Mohon tunggu...
Tias Anatasya
Tias Anatasya Mohon Tunggu... Lainnya - always be kind

menyiapkan diri menjadi Masa Depan Dunia

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Aku 17 Tahun: Broken Home

16 Februari 2021   04:58 Diperbarui: 16 Februari 2021   06:12 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

H-200 UTBK

              Suara alarm berbunyi dengan keras. 'Kriiingg kriiingg'

 "Widi!! Bangun! Ini Ibu udah bikinin sarapan buat kamu." Teriak Ibu sambil mengetuk pintu kamarku.

"Iya Bu, bentar Widi ke air dulu." Jawabku.

              Bagiku, Ibu adalah manusia terbaik di dunia. Terlebih lagi karena aku sudah tidak punya ayah. Ayahku meninggal ketika aku duduk di bangku kelas 2 SMP. Saat itu, selama hampir 1 bulan aku selalu bersedih dan tidak ada hasrat untuk belajar. Tapi berkat Mentari, sahabatku, aku akhirnya bisa keluar dari lingkaran hitam yang mengelilingiku itu.  

              Ibuku menjadi orang yang paling aku sayangi di dunia. Tapi terkadang di situasi tertentu, ia bisa menjadi orang yang paling aku benci.

              Sejak SD sampai saat ini, aku selalu menjadi juara pertama di kelas. Apalagi di mata pelajaran Matematika, aku bahkan pernah menjuarai beberapa perlombaan matematika tingkat provinsi juga nasional. Tapi sebenarnya, jika kamu berkata atau bertanya kepadaku 'wah kayanya kamu suka banget matematika ya?' aku pasti akan menjawab dengan lantang TIDAK. Bahkan sebaliknya, aku sangat membenci Matematika.

***

"Wid, Ibu denger dari Pak Sam. Katanya bentar lagi bakalan diadain olimpiade matematika, kamu harus ikut ya!" Kata Ibu dengan bahasa yang sangat ramah.

"Tapi Bu, di waktu yang sama juga ada lomba Fotografi. Aku udah daftar lomba itu kemarin." Ucapku.

              Ibu yang ketika itu menunjukkan ekspresi yang ramah kepadaku, seketika berubah 360 derajat menjadi sangat marah.

"Ibu udah pernah bilang berkali-kali ya ke kamu. Ibu gasuka kamu jadi fotografer kaya gitu. Ibu cuman pengen kamu jadi dokter, dan itu yang terbaik buat kamu!" ucap Ibu dengan nada membentak.

"Tapi Bu, aku-" terpotong.

"Syukur-syukur ya kamu dapet fasilitas sebanyak dan selengkap ini dari Ibu. Sekarang ibu cuman minta kamu bisa banggain Ibu di olimpiade matematika tahun ini, kalo ngga mau ikut, semua fasilitas yang Ibu kasih ke kamu bakal Ibu cabut." Kata ibuku dengan nada tegas.

"Iya Bu" jawabku sembari menundukkan kepala. Aku tak tau harus berbuat apa.

***

H-179 UTBK

 

              Aku menutup pintu kamar mandi perlahan, dan segera kembali ke meja belajar. Suntuk sekali aku saat itu. 'Sebenarnya, jika Ibu tau kalo aku berhenti belajar, ibu pasti akan marah. Tapi, berhenti 5 menit saja seharusnya tak masalah.'

              Segera ku ambil handphone yang terletak di laci lemari. Lalu kubuka aplikasi instagram. Ini adalah satu satunya media sosial yang kupunya. Di instagram, follower dan following-ku 0. Benar-benar tidak ada. Karena tidak ada siapapun yang tau jika aku memiliki sebuah akun instagram.

              Dalam waktu 5 menit ini, aku hanya membuka ruang jelajah. Melihat postingan-postingan lucu, sedih juga menginspirasi. Saat aku sedang asik scrolling-scrolling postingan-postingan tersebut, aku melihat 1 postingan yang membuatku merasakan sesuatu yang berbeda. Sebenarnya, itu hanyalah sebuah lukisan sederhana, tapi tema dalam lukisan itulah yang membuatku merasa sedih juga haru. Di dalam lukisan tersebut, terdapat seorang anak perempuan yang sedang digendong oleh seorang lelaki tinggi yang menggambarkan seorang ayah, dan pipinya sedang dicium manis oleh seorang wanita yang merupakan seorang Ibu. 

              Aku terus memandangi lukisan itu. Tak sadar air mataku terjatuh.

"Widi sayang, Ibu boleh masuk?" Tanya Ibuku dari depan pintu kamar.

              Aku terkejut mendengar suara Ibu. Segera aku menyimpan kembali handphone di dalam lemari. Tidak lupa aku menyempatkan untuk mengikuti akun tadi, akun yang bernama '@extraordinary.me'. 

"Iya Bu." Jawabku sembari membilas air mata yang tadi terjatuh ke atas pipiku.

              Pintu kamarku terbuka. Terlihat Ibu yang membawa segelas susu dan sepiring cookies kesukaanku.

"Ini Ibu bawain segelas Susu sama kue kesukaan kamu. Biar kamu lebih semangat belajarnya." Ucap Ibu sembari menyimpan susu dan kue di atas meja yang tertata rapi di samping meja belajarku.

              Pandanganku terus mengarah ke arah buku yang kupegang, aku tak ingin Ibu melihat wajahku yang memerah bekas menangis.

