Mohon tunggu...
Thoriq AbdhiRamadhan
Thoriq AbdhiRamadhan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung. Saya baru memahami bahwa dengan menulis dapat menghilangkan keresahan yang selama ini ada pada diri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lembar Baru

21 Mei 2023   21:56 Diperbarui: 21 Mei 2023   22:17 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cara terbaik untuk melupakan seseorang adalah pergi sejauh mungkin darinya. Bertemu orang-orang dan menjelajahi dunia baru. Walau kita akan sama-sama sakit, tapi itu lebih baik daripada harus menderita selamanya.

Tujuh tahun lalu ...

“Aku akan merantau ke Jakarta. Maaf karena aku sudah tidak bisa memperjuangkan cinta kita. Aku menyerah, menyerah sebab kita memang tidak ditakdirkan bersama.”

Di tengah guyuran hujan yang semakin deras malam itu, Rahmi membanting ponselnya ke tempat tidur. Ia tidak berniat membalas pesan itu.  Gadis itu menyelimuti tubuhnya rapat agar tak seorang pun mendengar tangisannya. Mengapa harus mengenal cinta jika akhirnya kenyataan harus memisahkan mereka? Ia kesal, karena harus tahu setelah semuanya terlampau jauh. Rahmi sudah berjanji untuk setia sehidup semati. Begitu juga sang lelaki.

***

Lelaki itu bernama Hafis Malik Ibrahim. Wajahnya terlihat risau. Hampir seminggu ia teringat akan kampung halaman. Ia rindu Amak-Abak[1], meski hanya bertemu tanah kuburnya saja itu sudah pasti cukup. 

 Tiba-tiba Hafis tersentak oleh Risa yang membawa baki berisi segelas kopi dan beberapa lembar roti beserta selainya. Risa, perempuan yang ia nikahi enam bulan yang lalu. Ia adalah obat dari lukanya selama ini.

 “Abang jadi mau ke Bukittinggi?” tanya Risa yang kini duduk di sebelahnya.

 “Jadi,” jawab Hafis bersemangat.  “Seminggu lagi kita berangkat. Risa jangan lupa beli oleh-oleh buat sanak saudara abang disana.”

 “Iya bang, tapi ...” ucapnya tertahan, “apa abang yakin mau menjual rumah Amak-Abak[1]?”

 Lelaki itu menghela nafas sesaat, “iya, kita disini sedang butuh modal. Selama covid kemarin usaha kita hampir selalu rugi. Risa juga mau kan rumah kita cepat direnovasi.”

 Dengan teratur, Risa mengoles selai pada roti lalu menaruhnya pada piring sang suami. “Apa keluarga besar abang gak akan menolak rencana ini. Masalahnya itu rumah satu-satunya warisan orang tua abang, kalau dijual apa mereka nanti tidak menganggap abang durhaka terhadap tanah kelahiran. Setahu Risa orang minang kan ikatannya kuat sama tanah leluhur.”

 “Niat kita kesana kan sekalian silaturahmi, kenalin Risa sama keluarga abang. Soal rumah abang pasti bicarain sama keluarga yang lain. Pokoknya niat pulang kesana itu silaturahmi.”

 “Oke, Risa ikut abang aja. Risa juga ingin ketemu sama sepupu abang itu,” ucap Risa sedikit menggoda.

 “Yang mana?” Hafis mengernyit pura-pura tidak tahu.

 

“Iss yang kata abang sampai buat abang pergi ngerantau itu lho.”

 

Hafis mengulum senyum bibirnya. Ini kenapa Risa jadi antusias. Padahal Hafis sering khawatir jika-jika itu akan membuatnya tidak nyaman. Karena gemas Hafis mencubit hidung Risa pelan, “awas nanti cemburu!”

 

Perempuan itu langsung mengatup manyun. Terlihat pipinya langsung semerah tomat sebelum ia berbalik membelakangi Hafis, membuat lelaki itu tersenyum puas melihat isterinya yang malu sendiri.

 

Hafis juga memikirkan akibat jika ia menjual rumah tersebut. Dirinya akan seperti anak yang lupa pada tempat ia lahir. Dimana ia dibesarkan. Rumah juga salah satu alasan bahwa dirinya masih memiliki kampung halaman. Tapi, Hafis sekarang adalah punya Risa. Tidak ada alasan untuk mencari cerita lama yang sudah jauh terkubur. Ia tidak mau kembali ke masa-masa menyakitkan. Risa adalah kebahagiaannya sekarang. Perempuan itu segalanya dan seterusnya.

 

***

 

Halimun menyapa pagi di Bukittinggi. Hafis dan Risa sudah sampai tadi malam yang seharusnya sore. Maklum sering terjadi macet di padang panjang, itu biasa perantau sebut jalur pendakian untuk masuk ke kota Bukittinggi.

