Menghela napas sebentar, namun terdengar sangat berat. "Aku sedang berpikir, bagaimana bisa kita berhasil untuk membuat wilayah kita ini terlepas dari Belanda yang mencengkram dengan begitu kuat? Sedangkan kita ini hanyalah orang biasa yang tak punya kuasa."
Mendengarnya, Silas terkekeh kecil. Walau begitu tetap saja, ucapan Frans menjadi ketakutan tersendiri dalam pikirannya. "Tenang saja, Frans. Kekuatan dan kekuasaan yang kita punya memang tak sebanding. Tapi kegigihan dan rencana baik yang kita punya, itulah kekuatan terbesar dalam diri kita."
"Akan tetapi, bahkan kita belum bisa membuat masyarakat Papua mau bergabung dengan kita yang akan menggagalkan pemecahan bangsa Indonesia oleh Belanda."
"Tak ada yang tak bisa jika kita punya keyakinan yang kuat, Frans. Memang sulit, namun hal baik pasti akan berjalan dengan baik." Silas meyakinkan.
Frans menoleh seraya tersenyum. Seolah hatinya baru saja mendapat sebuah dorongan. Semangat nya kembali berkobar berapi-api. Bagaimanapun Silas benar, kekuatan terbaik adalah sesuatu yang kita mulai dengan tekad baik pula.
"Malam ini, mari kita adakan pertemuan rahasia. Harus dengan secepatnya kita terlepas dari kekuasaan Belanda yang hendak memecah bangsa Indonesia," ucap Frans kemudian seraya merangkul Silas.
***
Cahaya mentari sudah tak nampak sejak beberapa waktu yang lalu. Waktu malam dimana langit terdapat bulan kini yang nampak. Seperti apa yang diperbincangkan tadi sore kala Frans dan Silas berbincang di teras depan rumah. Kini keduanya, juga beberapa lainnya tengah berada dalam satu ruangan yang biasa mereka jadikan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan rahasia.
Frans melagkah maju dan meletakkan kedua tangannya ke atas meja, menyangga tubuh nya dengan kepala yang tertunduk. "Hal pertama yang harus kita lakukan adalah membuat masyarakat Papua mau ikut dengan kita. Dalam perjuangan melawan bangsa Belanda yang hendak memecah bangsa Indonesia." Frans berucap bersamaan dengan kepalanya yang terangkat.
Akan tetapi, tentu tidak akan semudah seperti mengeluarkan suara dan berteriak-teriak mengobarkan semangat. Perjuangan ini mungkin atau bahkan pasti akan menimbulkan pertumpahan darah.
Ketegangan seakan semakin terasa. Apalagi Herman Wajoi kini mengangkat tangannya, menatap Frans dengan kening mengerut begitu nampak. "Frans, sadarilah. Kita ini hanya rakyat yang lemah. Sedangkan orang-orang itu punya kuasa tinggi. Mana mungkin rencana dan perjuangan kita ini berhasil?"