"Wid, kemarin Ibu udah nemu guru les yang pas buat kamu. Namanya Dimas. Dia lulusan Harvard University. Ntar sore dia bakalan kesini buat ketemu. Kamu jangan kemana-mana dan jangan lupa pakai baju yang rapih dan sopan." Kata Ibuku tanpa sedikitpun menyinggung soal kenapa aku tidak memperhatikannya sama sekali. Setelah itu, Ibu meninggalkan kamarku.

              Dimas, dia adalah orang yang akan menjadi guru lesku yang ke 15 di bulan ini. Aku selalu mengganti guru les hampir setiap tiga hari sekali, dan itu membuat Ibu ku frustasi. Mereka semua mantan guru lesku, katanya tidak kuat menghadapi aku yang bersikap terlalu dingin.

Flashback~

              Saat itu, aku sedang mengerjakan paket soal matematika yang guru lesku berikan kepadaku.

              Karena itulah, Ibu selalu menyuruhku untuk menjadi orang yang ramah. Tapi, setiap aku mencoba untuk melakukannya, aku merasa itu bukan diriku. Seharusnya, merekalah yang harus bisa menyesuaikan dirinya denganku, bukan malah aku.

***

              Sore itu hujan turun lumayan deras. Aku duduk di atas sofa sambil membaca sebuah buku berjudul 'How to become A Fotografer'. Itu adalah sebuah buku pemberian Fajar, kakak sepupuku yang sedang berkuliah di Seoul National University, Korea Selatan. Dia mendapatkan beasiswa penuh untuk berkuliah disana. Nama beasiswanya adalah KGSP 'Korean Government Scholarship Program'.

              Suara petir dari luar yang lumayan keras mengagetkanku. Terdengar suara langkah kaki dari arah dapur, itu pasti Ibu. Segera aku menyimpan buku yang tadi kubaca di pojokan sofa, lalu kuhalangi buku itu oleh tubuhku.

"Aduh, di luar hujan. Kitakan punya janji sama Dimas. Dia bakal datang ngga ya?" Tanya ibuku sambil duduk di atas sofa.

"Mana mungkin dia mau datang Bu? Orang di luar hujan angin kaya begini." Jawabku sambil menyalakan TV.

"Ibu telpon dia aja kali ya? Nyuruh dia buat dateng besok aja." Ucap Ibuku sambil mengeluarkan handophonenya dari saku celana kanannya.

"Terserah." Jawabku

              'Tuttttttt... tuttttt... tuttttt...'

              Suara dari handphone Ibu.

"Kok ngga diangkat ya?" Tanya Ibuku. Aku hanya diam dan tak menanggapi apapun.

              Terdengar suara bel rumah yang berbunyi. Ibu segera berdiri dan kemudian berjalan menuju ke arah pintu depan.

"Selamat sore Bu. Saya Dimas. Maaf saya ngga angkat telpon dari Ibu, soalnya saya udah sampe depan."

"Oh Dimas. Iya gapapa. Silahkan masuk." Ucap Ibuku.

              Seorang pria yang memiliki tinggi sekitar 178 cm itu memasuki rumah. Aku terus menonton TV tanpa menghiraukan dia yang berjalan semakin dekat ke arahku.

"Ibu..?" Tanya lelaki itu. Sepertinya dia tidak tau Nama Ibuku.

"Panggil aja Tante." Ucap Ibuku sembari tersenyum ramah, dibalas senyuman manis dari lelaki itu.

              Terlihat dia merapihkan rambutnya yang berantakan karena kebasahan terkena air hujan.

"Aduh! Kamu jadi kebasahan gini. Wid, tolong ambilin handuk kering dong di balkon!" ucap ibu.

              Tanpa mengucap sepatah katapun, aku segera pergi meninggalkan ruang tamu untuk mengambil handuk. Setelah kuberikan handuk kering tersebut kepada lelaki itu, aku kembali duduk di atas sofa. Segera dia pun mengeringkan rambut basahnya.

"Dimas, kenalin ini anak Tante. Namanya Widya Ayu. Panggil aja dia widi." Kata Ibuku. Sembari menyenggol bahu kiriku dengan bahu kanannya, mengisyaratkan bahwa aku harus berjabat tangan dengannya.

              Aku berpura-pura tidak mengerti dengan apa yang dilakukan oleh Ibu kepadaku. Aku diam saja sambil tetap memandang ke depan. Ibu mulai terlihat kesal melihatku.

              Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya ke arahku. Karena aku tetap diam saja, dia menarik tangan kananku dengan tangan kananya, kami pun melakukan jabat tangan. Ini pertama kalinya aku melakukan jabat tangan dengan calon guru lesku. Biasanya, tidak ada yang berani melakukannya. Mereka semua sepertinya takut padaku karena sikap dinginku ini.

"Perkenalkan, nama saya Dimas Saka Prahastowo. Kamu bisa panggil saya Dimas" Ucap lelaki itu sambil menunjukkan senyum manisnya.  

"Kamu udah tau kan aku siapa." Ucapku sinis.

              Melihat aku memperlakukan Dimas dengan tidak sopan. Ibu tidak tinggal diam.

"Widi!!" kata Ibu sembari sedikit memelototiku. Aku hanya diam.

"Maaf ya Dimas. Widi tuh sikapnya emang gini, dan ini tuh berawal sejak ayahnya men-"ucap Ibu, terpotong olehku.

"Ibu!" ucapku dengan nada tinggi.

              Obrolan berhenti sejenak. Keadaan menjadi sedikit canggung.

"Gapapa kok Tante, dia kaya gitu juga mungkin karena kami baru kenal." Jawab Dimas, dengan sedikit canggung.

***

H-80 UTBK

 "Halo?" ucap seseorang dari telepon.

"Halo, tika ini aku Mentari. Aku ganti nomor telpon lagi hehe." Ucapku kepada Tika sahabatku.

"Dasar buronan!! Udah hampir ke 5 kalinya kamu ganti nomor. Kalo setelah ini kamu ganti nomor lagi, aku gabakal save nomor kamu." Teriak Tika dari telepon.

"Jangan gitu dong, hehe." Kataku dengan sedikit tertawa.

"Eh Syabib, kebetulan banget kamu nelpon. Aku boleh main ke rumah kamu ga? Aku lagi pengen ngelukisnih. Lagi dapet inspirasi." Tanya Tika, dia memotong pembicaraan.

"Boleh. Sini aja ke rumah." Kata ku.

"Kamu ke bawah dong sekarang!" Minta Tika padaku.

"Ngapain??" tanyaku.

"Aku udah di depan rumah kamu Hahahaha" Jawab Tika sambil tertawa.

***

H-179 UTBK

              Sudah malam, tapi Dimas belum juga pulang. Ibu tak henti-hentinya mengobrol dengannya. Aku yang ada diantara mereka berdua hanya bisa terdiam sambil memperhatikan jarum detik di jam yang tertempel di dinding.

"Dim, kalo Tante boleh tau, rumah kamu dimana ya?" Tanya Ibu.

"Kebetulan, aku masih nge-kost Tan di Bandung." Jawab Dimas.

"Oh jauh juga ya dari sini." Ucap Ibu. Dimas hanya menyeringai.

"Sekarang kamu jadi dosen di Universitas **** Kan? Itu kan jauh banget dari kostan kamu." Tanya Ibu.

"Iya Tan. Lumayan jauh sih. Tapi gapapa. Soalnya, kalo nge-kost di deket deket kampus, harganya mahal banget." Jawab Dimas.

"Tante punya ide. Gimana kalo kamu tinggal disini aja. Di belakang ada kamar kosong. Sebenernya itu kamar keponakan Tante, tapi sekarang dia lagi di Korea buat kuliah. Kamu bisa tinggal disana." Ucap Ibu dengan bersemangat.

              Tidak biasanya Ibu peduli terhadap orang lain sampai seperti ini. Fajar saja karena ingin tinggal di rumah ini, ia sampai mohon-mohon ke Ibu selama hampir satu bulan, hingga akhirnya Ibu mengizinkannya untuk tinggal. Tapi dia. Malah Ibu langsung yang memintanya.

"Tapi Tan-"terpotong

"Buat harganya, samain aja kaya harga kost-an kamu di Bandung, rumah tante kan dekat tuh ke kampus. Jadi, gaada alasan buat nolak tawaran Tante kan?" ucap Ibu dengan seenaknya. Ibu tuh sama sepertiku. Jika ingin sesuatu, harus selalu terpenuhi.

              Terlihat dengan jelas di wajahnya, bahwa Dimas benar-benar terkejut mendengar perkataan Ibu. Tanpa sadar, aku tertawa.

"Loh Wid, kamu ketawa? Udah lama banget loh Ibu gak pernah lihat kamu ketawa." Ucap Ibu sambil sedikit memperlihatkan senyumannya. Segera aku mengembalikan wajah datarku. Dimas yang sedari tadi memperhatikanku pun ikut tersenyum manis.

              Semenjak ayah meninggal, Ibu tak pernah lagi berbagi canda dan tawa denganku. Semua senyuman yang Ibu berikan padaku adalah kepalsuan. Tapi hari ini, aku kembali melihatnya. Melihat senyuman dan tawaan yang sering Ibu tebarkan padaku dulu. Rasanya, seperti tanaman indah yang dulu pernah mati, ada harapan untuk tumbuh kembali.

***

H-80 UTBK

 

"Aku masih ngga nyangka Bib, kalo follower aku bisa tembus sampe 500k!!" teriak Tika.

"Aku pernah bilang kan ke kamu, kalo kamu tuh bakalan sukses karena bakat lukis kamu."

"Coba aku pengen lihat!" kataku sambil menarik hp Tika dari tangannya.

              Saat aku sedang melihat-lihat, swipe sana swipe sini. Tiba-tiba ada sebuah direct message dari akun yang tidak dikenal.

"Ada DM nih." ucapku sambil menyodorkan handphone kepada Tika. Terlihat sebuah DM dari akun @masadepan.dunia

"Siapa tuh? Keliatannya banyak pesan yang ia kirim sebelumnya." Tanyaku penasaran.

"Dia kayanya penggemar setiaku deh. Hampir setiap aku bikin snapgram, dia selalu bales. Entah dia gabut atau bagaimana." Jawab Tika padaku.

              Aku kembali mengambil handphone milik Tika. Karena penasaran, aku sengaja stalking akun @masadepan.dunia tersebut.

"Akun ini ngga ada Photo Profil nya, postingan juga gaada. Dan yang paling aneh, dia cuman mengikuti 1 akun, itu kamu." Ucapku.

"Iya aku tau. Kapan-kapan aku bales deh DM dari dia. Aku gamau kehilangan penggemar no.1 ku, cuman gara-gara aku ngga bales pesan darinya." Ucap Tika.

              Obrolan berhenti sejenak. Terdengar suara air mancur dari kolam ikan yang berada tepat di depan kursi yang kami duduki.

"Btw, katanya kamu mau ngelukis. Mau ngelukis apaan emng?" tanyaku

"Belum kepikiran sih sebenernya. Cuman, aku punya ide bagus. Gimana kalo aku buat lukisan dengan tema yang di request sama para follower aku aja? Jadi, mereka boleh curhat atau nyeritain kisah hidupnya, kisah cintanya juga boleh. Dan nanti, cerita yang terbaik dan yang paling aku suka bakal aku lukis. Gimana? Cerdas banget kan aku ni?" ucap Tika sambil membanggakan dirinya sendiri.