 

Hafis tidak menyangka rumah Amak-Abak cukup terawat. Meski ada beberapa cat yang mengelupas, tapi itu tampak bersih dari luar. Hawa dingin yang berembus agak kencang menggigilkan badan lelaki itu. Risa sudah pasti masih tertidur pulas karena letih perjalanan.

 

Hafis kemudian mengambil air untuk menyiram mobilnya yang sudah kotor seperti dari medan perang. Saat sedang menyiram bagian ban, Hafis terdongak. Di depannya sudah berdiri sosok lelaki yang ia kenal lekat. “Uncu[2].” 

 

Onde, pai marantau ndak bersalam, baliak ndak jugo berkaba[3],” ucap Paman dengan lantang.  

 

Hafis tersenyum dan langsung memeluk pamannya erat. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Hafis sendiri sadar akan perbuatannya dahulu. Ia menepuk pundak pamannya lama seolah ingin memberi pesan, “maafin Hafis ... Cu,” ucapnya lirih.

 

“Sudahlah itu tidak perlu dibahas lagi. Sudah masa lalu,” katanya sambil melepas pelukan. “Mana menantu baru itu. Uncu mau lihat lah.”

 

“Itu di dalam sedang tidur mungkin. Biar Hafis panggilkan lah dulu.”

 

Risa, perempuan itu dua tahun lebih muda dari Hafis. Mereka bertemu di sebuah halte busway. Pertemuan singkat itu telah merubah presepsi Hafis selama ini. Sesaat ia seolah terpana pada sosok Risa, dan melupakan semua kenangan tentang Rahmi. Dan saat dunia mulai berkonspirasi, pertemuan kedua lagi-lagi terjadi secara tidak sengaja. Pertemuan itu menjadi awal hubungan dekat mereka.

 

Sebulan kemudian Hafis sudah melamar Risa. Tak disangka ia justru langsung ditawarkan menikah saat itu juga. Menurut Ayah Risa ‘pernikahan itu cukup diadakan sederhana, yang penting adalah rukun wajibnya sudah terpenuhi.’

 

 Ketiganya kini duduk di sofa ruang tamu. Uncu  sudah bercerita panjang lebar tentang masa lalu. Dari Hafis kecil sampai tumbuh dewasa. Pamannya itu juga cerita bagaimana rumitnya hubungan Hafis dan Rahmi.

 

“Dulu, Uncu  kaget karena tiba-tiba saja Hafis datang ke rumah. Itu setahun setelah mereka tamat sekolah menengah. Dia bilang mau melamar Rahmi. Uncu  sebetulnya gak mempermasalahkan hubungan sepupu antara Hafis dan Rahmi, adat minang itu sekarang tidak seperti dulu yang sangat ketat. Selagi agama tidak melarang adat juga tidak masalahkan, makanya ada moto orang minang itu ‘adaik besandi syarak, syarak basandi kitabullah[4].’” 

 

“Kalau begitu kenapa abang Hafis tidak jadi menikahi Rahmi?” tanyanya melirik sang suami yang ada disebelahnya.

 

Uncu  menghela nafas sesaat, “Jadi, setelah niat Hafis diberi tahu kepada keluarga besar semuanya kaget. Datanglah Inyiak[5], adiknya nenek Hafis ke rumah Uncu . Petang malam dia bawa surat dari Amaknya Hafis. Isinya bilang ‘kalau Hafis tidak boleh dan jangan sampai menikah dengan Rahmi. Mereka saudara sepersusuan,’ Uncu disitu bingung sejadi-jadinya. Ternyata saat Amak ...” ucapnya tertahan melihat pada Hafis, “masih ada, Uni[6] sudah tahu kalau Hafis punya rasa lebih ke Rahmi. Sebab itu dia tulis surat kepada Inyek.”

 

Risa nyaris tidak bisa berkata-kata lagi. Ia yang mendengar saja begitu merasakan mirisnya kisah sang suami. Risa tidak bisa membayangkan berada diposisi Rahmi saat itu. Pasti berat.

 

***

 

Sorenya, keluarga dari Amak sudah banyak yang datang ke rumah. Tradisi ini biasa terjadi kalau momen hari raya, berkumpul di rumah orang tua atau kalau sudah tidak ada di tempat kakak paling tua. Tapi ini bukan hari raya, Hafis yang membuat keluarga seakan kembali berkumpul secara tiba-tiba. Ada Etek[7] juga Mamak[8] yang sengaja datang. 

 

Tek Fitri sudah ngobrol panjang lebar dengan Risa yang terlihat masih canggung. Tek Sri yang selalu kasih wejangan sana sini kepada Hafis. Sementara Mak Kayo[9] yang asik mengerjai keponakannya satu persatu. Hanya satu yang tidak terlihat disana, yaitu Rahmi.

