“MuM.” Hafis mengernyit bingung. “Itu Is, Marketnya urang Minang. Paling jam sembilan dia baru pulang.”
Lelaki itu tersenyum sambil mengangguk pelan. Hafis kemudian berpikir, bagaimana keadaannya selama ini? Apakah Rahmi bisa melupakan kejadian tujuh tahun lalu? Sebagai laki-laki tentu ia memiliki perasaan menyesal. Jika saja ia tahu lebih dahulu pasti semua ini tidak akan terjadi.
Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan sosok yang ditunggu belum juga tiba. Rumah juga sudah sepi karena sanak saudara Hafis sudah pulang. Sebetulnya Risa yang sangat penasaran tentang Rahmi. Ia terus menanyakan sepupu Hafis itu dari tadi, membuat sang suami mengusap kepalanya yang tidak gatal berkali-kali. Padahal waktu mereka disini masih panjang, masih bisa ketemu besok atau besok lusanya lagi.
Lalu, terdengar ketukan pintu di depan. Membuat Risa terlonjak semangat. Ia menarik lengan Hafis agar segera membuka pintu. Dasar perempuan, semangat saja yang tinggi tapi kalau sudah ketemu malu-malu kucing, gumam Hafis dalam hati.
“Assalamualaikum, bang.”