“Onde, pai marantau ndak bersalam, baliak ndak jugo berkaba[3],” ucap Paman dengan lantang.
Hafis tersenyum dan langsung memeluk pamannya erat. Tujuh tahun bukan waktu yang singkat. Hafis sendiri sadar akan perbuatannya dahulu. Ia menepuk pundak pamannya lama seolah ingin memberi pesan, “maafin Hafis ... Cu,” ucapnya lirih.
“Sudahlah itu tidak perlu dibahas lagi. Sudah masa lalu,” katanya sambil melepas pelukan. “Mana menantu baru itu. Uncu mau lihat lah.”
“Itu di dalam sedang tidur mungkin. Biar Hafis panggilkan lah dulu.”
Risa, perempuan itu dua tahun lebih muda dari Hafis. Mereka bertemu di sebuah halte busway. Pertemuan singkat itu telah merubah presepsi Hafis selama ini. Sesaat ia seolah terpana pada sosok Risa, dan melupakan semua kenangan tentang Rahmi. Dan saat dunia mulai berkonspirasi, pertemuan kedua lagi-lagi terjadi secara tidak sengaja. Pertemuan itu menjadi awal hubungan dekat mereka.
Sebulan kemudian Hafis sudah melamar Risa. Tak disangka ia justru langsung ditawarkan menikah saat itu juga. Menurut Ayah Risa ‘pernikahan itu cukup diadakan sederhana, yang penting adalah rukun wajibnya sudah terpenuhi.’