 

“Ooh Tek, dimana lah Rahmi itu. Dari Hafis sampai di Bukittinggi belum ketemu sama dia,” kata Hafis kepada bibinya.

 

“Rahmi kerja Is,” jawab singkat Tek Sri.

 

“Kerja dimana?”

 

“MuM.” Hafis mengernyit bingung. “Itu Is, Marketnya urang Minang. Paling jam sembilan dia baru pulang.”

 

Lelaki itu tersenyum sambil mengangguk pelan. Hafis kemudian berpikir, bagaimana keadaannya selama ini? Apakah Rahmi bisa melupakan kejadian tujuh tahun lalu? Sebagai laki-laki tentu ia memiliki perasaan menyesal. Jika saja ia tahu lebih dahulu pasti semua ini tidak akan terjadi.

 

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan sosok yang ditunggu belum juga tiba. Rumah juga sudah sepi karena sanak saudara Hafis sudah pulang. Sebetulnya Risa yang sangat penasaran tentang Rahmi. Ia terus menanyakan sepupu Hafis itu dari tadi, membuat sang suami mengusap kepalanya yang tidak gatal berkali-kali. Padahal waktu mereka disini masih panjang, masih bisa ketemu besok atau besok lusanya lagi.

 

Lalu, terdengar ketukan pintu di depan. Membuat Risa terlonjak semangat. Ia menarik lengan Hafis agar segera membuka pintu. Dasar perempuan, semangat saja yang tinggi tapi kalau sudah ketemu malu-malu kucing, gumam Hafis dalam hati.

 

“Assalamualaikum, bang.”

 

“... Alaikumsalam, masuk lah Mi. Ada banyak makanan di dalam, sengaja abang bawa dari Jakarta,” kata Hafis yang berdiri di daun pintu bersama Risa merangkul lengannya di belakang.

 

Pada akhirnya Hafis juga yang memperkenalkan kedua perempuan itu. Seperti ada gengsi yang tebentuk diantara keduanya. Tapi Hafis tidak mau berkomentar, jadi sekali lagi ia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Kata Tek Sri, Rahmi sekarang kerja di MuM ya, jadi apa kalau abang boleh tahu?”

 

“Supervisor bang,” jawabnya singkat.

 

“Elok lah kalau gitu, bisa menyuruh-nyuruh orang.”

 

“Enggak lah bang Is. Rahmi paling cuma beri contoh aja kerjanya begini, begini.”

 

Hafis mengangguk pelan. Ia kemudian melirik isterinya sebentar, “yaudah kalian mengobrol lah dulu, abang mau ke kamar mandi sebentar.”

 

Lelaki itu pergi dengan terkekeh melihat Risa yang mengulum bibirnya. Risa binngung harus memulai darimana. Apalagi ia baru tahu kalau Rahmi lebih tua darinya sedikit. ‘Uni Rahmi sekarang umurnya berapa?’ Risa langsung menggeleng tidak jadi menanyakan pertanyaan aneh semacam itu.

 

Di kamar mandi, Hafis sayup-sayup mendengar Risa yang mulai mengeluarkan tawa khasnya. Ternyata tidak butuh waktu lama untuk keduanya saling mengenal. Hafis sempat berpikir kalau isterinya itu nanti akan merasa tidak nyaman. Tapi sepertinya tidak, justru keduanya sudah tertawa lepas sekarang.

 

***

 

Esok paginya, Hafis dan Risa sedang menyantap kalio[10] di atas meja. Memang meja itu agak sedikit lusuh, maklum sudah lama ditinggalkan. Risa juga baru tahu, kalau rendang dan kalio itu berbeda. Ia pikir semua daging yang diberi santan itu sudah disebut rendang. Tapi ternyata tidak.

 

Tiba-tiba seseorang masuk memberi salam sekejap, membuat suami isteri itu sedikit tersentak.

 

Oi lamak bana[11] pagi-pagi sudah makan kalio,” kata pria tua itu.

 

Hafis terperangah. Pria itu adalah Inyiak Daswarih, orang yang diamanatkan surat oleh Amak. Tubuhnya kurus dengan rambut ikal bergelombang. Tampilannya stylish dengan jaket kulit. Jangan salah beliau ini sudah pernah berkeliling eropa beberapa kali. Dulu setahu Hafis, ia sering menjadi tour guide bagi bule-bule yang hendak menikmati kawasan wisata di sekitar Bukittinggi.

 

Hafis kemudian beranjak dari meja makan untuk mencuci tangannya.

 

“Risa duduk lah nikmati makan itu, Inyiak ada perlu sama Hafis saja,” katanya yang dijawab Risa mengangguk. “Satu lagi, orang minang itu makan pakai tangan. Pakai sendok itu gaya orang barat, kalau pakai tangan itu kita menghargai alam. Maaf Inyiak orangnya memang gitu, apa adanya. Yang ada diperlihatkan, yang tidak ada tidak diada-adakan,” pungkasnya.

