"Bagaimana menurutmu kematian Yudi? Apakah kau bersedih sebagai temannya?"
Ini adalah pertanyaan konyol, namun lagi -- lagi Francis berkata dengan tenang, "Sebenarnya tidak. Mungkin bapak sudah mendengar dari Winda atau Tommy. Kami berteman dengannya karena mitra bisnis saja. Kini ia sudah tiada, dan bisnis keluarganya akan jatuh kepada adiknya. Kami harus menjalin hubungan dengan Benny, adik Yudi."
Orang ini tenang dan penuh perhitungan. Baiklah, aku akan coba memancingnya.
"Menurut Pak Wawan, driver dari private boat ini, kapal karam karena ada angin ribut sekilas sehingga ia kehilangan konsentrasi dan menabrak karang di pinggir pantai. Menurutku ini alasan yang dibuat -- buat. Bagaimana menurutmu? Apakah kecelakaan ini masuk akal?"
Francis terdiam dan terlihat berpikir sebelum berkata. Akhirnya ia membuka mulut.
"Kami berada di dalam kabin ketika kejadian itu terjadi sehingga kami tidak tahu apa yang terjadi di luar. Namun bapak bisa simpulkan dari perkataanku ini. Malam kemarin tidak ada hujan, tidak ada awan, tidak ada badai, langit terlihat cerah. Namun aku tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada angin ribut sekilas."
Ia menyunggingkan senyum tipis di akhir kalimatnya. Perkataan -- perkataan terakhirnya membuatku menepuk tangan. Menurutku kini kasus ini semakin jelas. Francis pun kusuruh untuk keluar ruangan. Mahmud yang bersandar di dinding menghampiriku.
"Jika kau sudah terlihat seperti ini maka kasus ini sudah berhasil dipecahkan. Bukankah begitu, tuan cemerlang?"
Aku menggeleng, "Belum, belum, Mahmud. Masih ada satu saksi yang harus kupastikan sebelum menutup kasus ini."
"Satu saksi? Bukankah sudah semuanya kauperiksa?"
"Belum, masih ada satu...tolong panggilkan...ah, lebih baik kita saja yang menghampirinya."