Hafis menelan salivanya, “Gak Nyiak, Hafis tidak lupa. Hafis hanya butuh modal untuk usaha di Jakarta.”
“Tidak, Inyiak tetap tidak setuju. Lebih baik rumah ini bantu Uncu, dia itu belum ada rumah. Inyiak kasian sama Rahmi kerja siang malam buat nabung beli rumah. Hafis tahu, tanah di Bukittinggi ini sekarang mahal. Uang pensiun Uncu kamu habis untuk mengontrak saja. Lebih baik kamu biarkan Uncu tempati, selagi Rahmi itu menabung beli rumah yang baru.”
Jantung Hafis terasa berhenti sesaat. Hafis kemudian bertanya-tanya kepada dirinya sendiri. Ia yang terlalu nyaman hidup di ibukota, sampai lupa sanak saudara. Sampai lupa dengan orang yang sedikit banyak mengajarkan hidup kepadanya. Hafis terdiam cukup lama.
“Sudah camkan baik-baik omongan Inyiak tadi. Inyiak percaya Hafis dapat mengambil keputusan yang tepat. Assalamualaikum.”
Hafis menjawab dalam hati. Ia masih terdiam memandangi Inyiak sampai bayangan pria tua itu hilang di ujung pagar rumahnya.
***