Entah sudah berapa lama kami duduk di depan televisi itu. Perut rasanya juga sudah lapar. Tapi aku sedang tidak berselera makan. Aku masih kecewa pada diriku. Aku masih merenungi, sebenarnya bakat apa yang ada dalam diriku ini?
Papa membuatkanku semangkok sereal dengan menambahkan potongan buah-buahan segar. Ada pepaya, melon, dan apel segar. Papa tentu tidak ingin putrinya kelaparan dan menjadi makin kurus.
"Makanlah sedikit, Dek!"
Papa meletakkannya di meja kecil di depanku seraya berkata dengan lembut. Aku berusaha menghabiskan serealku walaupun sedang tidak ada nafsu makan. Beberapa potongan buah pun aku lahap sedikit demi sedikit. Papa masih dengan sabar menemaniku. Potongan buah yang masih tersisa olehku pun lalu dihabiskan papa.
"Apa Dedek ingin mencoba menuliskannya?"
Papa menawarkan solusi untuk menuntaskan rasa kecewaku. Menulis adalah salah satu cara yang katanya manjur untuk menuangkan isi hati. Banyak rasa yang kadang sulit diucapkan dengan lisan. Maka lewat tulisan ungkapan perasaaan itu dapat disampaikan. Aku berminat untuk mencobanya.
Papa mengambilkan aku sebuah buku tulis yang masih baru dan sebuah pulpen. Ada gambar sebuah bintang besar di sampul depan buku itu. Cahaya lampu ruangan diterangkan supaya aku dapat menulis dengan baik. Papa duduk di sampingku dan berkata, "Tulislah apa yang Dedek rasakan! Tuliskanlah sejelas-jelasnya!"
Aku menerawang sebentar ke langit-langit. Aku memejamkan mata sejenak dan menghela nafas panjang. Pulpen yang aku pegang mulai menari di atas kertas putih yang bersih. Aku menumpahkan segala perasaanku lewat abjad-abjad yang terangkai menjadi kata kemudian kalimat. Aku begitu lancar melakukannya, seolah seluruh beban di pundakku terlepas.
Papa memperhatikanku dengan seksama. Matanya seolah takjub dengan tulisan tanganku yang rapi dan enak dibaca. Sekali-kali papa tersenyum tipis walaupun tanpa kumis. Entah apa yang ada dalam pikirannya? Aku tidak peduli karena terlalu sibuk untuk menulis.
Satu jam telah berlalu, aku pun meletakkan pulpenku. Pertanda bahwa aku sudah selesai menuliskan isi hatiku. Ada perasaan yang begitu lega. Beban kecewa yang menyiksaku dari tadi sudah lenyap menjelma menjadi sebuah karya. Sekarang aku bisa tersenyum kembali.
Aku memandang wajah papa yang sudah tertidur. Wajah yang akan selalu kuingat. Wajah seorang yang berjasa dalam hidupku. Papa yang begitu menyayangiku. Aku berjanji untuk tidak mengecewakannya lagi dengan menemukan bakatku yang dapat membanggakannya.