Ketiganya kini duduk di sofa ruang tamu. Uncu sudah bercerita panjang lebar tentang masa lalu. Dari Hafis kecil sampai tumbuh dewasa. Pamannya itu juga cerita bagaimana rumitnya hubungan Hafis dan Rahmi.
“Dulu, Uncu kaget karena tiba-tiba saja Hafis datang ke rumah. Itu setahun setelah mereka tamat sekolah menengah. Dia bilang mau melamar Rahmi. Uncu sebetulnya gak mempermasalahkan hubungan sepupu antara Hafis dan Rahmi, adat minang itu sekarang tidak seperti dulu yang sangat ketat. Selagi agama tidak melarang adat juga tidak masalahkan, makanya ada moto orang minang itu ‘adaik besandi syarak, syarak basandi kitabullah[4].’”
“Kalau begitu kenapa abang Hafis tidak jadi menikahi Rahmi?” tanyanya melirik sang suami yang ada disebelahnya.
Uncu menghela nafas sesaat, “Jadi, setelah niat Hafis diberi tahu kepada keluarga besar semuanya kaget. Datanglah Inyiak[5], adiknya nenek Hafis ke rumah Uncu . Petang malam dia bawa surat dari Amaknya Hafis. Isinya bilang ‘kalau Hafis tidak boleh dan jangan sampai menikah dengan Rahmi. Mereka saudara sepersusuan,’ Uncu disitu bingung sejadi-jadinya. Ternyata saat Amak ...” ucapnya tertahan melihat pada Hafis, “masih ada, Uni[6] sudah tahu kalau Hafis punya rasa lebih ke Rahmi. Sebab itu dia tulis surat kepada Inyek.”
Risa nyaris tidak bisa berkata-kata lagi. Ia yang mendengar saja begitu merasakan mirisnya kisah sang suami. Risa tidak bisa membayangkan berada diposisi Rahmi saat itu. Pasti berat.