 

Dah tu Nyiak, mantu baru duo hari disiko alah dikecek’an[12],” ucap Hafis yang keluar dari pintu dapur. 

 

Kedua lelaki beda umur itu sekarang berdiri di halaman depan rumah. Puncak Marapi terlihat gagah disinari langit yang cerah. Hafis sedikit banyak mengetahui tentang Inyiak Das. Beliau banyak dibilang punya ilmu membaca pikiran. Hafis awalnya tidak percaya, tapi pernah suatu ketika ia berbohong bahwa sudah shalat ashar. Inyiak yang tahu anak itu berbohong, langsung menceramahinya dua jam lebih.  

 

“Hafis benar mau menjual rumah ini?” tanya Inyek Das dengan suara pelan.

 

Hafis langsung melotot tak percaya. Dia belum berbicara apa-apa kepada keluarganya perihal rencana menjual rumah ini.

 

“Baru rencana Nyiak,” jawab Hafis singkat.

 

“Pokoknya Inyiak tidak setuju!” katanya keras. “Kalaupun Hafis sudah tidak punya orang tua, bukan berarti Hafis jadi orang bebas. Hafis tetap orang minang, darahnya minang, wajahnya pun minang. Jangan jadi orang yang kalau bareh hiduik indak pulang, senang pulo taneh dilupoan[13].”

 

Hafis menelan salivanya, “Gak Nyiak, Hafis tidak lupa. Hafis hanya butuh modal untuk usaha di Jakarta.”

 

“Tidak, Inyiak tetap tidak setuju. Lebih baik rumah ini bantu Uncu, dia itu belum ada rumah. Inyiak kasian sama Rahmi kerja siang malam buat nabung beli rumah. Hafis tahu, tanah di Bukittinggi ini sekarang mahal. Uang pensiun Uncu kamu habis untuk mengontrak saja. Lebih baik kamu biarkan Uncu tempati, selagi Rahmi itu menabung beli rumah yang baru.”

 

Jantung Hafis terasa berhenti sesaat. Hafis kemudian bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia yang terlalu nyaman hidup di ibukota, sampai lupa sanak saudara. Sampai lupa dengan orang yang sedikit banyak mengajarkan hidup kepadanya. Hafis terdiam cukup lama.

 

“Sudah camkan baik-baik omongan Inyiak tadi. Inyiak percaya Hafis dapat mengambil keputusan yang tepat. Assalamualaikum.”

 

Hafis menjawab dalam hati. Ia masih terdiam memandangi Inyiak sampai bayangan pria tua itu hilang di ujung pagar rumahnya.

 

***

 

“Risa tidak masalah kan dengan keputusan abang?”

 

“Gak bang, Risa justru senang abang mengambil keputusan yang bijak. Bagaimana juga menolong keluarga adalah kewajiban setiap orang. Abang adalah suami yang terbaik.”

 

Hafis tersenyum lebar mendengarnya. Ia kembali fokus menyetir mobilnya. Namun, kemudian terdengar suara riuh rendah dari arah belakang.

 

“Abang ... Abang Is tunggu ...”

 

Hafis kemudian menepikan mobilnya setelah sadar bahwa Rahmi memanggil dari tadi. Ia menyusul menggunakan ojek lumayan jauh jaraknya. Sementara Risa masih setengah menyadari apa yang sedang terjadi, ia justru takut suaminya itu tadi telah menabrak seseorang.

 

“Iya Mi?” ucap Hafis.

 

“Ini ada sambal buat oleh-oleh dari kampung,” ucapnya menyodorkan sekantong plastik.

 

“Terima kasih lah Mi, repot-repot. Kalau gitu abang berangkat lagi ya. Salam ke Uncu.”

 

“Iya bang sama-sama. Ris, hati-hati di jalan.”

 

Hafis kembali melajukan mobilnya menuruni sepanjang kota Padang Panjang. Risa disebelahnya melirik curiga.

 

“Apa itu bang yang dikasih Rahmi?” tanya Risa.

 

“Sambal kesukaan abang.”

 

Dan ... Risa merajuk. Ia diam seribu kata.

>< Yang Mau Tau Arti ><

 1. Ibu-Ayah

2. Paman/adik dari ayah atau ibu yang paling kecil

3. Pergi merantau tidak memberi salam, pulang tidak juga memberi kabar

4. Adat berdasarkan syariat, syariat berdasarkan Kitab Allah

5. Kakek

6. Kakak perempuan

7. Bibi

8. Paman

9. Sebutan gelar

10. Rendang setengah jadi

11. Enak betul

12. Sudahlah Kek, menantu baru dua hari disini sudah dikata-katain

13. Susah hidup tidak pulang, kalau senang tanah yang dilupakan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun