Berkebalikan dari Tommy, Winda adalah seorang wanita yang tegar. Tidak sekali pun kulihat ada titik air mata di wajahnya. Namun aku tahu wanita kadang -- kadang adalah aktris ulung.
"Selamat pagi, nona Winda. Kalau boleh saya tahu, berapa umur Anda?"
Winda terlihat kebingungan dengan pertanyaanku, namun ia tetap menjawab, "23 tahun, pak polisi."
"Ah, masih cukup muda untuk menjadi seorang atlet nasional. Masa depanmu masih panjang. Sadarkah kau bahwa tindakanmu dan teman -- temanmu di sini akan menjadi batu sandungan bagi karirmu di depan kelak?"
Winda mulai panik, "Jika yang bapak maksud adalah uang pelicin agar kasus ini diam dan pers tidak berisik di media, maka saya siap berapa pun yang bapak minta!"
Aku tidak menjawab tantangan Winda, melainkan melempar pandang kepada Charles dan Mahmud. Jika seseorang memperjuangkan karirnya dengan sekuat tenaga, kemungkinan besar perkataan berikutnya adalah kejujuran.
"Maka adalah benar bahwa Yudi Susabda tewas karena mata kail pancing? Dibunuh, atau kecelakaan?"
Winda terdiam mendengar tiga kata terakhir yang kuucapkan perlahan. Pelan -- pelan, ia berkata, "Kecelakaan."
"Jika ini kecelakaan, secara logika tidak akan berdampak pada karirmu. Sebaliknya, jika ini adalah pembunuhan..."
Winda menggebrak meja di hadapan kami. "Dibunuh atau kecelakaan, di mata media itu semua sama saja! Terlebih aku adalah seorang anak pebisnis udang nomor satu di pulau ini. Kasus ini berarti akhir dari masa depanku di olahraga."
Aku mengangguk, "Baiklah. Kami berjanji akan mengurus masalah publikasi. Tenang saja. Satu pertanyaan lagi. Di tangan siapa tombak itu berada sebelum menghujam mata Yudi?"