indahnya alam di daerahku. Ada yang tahu apa itu slogan Asak Kawa Kite Pacak? Iya, artinya jika ada kemauan maka kita pasti bisa. Kalimat ini menjadi jargon daerah kami dan dikenal banyak orang.

Sambil menonton pertunjukan musik, papa menawariku jajan makanan kesukaanku. Es krim rasa coklat tentu selalu menjadi favoritku. Aku memesan ukuran besar dengan toping kacang dan coklat butir. Rasanya enak sekali. Aku menikmatinya dengan hati-hati agar tidak ada yang tumpah mengotori bajuku.

Papa juga memesan es krim yang sama. Walaupun sudah orang dewasa, papa masih suka makan es krim. Sepertinya aku memang ditakdirkan menjadi anaknya. Bagaimana tidak? Selera kami sama.

Sambil menikmati es krim, papa bercerita sebuah kisah yang sangat berkesan. Cerita itu tentang seorang anak kecil yang berlomba mobil-mobilan. Sebelum perlombaan dimulai, anak kecil itu berdoa sebentar. Setelah melalui perlombaan yang sengit, anak itu keluar sebagai pemenangnya.

Tibalah saatnya  penyerahan hadiah. Sang pembawa acara menanyakannya apakah tadi dia berdoa untuk menang? Ternyata bukan! Anak kecil itu berdoa agar ia tidak menangis jika kalah. Aku memahami pesan cerita tersebut bahwa papa mengharapkan aku seperti anak hebat itu.

Satu jam telah berlalu. Kakak panitia tampil di panggung kecil dan bersiap membacakan pemenang lomba mewarnai. Papa dan aku berjalan mendekati panggung utama agar dapat mendengar dengan jelas. Papa menggenggam tanganku dengan kuat. Rasa penasarannya sama kuat dengan genggaman tangannya itu.

"Pemenang ketiga, atas nama Elisa dari SD Negeri 78...!"

Tampak seorang anak berjilbab oren tampil ke atas panggung dengan senyum bahagia. Ia memamerkan giginya yang rapi dan lesung pipinya yang manis.

"Pemenang kedua, atas nama Riko dari SD Negeri 88....!"

Seorang anak laki-laki berbadan agak gendut maju ke depan. Ia berdiri di samping si Elisa. Sekarang tinggal satu nama lagi. Siapakah yang mendapat predikat sebagai juara pertama? Semua hadirin pun menahan nafas dan jantung berdegup kencang tak beraturan.

"Selamat kepada Ihsan dari SD Negeri 07 sebagai juara pertama....!"

Anak laki-laki yang namanya disebut itu berjingkrak-jingkrak meluapkan kegembiraannya. Kacamatanya yang bulat mengingatkan pada karakter utama sebuah film fantasi dunia sihir. Ia tampil di atas panggung untuk menerima hadiah dan piala. Senyumannya yang lebar menghiasi wajahnya yang imut.

"Mari kita berikan tepuk tangan yang paling meriah!" tambah si kakak panitia itu lagi. Semua orang pun bertepuk tangan dan mengelu-elukan nama si Ihsan, sang juara.

Bagaimana dengan aku? Untuk kesekian kalinya aku gagal. Aku menunduk dalam-dalam dan menggigit bibirku. Aku sudah berjanji untuk tidak menangis kali ini. Aku ingin menepati janjiku pada papa yang masih terus memegang tanganku erat-erat. Papa yang mengharapkan putri kesayangannya tetap kuat.

Acara pun selesai dan para penonton membubarkan diri. Semua kembali ke rumah masing-masing. Aku dibonceng papa dengan sepeda motornya melaju hanya sekitar 5 menit. Kami tiba di rumah kembali. Aku meletakkan tasku dan duduk berdiam diri.

"Ini minum dulu, Dek! Dari tadi Dedek belum minum, lho!"

Aku meraih gelas minuman yang disodorkan papa. Aku meneguknya perlahan dan masih tetap diam. Aku sedang malas berbicara. Lagipula, bahan pembicaraan apa yang menarik bagi seorang yang baru saja gagal?

Papa sangat memahami kondisiku yang sedang tidak baik-baik saja. Papa juga diam tanpa banyak bertanya. Papa hanya duduk menemani aku sambil menonton tayangan kartun asal negeri Jiran. Walaupun adegannya lucu, tapi aku sama sekali tidak terpancing untuk tertawa. Entah kenapa dunia terasa begitu hambar saat itu!

Entah sudah berapa lama kami duduk di depan televisi itu. Perut rasanya juga sudah lapar. Tapi aku sedang tidak berselera makan. Aku masih kecewa pada diriku. Aku masih merenungi, sebenarnya bakat apa yang ada dalam diriku ini?

Papa membuatkanku semangkok sereal dengan menambahkan potongan buah-buahan segar. Ada pepaya, melon, dan apel segar. Papa tentu tidak ingin putrinya kelaparan dan menjadi makin kurus.

"Makanlah sedikit, Dek!"

Papa meletakkannya di meja kecil di depanku seraya berkata dengan lembut. Aku berusaha menghabiskan serealku walaupun sedang tidak ada nafsu makan. Beberapa potongan buah pun aku lahap sedikit demi sedikit. Papa masih dengan sabar menemaniku. Potongan buah yang masih tersisa olehku pun lalu dihabiskan papa.

"Apa Dedek ingin mencoba menuliskannya?"

Papa menawarkan solusi untuk menuntaskan rasa kecewaku. Menulis adalah salah satu cara yang katanya manjur untuk menuangkan isi hati. Banyak rasa yang kadang sulit diucapkan dengan lisan. Maka lewat tulisan ungkapan perasaaan itu dapat disampaikan. Aku berminat untuk mencobanya.

Papa mengambilkan aku sebuah buku tulis yang masih baru dan sebuah pulpen. Ada gambar sebuah bintang besar di sampul depan buku itu. Cahaya lampu ruangan diterangkan supaya aku dapat menulis dengan baik. Papa duduk di sampingku dan berkata, "Tulislah apa yang Dedek rasakan! Tuliskanlah sejelas-jelasnya!"

Aku menerawang sebentar ke langit-langit. Aku memejamkan mata sejenak dan menghela nafas panjang. Pulpen yang aku pegang mulai menari di atas kertas putih yang bersih. Aku menumpahkan segala perasaanku lewat abjad-abjad yang terangkai menjadi kata kemudian kalimat. Aku begitu lancar melakukannya, seolah seluruh beban di pundakku terlepas.

Papa memperhatikanku dengan seksama. Matanya seolah takjub dengan tulisan tanganku yang rapi dan enak dibaca. Sekali-kali papa tersenyum tipis walaupun tanpa kumis. Entah apa yang ada dalam pikirannya? Aku tidak peduli karena terlalu sibuk untuk menulis.

Satu jam telah berlalu, aku pun meletakkan pulpenku. Pertanda bahwa aku sudah selesai menuliskan isi hatiku. Ada perasaan yang begitu lega. Beban kecewa yang menyiksaku dari tadi sudah lenyap menjelma menjadi sebuah karya. Sekarang aku bisa tersenyum kembali.

Aku memandang wajah papa yang sudah tertidur. Wajah yang akan selalu kuingat. Wajah seorang yang berjasa dalam hidupku. Papa yang begitu menyayangiku. Aku berjanji untuk tidak mengecewakannya lagi dengan menemukan bakatku yang dapat membanggakannya.

Perlahan aku bangunkan papa,"Pa, tidurnya di kamar aja! Selamat malam, Papa tersayang!"

Besok hari matahari terbit dengan cerahnya. Ayam jantan berkokok dengan lantangnya. Burung-burung berkicau dengan riang gembira. Angin semilir bertiup halus menyentuh dedaunan hingga bergoyang. Semua menyambut datangnya hari baru yang penuh suka cita.

Papa bersiap ke tempat kerja seperti biasanya. Aku pun sudah siap berangkat ke sekolah. Papa dan aku menyantap nasi goreng belacan dan telur mata sapi sebagai sarapan kami bersama. Papa melihat raut wajahku sudah berbeda jauh dari kemarin. Anak kesayangannya sudah ceria kembali.

"Dek, bolehkah papa membaca tulisanmu semalam?"

Aku pun mengiyakan dan menyerahkan buku tulis "Bintang"ku kepada papa. Papa menerimanya dengan tersenyum. Dibacanya beberapa kalimat dan mata papa tiba-tiba jadi melotot. Apa maksudnya, ya? Apa ada yang salah dengan tulisanku?

"Dek, tulisanmu sangat bagus, lho! Dedek punya bakat menulis!"

Papa memuji hasil tulisanku semalam. Tapi aku menanggapinya biasa-biasa saja karena menurutku tidak ada yang istimewa. Aku hanya menuliskan perasaan kecewaku dan uneg-unegku saja kok. Tidak lebih dari itu!

"Masa sih, Pa?"

"Iya! Maukah Dedek meneruskannya lagi? Atau Dedek menuliskan hal yang lainnya lagi?" pinta papa dengan mata berbinar-binar.

Papa memintaku untuk menulis lagi. Aku tidak keberatan karena menurutku ada baiknya aku terus menulis. Toh dengan menuangkan isi hatiku lewat tulisan, aku merasa lebih bahagia. Aku pun menyetujui permintaan papa. Senyum papa pagi itu semakin lebar.

"Sebaiknya Dedek menuliskannya di komputer jinjing supaya lebih mudah disunting nantinya, ya!" saran papa.

"Iya, Pa!"

Aku mengangguk dan berangkat ke sekolah. Sepanjang jalan otakku berputar dan memikirkan apa yang akan aku tuliskan lagi. Begitu banyak ide dan gagasan yang aku dapati rupanya. Aku mencatatnya sementara di buku catatanku supaya tidak sampai lupa. Aku pun tidak sabar untuk pulang sekolah dan mulai mengetiknya.

"Aku ingin menulis tentang papa ah! Pasti papa akan senang sekali!" gumamku dalam hati.

Aku lalu menulis tentang keunikan papaku. Ia pintar memasak aneka makanan yang enak. Ia menyukai warna oren. Ia juga seorang yang sabar dan penyayang.

Sebulan telah berlalu, tanpa terasa tulisanku di komputer jinjing sudah cukup banyak. Ada bermacam-macam cerita dan kisah di dalamnya. Entah itu pengalamanku sendiri atau hasil dari imajinasiku belaka. Semua aku tuangkan dengan kalimat-kalimat sederhana yang mudah dipahami orang kebanyakan. Tapi belum ada satu orang pun yang sempat membaca karyaku.

Aku ingin papa menjadi orang pertama yang membaca tulisanku. Aku menunggunya pulang dari kerja sambil terus mengetik di papan tuts komputer. Aku sedang mengetik bagian terakhir sebuah cerpen tentang persahabatan. Kisah yang aku ambil dari pertemananku dengan sahabat karibku, Raisya.

Papa tiba di rumah dan langsung aku minta untuk membacanya. Raut wajah papa begitu serius menikmati baris demi baris karyaku. Aku menantikan komentar papa yang jujur.

"Ini bagus sekali, Dek! Ayo kita terbitkan jadi buku Kumpulan Cerpen!"

Pujian selangit yang aku dengar papa membuat semangatku menggebu-gebu. Siapa yang tidak senang mendengar karyanya akan diterbitkan menjadi sebuah buku?

Setelah melalui berbagai tahapan dan memakan waktu bulanan, akhirnya buku pertamaku terbit. Buku yang berisikan aneka kisah anak remaja karyaku ternyata cukup tebal. Ada puluhan cerita pendek dengan berbagai genre. Ada cerita lucu, sedih, menegangkan, kehilangan, ataupun petualangan.

Bertepatan dengan sebuah acara di sekolah, buku karyaku diluncurkan dan mendapat penghargaan. Ibu Kepala Sekolah menyampaikan rasa bangganya atas prestasi anak didiknya. Beliau juga mendorong agar teman-temanku dapat mengikuti jejakku dengan rajin menulis. Wali kelasku juga mengucapkan selamat dan berpesan agar aku mengasah terus bakatku.

"Saya bersyukur dan senang ada siswi kita yang mampu menulis dengan baik. Ayo naik ke sini, Nak!"

Ibu Kepala Sekolah memintaku untuk naik ke atas panggung. Begini rupanya rasanya berdiri di atas sebuah panggung dan dilihat orang banyak. Ada perasaan senang bercampur gugup.

Papa ikut hadir sebagai undangan di acara itu. Papa dipersilakan juga maju ke panggung  dan berfoto bersama. Papa sangat bahagia dan tidak henti-hentinya tersenyum gembira. Putri cantiknya telah membuatnya bangga dengan bakat yang berguna bagi nusa dan bangsa.

"Selamat ya, Pak! Tolong didorong terus agar Elgrass tetap bersemangat berkarya!" pesan Ibu Kepala Sekolah kepada papa saat selesai berfoto bersama. "Oh,ya! Bulan depan ada lomba menulis cerita khusus untuk pelajar. Elgrass ikut ya mewakili sekolah kita!"

Papa menoleh ke arahku dan tersenyum.

"Baik, Bu! Aku sudah tidak sabar untuk ikut lomba lagi" kataku dengan penuh semangat.

"Dek, jika kamu ingin melihat dunia, maka membacalah! Jika Dedek ingin dilihat dunia, maka menulislah!"

Pesan papa yang akan selalu kuingat. Aku menemukan bakatku sekarang. Bakat yang tidak kusadari sebelumnya. Bakat menulis ini tidak akan aku sia-siakan. Kelebihan ini adalah anugerah dari Tuhan yang Maha Kuasa.

Kami pun bergandengan tangan pulang ke rumah. Kulihat buku "Bintang" itu tergeletak di meja kamarku. Aku meraih dan memeluknya dalam haru. Aku bagai mendekap "Bintang" dalam hidupku, papaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun