Nasib Irian Barat seolah ada di tangannya. Hati kecil Frans merasa bahwa Belanda tengah mencoba mendikte nya.
Besok pagi, apa yang menjadi pilihannya adalah apa yang sudah ia pikirkan matang-matang. Meski ia tahu risiko apa yang ia akan ia terima nanti nya jika ia tetap keukeuh mengatakan apa yang sudah menjadi keputusannya.
Tapi demi apapun, ia lebih baik seperti itu daripada terus-menerus berad dalam cengkraman Belanda yang kian merajalela. Ia harus siap dengan apapun nanti yang akan dihadapi nya.
Lalu tibalah esok hari, saat Frans mendatangi markas Belanda yang terlihat mencekam bahkan hanya dari luar saja. Ia memantapkan langkah dengan pandangannya yang lurus ke depan juga seperti terisi penuh dengan keteguhan.
"Jadi, bagaimana Frans?" Mr. Van Maarseveen bertanya dengan semangat kala mengetahui jika Frans datang dan nampaknya, Frans akan mengatakan keputusannya.
Frans menghela napas, lalu menatap sekeliling terlebih dahulu. Walau banyak orang-orang Belanda yang kini menatap nya tajam, ia harus tetap yakin dengan keputusannya ini.
"Tidak, saya tidak mau menjadi pimpinan. Kalian pasti berusaha mendikte saya. Dan ingat satu hal, Irian Barat, sampai kapanpun adalah Indonesia."
Sontak wajah Mr. Van memerah menahan amarah nya yang kini memuncak. Ia menggebrak meja sebelum akhirnya mendekati Frans yang melayangkan pukulan ke wajah nya dengan sebilah tongkat kayu.
"Kurang ajar kau!"
Frans yang terjatuh ke lantai, kini mendongak menatap Mr. Van dari bawah. Bisa ia lihat dan rasakan amarah dalam diri Mr. Van. Terasa begitu kentara.
"Kau sudah mempermainkan pemerintahan Belanda. Dan penolakan mu itu akan menjadi hal yang paling kau sesali nanti nya, Frans!" Ujar Mr.Van dengan napasnya yang begitu memburu.