Hafis juga memikirkan akibat jika ia menjual rumah tersebut. Dirinya akan seperti anak yang lupa pada tempat ia lahir. Dimana ia dibesarkan. Rumah juga salah satu alasan bahwa dirinya masih memiliki kampung halaman. Tapi, Hafis sekarang adalah punya Risa. Tidak ada alasan untuk mencari cerita lama yang sudah jauh terkubur. Ia tidak mau kembali ke masa-masa menyakitkan. Risa adalah kebahagiaannya sekarang. Perempuan itu segalanya dan seterusnya.
***
Halimun menyapa pagi di Bukittinggi. Hafis dan Risa sudah sampai tadi malam yang seharusnya sore. Maklum sering terjadi macet di padang panjang, itu biasa perantau sebut jalur pendakian untuk masuk ke kota Bukittinggi.
Hafis tidak menyangka rumah Amak-Abak cukup terawat. Meski ada beberapa cat yang mengelupas, tapi itu tampak bersih dari luar. Hawa dingin yang berembus agak kencang menggigilkan badan lelaki itu. Risa sudah pasti masih tertidur pulas karena letih perjalanan.
Hafis kemudian mengambil air untuk menyiram mobilnya yang sudah kotor seperti dari medan perang. Saat sedang menyiram bagian ban, Hafis terdongak. Di depannya sudah berdiri sosok lelaki yang ia kenal lekat. “Uncu[2].”