"Iya, kamu emang paling cerdas." Ucapku sambil tersenyum dengan penuh keterpaksaan wkwk.

***

H-170 UTBK

 

              Setelah aku menyelesaikan paket-paket soal Matematika yang diberikan Dimas. Aku segera pergi menuju kamar, meninggalkan Dimas yang sedang membereskan alat tulis di ruang tamu.

              Aku mengambil handphone yang terletak di dalam laci lemariku. Menyalakannya dan segera menelpon Mentari.

"Halo?" suara mentari dari telpon.

"Mentari, aku udah beres les Nih. Hari ini jadi kan?" tanyaku dengan penuh semangat.

"Iya jadi." Jawabnya santai.

"Ahhh seneng banget." Ucapku

              Hanya dengan Mentari lah aku bisa sebahagia ini. Untuk saat ini, satu-satunya alasan mengapa aku bisa tersenyum adalah Mentari, bukanlah Ibu.

              Hari ini, aku akan pergi ke rumah Mentari. Disana akan datang sepupunya yang baru pulang dari Barcelona. Dia adalah seorang fotografer tingkat dunia. Siapa lagi kalo bukan Langit Malik Ibrahim.

              Sudah hampir 1 minggu Ibu tidak ada di rumah. Dia pergi ke Sydney untuk melakukan penelitian. Di rumah hanya ada aku, Pak Jaka (tukang kebun), Mba Darmi (ART), dan si orang baru, siapa lagi kalo bukan Dimas. Itulah sebabnya aku bisa dengan mudah pergi keluar dengan Mentari.    

"Rapih banget perasaan, mau kemana Wid?" Tanya Dimas.

"Bukan urusan kamu." Jawabku sinis.

"Aku anter ya?" Tanya Dimas sambil menghalangi jalanku.

"Gausah."

"Aku janji kok, gaakan ngadu ke Ibu." ucapnya sambil memperlihatkan jari kelingkingnya.

"Yaudah Ayo!" ucapku datar.

 

***

H-77 UTBK

              Aku sedang bersama Tika saat ini. Mamah menyuruhku untuk mengundang Tika dan Widya untuk datang ke rumah. Hari ini pembukaan restoran Mie Ayam dan Bakso milik keluargaku. Jadi, Mamah berniat untuk mentraktir mereka berdua.

"Tante Bulan!!" teriak Tika. Dia berlari menghampiri Mamah, lalu memeluknya. Mamah memeluk balik Tika dan mengeluarkan senyumannya. Tika memang selalu heboh dalam situasi apapun.

"Teh, Widya mana? Kok belum dateng?" Tanya mamah kepadaku.

"Eh iya Syabib, kamu udah hubungi dia kan? Jangan bilang kalo kamu kelupaan" ucap Tika, tidak memberikan kesempatan untukku menjawab.

"Gatau Mam, tapi teteh udah hubungi dia kok. Mungkin bentar lagi dia dateng." Jawabku.

"Tapi dia udah bilang mau dateng?" Tanya mamahku lagi.

"Belum sih. Cuman, Widya pasti dateng deh. Soalnya Kan ada si Langit. Widya Kan nge-fans banget sama tuh anak. Ya ngga Lang?" jawabku sambil mengajak berbicara Langit yang sedari tadi sedang duduk sambil asik memainkan game di dalam handphone nya.

"Hah?! Mentari? Lu nanya ke Gua?" Tanya Langit sambil terus fokus ke ponselnya.

"Kagak. Gua ngajak ngomong pintu, bukan nanya ke Elu" jawabku. Tika hanya tertawa geli.

"Oh, kalo gitu Mamah masuk dulu ya. Mau siap-siap. Jangan lupa!! jam 8 acaranya dimulai!" ucap Mamah.

"Siap Tan!" jawab Tika. Sedangkan aku hanya mengangguk tanda mengiyakan.

              Mamah berjalan masuk ke dalam rumah. Saat berjalan tepat di samping Langit, mamah menarik handphone milik Langit.

"Main hp mulu. Sana siap-siap!!" ucap Mamah, sedikit membentak.

"Tapi tan. Tantee!! Balikin hp langit. Itu game nya belum selesai." Teriak Langit sedikit meringis.

"Ga!" ucap Mamah. Tanpa menoleh sedikitpun. Aku dan Tika tertawa terbahak-bahak.

              Aku dan Tika memasuki ruang ganti. Disana sudah ada 2 buah baju yang ibu siapkan untuk kami berdua. Kupakai baju berwarna hitam dengan tulisan 'Kedai Luar Angkasa' tersebut.

              Kedai Luar Angkasa. Nama tersebut berasal dari ideku. Aku sangat menyukai hal hal yang berbau luar angkasa. Bahkan sejak kecil, hampir semua mainan yang kupunya bertemakan astronomi. Sampai-sampai, Barbie pun harus mengenakan pakaian astronot wkwk.

"Bib, si Widi belum dateng juga?" Tanya Tika sedikit khawatir karena 15 menit lagi acara akan segera dimulai.

"Belum" ucapku sembari mengambil telpon yang tergelatak di atas meja rias.

              Aku segera menghubungi Widya lagi. Terlihat Widya online. Tapi, selalu tak Ia angkat.

"Coba gini aja." Ucap Tika sambil mengambil handphone yang kupegang dan segera menghampiri Langit yang sedang duduk bersandar sambil menggunakan kacamata hitam andalannya.

"Bang! Bang Langit!!!" Teriak Tika. Aku hanya diam memperhatikan.

"Loh? Si Langit kenapa? Bib, sepupu kamu kenapa? Kok ngga jawab-jawab? " Tanya Tika padaku.

              Aku tak menjawab seribu pertanyaan dari Tika. Segera kuangkat kacamata hitam yang dipake langit.

"LANG!! BU GURU DATANG!!" Teriakku di depan telinga Langit.

"Good Morning Teacher." Teriak langit sembari berdiri dari sofa yang ia duduki sebelumnya.

              Aku dan Tika tertawa terbahak-bahak.

"Kebiasaan lu Mentari. Gua Kan udah pernah bilang sama Elu. Kalo Lu mau bangunin orang cakep kaya gua---"Terpotong olehku. Langit hanya mencubit pipiku.

"Lang, coba lu bikin video pendek. Suruh si Widya buat dateng!" perintahku.

"Siap sepupu!" ucap Langit sembari menghormat padaku.

              Terlihat Langit merekam dirinya sendiri. Ia tersenyum juga tertawa sendiri.

"So manis banget Lu lang." ucapku

"Gua emang manis. Nih video yang gua kirim udah temen Lu liat."

***

H-170 UTBK

              Suara langkah kaki mendekatiku. Awalnya kukira itu Tante Bulan, ternyata itu Ibu.

"Widya!!" ucap Ibu sedikit menggeretak.

"Ibu? Ibu kok ada disini? Bukannya Ibu masih ada waktu 2 hari lagi ya di Sydney?" Tanyaku heran.

              Semua orang yang berada di ruangan itu melihatku. Termasuk Tante Bulan yang mulai berjalan menghampiri aku dan Ibu.

"Eh, Jeng Mora." Ucap Tante Bulan kepada Ibu. Mereka berdua pun saling bercipika cipiki.

"Jeng, saya mau Tanya. Di rumah jeng ada acara apa ya?" Tanya Ibuku.

"Ini, ponakan saya si Langit, baru pulang dari Barcelona. Sebelumnya, disana dia udah sekolah buat jadi fotografer. Aku sebenernya ngga terlalu ngerti sih jeng soal beginian, tapi yang jelas sepulang dia dari luar negeri, katanya dia pengen bikin pameran fotografi kecil-kecilan gitu di rumah." jawab tante Bulan.

"Eh ngomong-ngomong jeng kesini ada apa ya?" Tanya Tante Bulan.

"Saya mau jemput Widi. Saya kan baru pulang dinas ke Sydney, jadi saya mau ketemu anak saya. Biasalah ya jeng, Ibu itu ngga ketemu anaknya sebentar aja bawaannya kangen mulu." Jawab ibu dengan terus tersenyum. Tante Bulan membalas senyumannya.

"Oh silahkan silahkan Jeng. Kebetulan, acaranya juga udah mau selesai. Tapi jeng ngga akan ngopi-ngopi dulu gitu?" ucap Tante Bulan dengan penuh keramahan.

"Nggak jeng makasih. Saya pulang dulu ya."

"Iya jeng, hati-hati di jalan."

              Tak kusangka. Ibu bisa tau secepat ini. Awalnya, aku berniat untuk menginap di rumah Mentari bersama Tika, setidaknya untuk 1 malam saja. Tapi, belum juga kuhabiskan waktu di pameran fotografi ini, Ibu sudah menjemputku.

"Ibu kok bisa tau kalo aku ada disini?" tanyaku pada Ibu di dalam mobil. Ibu tidak menjawab. Dia terus memandang ke jalanan dan fokus menyetir.

              Aku ingat. Dimas kan tau kalo aku kesini. Pasti dia yang kasih tau Ibu soal ini. Dia emang orang yang ngga bisa dipercaya.

"Dimas ya yang kasih tau Ibu?" tanyaku lagi, dan lagi lagi Ibu tidak menjawab pertanyaanku.

"Padahal Ibu ngga usah jemput aku, aku bisa pulang sendiri kok." Ucapku.

"Kamu ngga mau Ibu jemput?" Tanya Ibu. Akhirnya Ibu mengeluarkan suaranya.

"Bukan gitu Bu. Ibu tuh datang di waktu yang ngga tepat. Tadi, waktu Ibu datang, sepupunya mentari tuh lagi nyeritain kisah hidup dia waktu dia dapet beasiswa buat kuliah di Barcelona." Jawabku.

              Akhirnya kami sampai di depan rumah. Pak Jaka membukakan gerbang depan.

"Sepupunya yang fotografer itu?" Tanya Ibu padaku. Ekspresinya benar-benar datar. 'Mungkin Ibu cape' pikirku.

"Iya. Dia tuh keren banget. Dia namanya Langit. Aku pengen deh jadi fotografer kaya dia, kaya ayah." Jelasku dengan terus tersenyum bahagia.

"WIDYA!!" teriak ibu. Aku membalikkan wajahku ke arahnya. Tiba-tiba Ibu menamparku cukup keras.

              Ini pertamakalinya bagiku. Pertama kalinya dalam hidupku, Ibu menamparku. Aku memegang pipi kananku yang memerah terkena tamparan. Tak sadar air mataku mengalir deras. Segera kubuka pintu mobil dan berlari ke dalam rumah.

              Dimas memanggilku, ia menanyakan keadaanku. Aku sama sekali tak menghiraukannya. Aku terus berlari menuju kamarku. Segera ku kunci pintu kamar dan membaringkan badan sambil menangis.

"Wid?" terdengar suara Ibu dari balik pintu kamar.

"Ibu minta maaf."

"Ibu ngga bermaksud buat nampar kamu."

"Mungkin Ibu lagi cape atau suasana hati Ibu lagi buruk."

"Ibu minta maaf."

"Kamu keluar ya sayang."

              Aku membuka pintu kamar. Terlihat ibu sedang berdiri memandangiku. Kemudian, ibu dengan cepat memelukku. Air mataku kembali mengalir.

***

H-80 UTBK

              Tika masih sibuk dengan handphone nya. Sedangkan aku hanya melamun melihat si turtle, kura-kura peliharaanku yang sedang berjalan lambat di dalam kolam.

              Terlihat Tika menangis. Aku terkejut melihatnya. Ngga ada angin ngga ada hujan, si Tika tiba-tiba nangis.

"Tika, kamu kenapa?" tanyaku

"Bib, kayanya aku udah dapet cerita yang paling bagus deh. Ini satu-satunya cerita yang pas aku baca ngga bikin ngantuk, bahkan malah bikin aku nangis."

"Mana? Coba aku lihat!" kuambil handphone yang Tika pegang.

              Aku membaca cerita itu sedikit demi sedikit.

"Hai pemilik akun. Aku punya cerita menarik nih. Ini seratus persen adalah kisah hidupku. Jadi, aku lahir di keluarga berkecukupan. Ibuku adalah seorang dokter bedah, sedangkan Ayahku adalah seorang fotografer. Masa kecilku kuhabiskan dengan Ayah, karena Ibu selalu pergi ke luar negeri. Itu yang membuatku lebih dekat dengan Ayah."

"Dulu, setiap hari ayah selalu membawaku ke gallery nya. Ayah selalu menunjukkan semua hasil jepretannya kepadaku. Oh ya, Ayah juga seorang pelukis jenius sepertimu pemilik akun. Ada satu ruangan di gallery nya yang isinya adalah lukisan wajahku."

"Ayah selalu bersamaku setiap waktu. Sampai hari itu tiba. Saat itu, aku sedang bersiap untuk tidur, karena waktu telah menunjukkan pukul 9 malam. Ayah berpamitan padaku untuk pergi mendaki. Katanya ia akan memotret indahnya sunrise di puncak gunung tersebut."

"Tapi, ada satu hal aneh saat itu. Ayah berkata padaku 'kamu harus jadi anak yang baik. Apapun yang orang lain lakukan padamu, kamu harus selalu bersikap baik. Kamu harus nurut sama Ibu. jagain Ibu. Kamu ngga boleh bikin Ibu nangis. Dan yang paling penting, sejauh apapun jarak antara kita nanti, kamu harus selalu ingat. Ayah always love you' kata ayah sambil mencium keningku."

"Ternyata keesokan harinya, saat aku sedang belajar di sekolah. Aku mendapatkan telpon dari Ibuku. Terdengar Ibu menangis, dan ia berkata padaku 'Ayah meninggal dunia'. Sejak saat itu, rasa-rasanya hariku selalu diselimuti kegelapan. Hingga datang satu orang yang menyinariku, hari-hariku mulai bersinar kembali. Tapi, satu hari, Ibuku menjauhkanku darinya. Terlebih lagi, sikap Ibu padaku menjadi selalu otoriter. Apa yang ia lakukan telah membuatku kembali masuk ke dalam kegelapan. Terima kasih pemilik akun, setidaknya dengan bercerita padamu seperti ini, aku sedikit merasa lega." Bacaku keras. Kulihat akun yang mengirim dm tersebut. Ternyata dia adalah @masadepan.dunia, penggemar no.1 nya Tika.

              Segera Tika membalas pesannya. Ia mengajaknya untuk bertemu di caf bunga 2 hari lagi. Pemilik akun @masadepan.dunia itupun menerima tawaran tersebut.

***

"Gimana kalo besok kita ketemu?" Tanyanya.

"Dimana?" tanyaku balik padanya.

"Di caf bunga gimana?

"Iya Ayo."

              Aku membalas pesan dari akun favoritku itu dengan perasaan sangat bahagia. Segera ku berlari menghampiri Ibu yang sedang membuat kopi di dapur. Kumintai izinya, dan ternyata Ibu mengizinkanku, asalkan aku pergi bersama dimas katanya.

Keesokan harinya di caf bunga***

              Aku duduk di bangku no 11. Sengaja ku datang lebih awal, agar tidak mengecewakan idolaku nanti. Tak sabar rasanya bisa bertemu langsung dengannya, dan tak sabar rasanya bisa tau siapa orang di balik lukisan lukisan hebat yang kusuka.

              Sembari menunggunya, aku menyempatkan untuk mengirimi dimas pesan. Aku ingin dia menjaga jaraknya dariku. Aku tak ingin dia merusak suasana lagi seperti sebelumnya. Terdengar suara tarikan kursi di depanku. Akupun mengalihkan pandanganku ke asal suara tersebut.

"Halo masa depan dunia!" ucapnya, aku masih dalam posisi menunduk.

"Hal---"kataku sambil melihat wajahnya.

"Widi!!"

"Tika!! Mentari!!"

              (Singkat cerita, aku menceritakan semua keluh kesalku sambil kita melepas rindu yang tersimpan sejak lama)

"Aku punya ide. Gimana kalo kamu buat presentasi tentang jurusan fotografi ke Ibu kamu. Disana, kamu jelasin tuh kalo itu tuh sebenarnya jurusan kaya gimana, prosfek kerjanya gimana, dan alasan kenapa kamu milih jurusan itu. Jelasin pelan-pelan, semoga ibu kamu mengerti." Ucap Mentari. Dia memang benar-benar orang yang paling jago buat ngasih saran.

  ***

              Pukul 21.00 wib. Ibu masih belum pulang juga. Aku terus menunggunya, duduk di atas sofa di ruang televisi. Tak sadar aku ketiduran.

              Terdengar suara bel berbunyi. Kulihat jam menunjukkan pukul 23.00. Setelah melihat Ibu pulang, aku memintanya untuk duduk sedangkan aku memulai presentasi. Selama hampir setengah jam, aku menjelaskan semua materi yang sudah aku persiapkan sebelumnya. Ibu tidak berbicara sepatah katapun.

              Aku menyerahkan brosur sebuah universitas pada Ibu. Ibu membacanya cukup teliti. Melihat hal tersebut, aku merasa bahagia.

              Terlihat Ibu berdiri dari sofa yang ia duduki sebelumnya. Aku tersenyum manis padanya. Tiba-tiba ibu merobek brosur tersebut di depan wajahku.

"Ibu bener-bener ngga nyangka ya sama kamu. Baru sehari Ibu bolehin kamu buat keluar rumah, tapi kamu udah bertindak seperti ini. Kamu udah bohongin Ibu, bikin Ibu kecewa, udah bikin Ibu marah." Teriak Ibu di depanku.

"Aku udah bohongin Ibu apa?" tanyaku

"Kamu bilang ke ibu, kalo kamu mau keluar buat ketemu idola kamu itu. Tapi apa? Kamu malah ketemuan sama si Mentari kan?! anaknya jeng Bulan itu. Udah berapa kali ya Ibu bilang ke kamu. Jangan suka deket-deket sama dia. Dia itu ngasih pengaruh buruk buat kamu!!"

"Pengaruh buruk apanya sih Bu? Mereka ngedukung aku buat jadi fotografer, itu pengaruh buruk buat aku? Selalu ngasih motivasi, itu juga pengaruh buruk? Sampai saat ini aku masih ngga ngerti, kenapa Ibu selalu melarangku buat jadi fotografer? Pas aku Tanya kaya gitu ke Ibu, Ibu selalu nampar aku. Yang Ibu pengen cuman, aku harus selalu jadi juara olimpiade matematika buat disombongin ke temen-temen Ibu kan? Harus masuk kedokteran UI juga buat disombongin kan? Aku udah cape Bu, ngelakuin hal yang ngga aku suka. Aku bukan boneka Ibu, aku tuh anak Ibu. Kalo Ayah masih hidup, Ayah pasti ngga akan ngelakuin hal kaya gini ke aku!!" ucapku, mengeluarkan semua unek-unek yang tersimpan di hati.

"Widi. Cukup!!" teriak Ibu padaku.

              Segera ku masuk ke dalam kamarku. Kuambil dompet, jaket dan juga handphone milikku. Kutinggalkan Ibu yang sedang berdiri kaku di ruang televisi. Aku pergi dari rumah, untuk menjernihkan pikiranku.

***

H-77 UTBK

 

"Lang, coba lu bikin video pendek. Suruh si Widya buat dateng!" perintahku.

"Siap sepupu!" ucap Langit sembari menghormat padaku.

              Terlihat Langit merekam dirinya sendiri. Ia tersenyum juga tertawa sendiri.

"So manis banget Lu lang." ucapku

"Gua emang manis. Nih video yang gua kirim udah temen Lu liat."

              Widya calling you

"Lihat sepupu!! Karena kekuatan ketampanan gua, temen lu langsung nelpon kan?" ucap Langit berbangga diri.

 

"Halo?" suara tante Mora dari telpon.

"Halo Tan." Ucapku.

"Mentari, Widya ada sama kamu ngga?" Tanya tante Mora dengan nada panik.

"Ngga ada kok Tan. Ada apa Tan?" tanyaku

"Widi udah 3 hari ngga pulang. Tante bener-bener khawatir. Tante minta tolong ke kamu ya buat bantu tante telpon Widi." Jawab Tante. Terdengar suara Tante sedikit menangis.

              Segera ku berlari sambil menarik Tika untuk keluar dari kedai.

"Sepupu! Lu mau kemana?" teriak Langit dari dalam kedai.

"Gua mau keluar dulu. Ada hal penting yang harus gua sama Tika selesain. Tolong kasih tau Ibu ya sepupu." Teriakku kepada Langit.

              Aku dan Tika memasuki mobil dan segera pergi ke rumah Widya. Sesampainya disana, Tante Mora menjelaskan semua yang terjadi.

"Tan, kayanya aku tau deh Widi pergi kemana. Ada dua tempat yang aku curigai, tapi aku ngga bisa ke dua tempat sekaligus. Tante juga ngga boleh pergi, tante harus tetap disini."

"Aku aja yang pergi." Ucap dimas.

"Oke. Jadi---"Aku menjelaskan kemungkinan tempat yang widi kunjungi.

"Kenapa kamu bisa kepikiran 2 tempat itu?" Tanya Tante Mora.

"Karena 2 tempat itu adalah tempat yang selalu Widi dan ayahnya kunjungi setiap bulannya. Aku sangat yakin Tan, Widi pasti ada diantara 2 tempat itu." Jawabku sambil langsung berlari menuju mobil bersama Tika.

"Mentari!!" panggil Tante padaku. Aku membalikkan badan.

"Terima kasih." Ucapnya sambil meneteskan air mata.

"Sama sama Tan. Aku langsung pergi ya Tante" ucapku.

***

              Tempat ini masih terasa sama seperti terakhir kali Aku dan Ayah berkunjung. Membuatku semakin merindukan ayah. 'Ayah, aku hanya ingin menjadi fotografer seperti Ayah. Tapi, Ibu tak pernah mendukungku. Disaat ayah sering mengelus pipiku, Ibu malah menamparnya. Disaat ayah selalu berkata manis padaku, Ibu malah selalu memarahiku. Ayah, I Miss You'

              Sudah 3 hari ini, aku selalu menangis sambil memandangi indahnya pantai. Dulu, di tempat ini, aku selalu tertawa dan tersenyum. Tapi sekarang, aku malah menangis.

              Uang yang kupunya sudah tinggal sedikit lagi. Aku juga tidak makan. Rasanya lapar dan haus sekali saat ini. Kulihat pantai yang memperlihatkan indahnya matahari terbenam, berubah menjadi gelap. Tak sadar akupun terjatuh.

"Widi?? Wid ? bangunn." Ucap dia, orang yang menyelamatkanku. Apa dia Ayah?

***

              Aku terbangun. Kulihat sekeliling, rasanya tidak asing.

"Inikan kamarku!" teriakku.

              Terdengar suara langkah kaki mendekat.

"Ibu?" ucapku.

"Widi. Kamu udah bangun? Ibu khawatir banget. Widi maafin Ibu. Ngga seharusnya Ibu bersikap kaya gini ke kamu. Ibu sadar selama ini Ibu egois. Mulai sekarang, Ibu janji sama kamu. Ibu akan selalu ngedukung apa yang kamu mimpikan sayang. Ibu juga ngga akan larang-larang kamu buat temenan sama Mentari. Ibu salah memahami dia. Saat kemarin dia nolongin Ibu buat nyari kamu, ibu sadar. Ternyata mentari lebih tau kamu daripada Ibu sendiri. Ibu minta maaf." Ucap Ibu. terlihat air mata mengalir begitu deras di pipi Ibu.

"Disaat kamu ngomomg ke Ibu, kalo kamu pengen jadi fotografer seperti Ayah. Entah kenapa, Ibu selalu takut. Takut kalo kamu juga akan bernasib sama seperti Ayah. Tapi, ibu sadar, kalo meninggalnya Ayah waktu itu bukan karena Ayah adalah seorang fotografer, tapi itu semua karena takdir. Maafin Ibu ya Widi, karena alasan itulah Ibu melarang kamu buat raih impian kamu. Ibu sudah menjadi tembok besar yang menghalangi." Tambah Ibu, kali ini dia benar-benar menangis.

"Iya gapapa Bu, makasih sekarang Ibu udah mau ngertiin aku. Widi sayang Ibu." ucapku sambil memeluk ibu erat-erat.

"Waktu di pantai, Mentari yang nolongin aku Bu?" tanyaku pada Ibu.

"Bukan mentari. Mentari pergi ke tempat yang lain. Yang nolongin kamu itu Dimas." Jawab Ibu mengagetkanku.

"Ibu pasti bohong."

"Dimas yang nolongin kamu. Waktu itu, dia liat kamu pingsan di pantai. Dengan cepat, dia segera bawa kamu ke rumah sakit. Untung aja ada dimas, kalo ngga ibu ngga tau lagi gimana ceritanya."

"Tapi Bu, aku masih ngga nyangka aja. Kenapa dia mau jauh-jauh dari cimahi ke pangandaran cuman buat jemput aku? Padahal, belum tentu saat itu aku ada disana. Aku kira dia orang yang ngga bisa dipercaya karena selalu ngadu ke Ibu, sela---"terpotong Ibu.

"Ngadu gimana maksud kamu?" Tanya Ibu.

"Dia kan yang bilang ke Ibu kalo aku ada di rumah Mentari waktu itu? Dia juga kan yang bilang ke Ibu kalo aku ketemu Mentari di caf bunga?"

"Itu bukan ulah dimas sayang, itu semua Mang Jaka yang laporan ke Ibu."

"Jadi selama ini bukan Dimas pelakunya?"

"Bukan."

              Selama ini, aku mengira bahwa Dimas orang yang ngga baik. Aku kira Dimas cuman pintar, dan punya sikap yang buruk. Kukira dia tak bisa dipercaya. Ternyata selama ini aku salah.

"Sekarang Dimas dimana Bu?" Tanyaku pada Ibu.

"Barusan Dimas bilang katanya dia harus balik ke Amerika. Ada studi yang harus dia selesain." Jawab Ibu.

              Aku segara beranjak dari kasur.

"Kamu mau kemana?" Tanya Ibu

"Aku mau ke bandara. Aku mau ketemu Dimas." Jawabku sembari tersenyum.

100 Hari Kemudian

 

"Ibu!! Aku keterima di Harvard!!" teriakku dari kamar. Aku segera berlari menghampiri Ibu yang sedang memasak di dapur.

"Ibu bangga sama kamu. Pokoknya Ibu janji, apapun yang kamu impikan, asalkan itu hal baik, ibu akan selalu dukung kamu." Ucap Ibu sembari memelukku erat.

"Selamat ya Widi. Ibu bangga sama kamu." Ucap Ibu sambil mencium keningku.

"Bu, bentar lagi aku bakal ketemu Dimas. "

"Udah pokoknya kuliah dulu yang bener. Urusan cinta belakangan."

"Ih Ibu, siapa sih yang bilang cinta-cintaan" ucapku tersipu.

"Udah udah, ayo makan dulu. Ibu udah buatin ayam geprek kesukaan kamu."

 

  

Tunggu kelanjutan cerita Widya dan Dimas di Amerika, di cerita

Ketika Aku 17 Tahun: Welcome To America

yang bakal aku upload di aplikasi wattpad.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun