Aku ingat. Dimas kan tau kalo aku kesini. Pasti dia yang kasih tau Ibu soal ini. Dia emang orang yang ngga bisa dipercaya.
"Dimas ya yang kasih tau Ibu?" tanyaku lagi, dan lagi lagi Ibu tidak menjawab pertanyaanku.
"Padahal Ibu ngga usah jemput aku, aku bisa pulang sendiri kok." Ucapku.
"Kamu ngga mau Ibu jemput?" Tanya Ibu. Akhirnya Ibu mengeluarkan suaranya.
"Bukan gitu Bu. Ibu tuh datang di waktu yang ngga tepat. Tadi, waktu Ibu datang, sepupunya mentari tuh lagi nyeritain kisah hidup dia waktu dia dapet beasiswa buat kuliah di Barcelona." Jawabku.
       Akhirnya kami sampai di depan rumah. Pak Jaka membukakan gerbang depan.
"Sepupunya yang fotografer itu?" Tanya Ibu padaku. Ekspresinya benar-benar datar. 'Mungkin Ibu cape' pikirku.
"Iya. Dia tuh keren banget. Dia namanya Langit. Aku pengen deh jadi fotografer kaya dia, kaya ayah." Jelasku dengan terus tersenyum bahagia.
"WIDYA!!" teriak ibu. Aku membalikkan wajahku ke arahnya. Tiba-tiba Ibu menamparku cukup keras.
       Ini pertamakalinya bagiku. Pertama kalinya dalam hidupku, Ibu menamparku. Aku memegang pipi kananku yang memerah terkena tamparan. Tak sadar air mataku mengalir deras. Segera kubuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumah.
       Dimas memanggilku, ia menanyakan keadaanku. Aku sama sekali tak menghiraukannya. Aku terus berlari menuju kamarku. Segera ku kunci pintu kamar dan membaringkan badan sambil menangis.